tembakau obat
OPINI

Orang Dulu Menyebut Tembakau Adalah Obat dari Tuhan

Saat kecil dulu, saya sering mendengar simbah buyut mengeluhkan sakit giginya. Ketika simbah buyut sedang mengelus pipinya, istrinya selalu berkelakar, “salah siapa tidak mau nyusur (nginang), jadi giginya buat sarang ulat.”

Simbah buyut putri saya memang memiliki kegemaran mengunyah tembakau atau daun pinang, dicampur daun sirih dan injet (endapan kapur) hingga mulutnya merah kehitam-hitaman. Ia percaya, dengan nginang seperti itu, selain menghilangkan bau mulut, juga menyehatkan gigi. Dan itu terbukti, hingga beliau wafat, giginya masih utuh dan tidak pernah sekalipun saya mendengar beliau mengeluh sakit gigi.

Mendapat interupsi dari istrinya, simbah buyut saya tidak lantas diam. Ia mengeluarkan lintingan jumbonya, membakarnya, kemudian mengisapnya dalam-dalam. “Kena asap ini juga sembuh,” timpalnya.

Jika sebatang lintingan tidak juga segera meredakan sakit giginya, simbah buyut mengambil untuk dijejalkan di area gigi yang sakit, terkadang juga sejumput tembakau itu ia rebus bersama garam dan airnya digunakan untuk berkumur. Konon, menurut simbah buyut, cara itu paling efektif untuk menyembuhkan sakit gigi.

Simbah buyut saya memang jarang pergi ke dokter untuk periksa. Setiap kali merasa tidak enak badan atau ada sebagian anggota tubuhnya merasa sakit, ia meracik tumbuh-tumbuhan yang ia tanam di pekarangan dan menjadikannya sebagai obat. Ia sering menasehati saya perihal mengonsumsi tumbuh-tumbuhan ini, menurutnya sejak leluhur dulu memang memiliki tradisi mengkonsumsi tumbuh-tumbuhan rempah.

Saya sempat tercengang dengan fenomena ini. Suatu waktu, bapak saya menderita muntaber cukup serius. Setelah dibawa ke dokter sembuh sejenak dan kambuh lagi. Dengan tangan cekatan dan pengetahuan atas kearifan leluhurnya, kakek saya membuat obat sendiri dari temulawak dan tempe busuk yang direbus berhari-hari. Tidak butuh waktu lama, dengan rutin meminum racikan ‘aneh’ itu, muntaber bapak tidak pernah kambuh hingga kini. 

Orang dulu memang memiliki tata cara sendiri dalam memandang penyakit dan punya seribu cara untuk menyembuhkannya. Tapi soal tembakau atau rokok, entah sejak kapan keyakinan bahwa keduanya dapat menyembuhkan atau setidaknya meredakan sakit gigi beredar di kalangan masyarakat.

Sejak dulu tembakau adalah obat

Jika menilik catatan-catatan sejarah perihal khasiat tembakau, Gilles Everaets, seorang peneliti medis dari Belanda mencatat dalam buku Panacea; or The Universal Medicine, being a Discovery of The Wonderful Virtues of Tobacco taken in a Pipe, bahwa tembakau memiliki manfaat yang tinggi bagi kehidupan masyarakat. Saking tinggi manfaatnya, sebagian dokter akan menganggur. “Asapnya merupakan penawar semua racun dan penyakit-penyakit menular,” tulisnya dalam buku terbitan 1587 tersebut.

Selain Gilles, penjelajah dari Portugis, Pedro Alvares Cabral, melaporkan bahwa tembakau (atau mereka menyebutnya betum) digunakan untuk mengobati penyakit seperti polip dan kulit bernanah. 

Dalam catatan lainnya, Prof Anne Charlton dalam Jurnal of The Royal Society of Medicine menulis, Christopher Columbus menjajal tembakau untuk tujuan medis. Dalam catatan itu, Prof Anne menjelaskan, Columbus pada 1492 menyadari jika tembakau diisap oleh penduduk di kepulauan yang kini bernama Kuba, Haiti dan Bahama. Tembakau-tembakau itu juga kadang dijadikan obor untuk mengusir penyakit dari suatu tempat. Di daerah itu, tembakau juga dijadikan pasta gigi, yang hingga kini masih dilakukan juga oleh masyarakat India.

Pada abad selanjutnya, kisaran abad ke-19, para dokter ahli anatomi dianjurkan merokok untuk menutupi bau jenazah yang menempel pada tubuh mereka. Abad-abad berikutnya, sebagaimana yang ditulis Wellcome Collection (museum sekaligus perpustakaan kesehatan), pipa atau rokok menjadi aksesoris wajib bagi dokter, dokter bedah, dan mahasiswa kedokteran yang banyak melakukan praktik di ruang bedah.

Bahkan, pada tahun 1665, saat wabah penyakit merebak di London, anak-anak dianjurkan mengisap tembakau di ruang kelas. 

Manfaat tembakau bagi kesehatan memang sudah banyak penelitian dan buktinya. Di Indonesia sendiri, kita memiliki Haji Djamhari yang menemukan kretek untuk mengobati sesak dadanya.

Manfaat tembakau memang kadang tenggelam oleh isu-isu keburukannya yang diproduksi terus menerus oleh rezim kesehatan. Rasanya kita perlu mengingat jawaban Gus Mus ketika ditanya seorang anti rokok, “Sudah lama (sekitar 9 tahunan) saya berhenti merokok. Dan pendapat saya tetap: hukum merokok itu khilaf. Bacalah kitab tentang Kopi dan Rokok karangan Al-Allamah Syaikh Ihsan Al-Jampesi. Kayaknya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dari kalangan ahli tembakau pun terdapat khilaf. Ada yang mengatakan madharat ada yang mengatakan tidak. Hanya saja yang berkampanye madharat lebih kuat karena disponsori orang barat yang kuat. Bukti kekuatan kampanye itu antara lain pertanyaanmu ini.”