logo boleh merokok putih 2

Pola Batik Kawung dalam Bungkus Rokok

batik kawung rokok

Jika teman-teman mengamati, tiap bungkus rokok memiliki visualisasi yang khas. Tampilan sebuah bungkus rokok setidaknya terdiri dari elemen warna, huruf dan pola-pola tertentu. Pola atau pattern tersebut bisa bermacam-macam, terbagi menjadi dua, moderen dan pola tradisional.

Pembagian tersebut merupakan pengamatan pribadi dari saya setelah melihat pola-pola khas yang muncul di beberapa bungkus rokok. Uniknya, saya menemukan merek rokok tertentu yang mengambil motif batik klasik sebagai bagian visualisasinya. Merek rokok Minak Jinggo adalah salah satu bagian dari deretan produk rokok yang menampilkan pola Batik Kawung.

Pola Kawung adalah salah satu motif tradisional yang termasuk tua. Bukti fisik motif Kawung ini salah satunya ditemukan pada arca Ganesha Candi Siwa di kompleks Candi Prambanan yang diperkirakan dibuat pada abad ke-13.[1] Ciri khas motif Kawung adalah pola geometris yang terdiri dari tiga unsur pokok yaitu, motif pokok, motif pelengkap dan isen-isen atau detail pengisi ruang kosong. Motif pokok berisi empat buat bulatan berbentuk bulat lonjong yang berasal dari buah aren atau kolang-kaling.

motif batik kolang kaling
Buah Kolang-Kaling

Menurut De Inlandsche Kunstnijverheid In Nederlandsch Indië  jilid 3 yang ditulis oleh Jasper & Pirngadie (1916), Motif Kawung ini memiliki kemiripan dengan motif batik Ceplok/Ceplokan pada susunan geometrisnya. Pola Kawung dan Ceplokan seperti Ganggong juga memiliki persamaan pada susunan pola bulatan lonjong di keempat sisinya dengan sudut kemiringan 45 derajat. 

motif batik

Motif Kawung dalam Bungkus Rokok Sampoerna dan Minak Djinggo

Berdasarkan pengamatan saya, ada dua bungkus rokok yang menggunakan pola Kawung pada visualisasinya. Keduanya adalah bungkus rokok Dji Sam Soe edisi 100 tahun berwarna gold metallic dan Minak Djinggo Rempah. Produk pertama diproduksi oleh Sampoerna, sedangkan yang kedua diproduksi oleh Nojorono, Kudus.

Dji Sam Soe Edisi 100
Dji Sam Soe edisi 100 Tahun, pola Kawung yang ditampilkan lebih mengesankan modern tanpa detail terperinci
Minak Djinggo kretek
Minak Djinggo Rempah, menampilkan Kawung Picis lebih detail

Kedua pola yang digunakan pada dua merek tersebut sama-sama menampilkan pola Kawung Picis yang sering juga diaplikasikan pada bangunan neo-tradisional, tempat umum, ornamen ventilasi rumah, lantai maupun tekstil modern. Pola Kawung merupakan motif batik yang populer di samping pola klasik lain seperti Parang. 

Hubungan Pola Batik dan Kretek Sebagai Warisan Budaya

Ada tujuh warisan budaya tak benda Indonesia yang telah didaftarkan sebagai Warisan Budaya Dunia ke UNESCO. Tujuh warisan budaya tersebut meliputi wayang, keris, batik, angklung, tari saman, noken Papua, dan tenun ikat Sumba.[2] Pengajuan tujuh warisan budaya tersebut ke UNESCO menyusul setelah diakuinya  77 warisan budaya tak benda oleh Direktorat Internalisasi dan Nilai Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 17 Oktober 2014. 

Warisan budaya tak benda adalah sebuah praktik , representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan – termasuk di dalamnya instrumen, benda, artefak dan ruang-ruang budaya terkait dengannya – bahwa masyarakat , kelompok, dan dalam beberapa kasus, individu mengakui sebagai bagian dari warisan budaya mereka. Definisi yang mengacu pada Convention for The Safeguarding of The Intangible Cultural Heritage UNESCO tanggal 17 Oktober 2003 tersebut memasukkan batik sebagai salah satu warisan budaya dunia karena berkaitan dengan ide atau gagasan masyarakat dan kreativitas lokal  yang dituangkan dalam ekspresi budaya. Dalam batik tulis yang masih mempertahankan pakem pembuatan secara tradisional, setiap pola memiliki arti khusus, digunakan pada situasi yang berbeda-beda dan menjadi penanda visual baik personal maupun sosial.

Batik Kawung di Keraton Yogyakarta dan Surakarta merupakan salah satu motif batik larangan (awisan dalem). Motif batik larangan artinya hanya boleh dikenakan oleh golongan terbatas pada keluarga raja, kerabat raja serta pejabat kerajaaan. Di Yogyakarta, Batik Kawung digunakan oleh Sentana Dalem atau keluarga raja, baik keluarga inti maupun kerabat dekat, sedangkan di Surakarta, batik Kawung dikenakan oleh Abdi Dalem berpangkat Punakawan dan Jajar Priyantaka.[3] Filosofi Kawung berarti mengingatkan manusia untuk selalu ingat bahwa tujuan akhir kehidupan adalah Alam Suwung atau Alam Kosong, di mana ketika kehidupan ini semua sudah berakhir, yang ada hanya Kosong atau suwung. 

merokok di kraton yogya

Pemaknaan terhadap motif-motif batik pada zaman dahulu terjadi karena adanya interaksi yang intim antara manusia sebagai subjek aktif dengan batik sebagai subjek pasif. Kandungan makna yang berbeda-beda pada tiap batik karena masyarakat Jawa menggunakan batik sebagai visualisasi harapan dan doa. Masyarakat Jawa mengenal doa tidak hanya dalam bentuk verbal atau yang terucap, tapi juga dalam bentuk visual seperti batik dan keris, sehingga doa yang wujudnya abstrak menjadi konkret ketika mewujud dalam sebuah benda.

Hal ini juga terjadi ketika Haji Djamhari “menemukan” ramuan tembakau, cengkeh dan kertas pembungkus rokok yang kemudian diberi nama rokok kretek. Proses penemuan kretek oleh Haji Djamhari tidak melalui proses tiba-tiba, tetapi melalui proses pengenalan tradisi konsumsi tembakau dengan cara nyusur. Cara nyusur ini yang kemudian dipelajari, dikembangkan dengan tradisi membakar tembakau oleh orang Eropa dengan dikombinasikan ramuan rempah seperti cengkeh, kayu manis dan kemenyan. Ketika ramuan tiga unsur tersebut memberikan efek obat sebagai ramuan penyembuh sakit asma, maka variable Harapan/Doa Haji Djamhari untuk sembuh bertemu dengan materialisasi kretek. Inilah yang disebut sebagai materialisasi doa.

Lantas, bagaimanakah hubungan antara bungkus rokok dengan kretek? Dari pemaparan singkat tentang sejarah dan filosofi batik di atas, kita mendapatkan pengetahuan bahwa setiap visualisasi memiliki makna tersendiri, sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan sederhana bahwa bungkus rokok sebagai representasi dari citra atau brand rokok bertautan dengan wacana rokok kretek sebagai warisan budaya tak benda karena praktik representasi, ekspresi pengetahuan melalui kreativitas lokal.

Praktik representasi tersebut, muncul karena adanya proses produksi yang mirip antara batik tulis dengan sigaret kretek tangan, meskipun perkembangan teknologi memungkinkan batik dan rokok diproduksi oleh mesin sebagai efek dari industrialisasi di Jawa. Namun, tak dapat disangkal bahwa kebaruan kretek sebagai warisan budaya dunia perlu dipersandingkan dengan batik, keris, angklung, noken, dan warisan budaya tak benda lainnya asal Indonesia.

 


[1] Grace Hartanti, Budi Setiawan (2019). Pendokumentasian Aplikasi Ragam Hias Batik Jawa Tengah Motif Kawung, Sebagai Upaya Konservasi Budaya Bangsa Khususnya Pada Perancangan Interior. Jurnal Aksen. 3(2). Hlm 25-37.

[2] Ghifar Yuristiadhi, (2014). Kretek Sebagai Warisan Budaya Tak Benda: Sebuah Tinjauan Sosiohistoris. Jurnal Wacana 34 (XVI). Hlm. 12.

[3] Solichul HA Bakri, (tanpa tahun). Motif Batik dan Falsafahnya. Hlm. 19-20

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Agung Widiyantoro

Agung Widiyantoro

Mahasiswa Magister Politik & Pemerintahan FISIPOL UGM