logo boleh merokok putih 2

Berebut Berkah Kiai Dari Sepuntung Kretek

Menurut Yusrul Falah, seorang alumni pesantren di Kudus, mengatakan bahwa pengetahuan Google kalah dengan seorang kiai dalam urusan agama.

[dropcap]S[/dropcap]ebagian orang mengenal Kudus sebagai kota kretek, walau tak sedikit juga yang menyebutnya sebagai kota santri. Banyak orang dari daerah lain seperti Kabupaten Jepara, Demak, Pati, dan daerah lainnya, belajar mendalami agama Islam ke Kudus. Ada yang di pesantren, atau di sekolah madrasah yang dikelola para kiai.

Kiai merupakan gelar bagi orang yang memiliki ilmu dan pengetahuan tentang agama yang sangat mendalam. Di kalangan masyarakat santri, kiai adalah salah satu rujukan tertinggi dalam bidang agama.

Bahkan menurut Yusrul Falah, seorang alumni pesantren di Kudus, mengatakan bahwa pengetahuan Google kalah dengan seorang kiai dalam urusan agama. Terlebih lagi pada situasi sekarang ini, saat konten-konten hoax menjamur di dunia maya.

Memang tidak semua situs atau berita yang ditampilkan di Google adalah informasi hoax. Tapi mungkin sulit bagi masyarakat umum untuk memilih dan memilah mana informasi yang benar dan yang salah, perlu kejelian dan ketelitian.

Peran kiai di Kudus sangat sentral di kalangan santri. Seorang kiai harus jelas asal keilmuannya, gurunya siapa, belajarnya dimana, bagaimana akhlaknya, dll. Dalam bahasa santrinya sanad-nya muttasil.

Di kalangan santri Kudus, beredar kata-kata Jawa “Mati urip derek kiai”, atau dalam bahasa Indonesianya berarti “Mati hidup ikut kiai”. Artinya, apa yang dikatakan dan dilakukan oleh kiai, akan diikuti santri. Tidak hanya itu, semua santri mempunyai cita-cita seperti kiainya, sangat mendalami ilmu agama dan memiliki santri.

Terkadang, apa yang dilakukan santri jauh dari logika para ilmuwan. Seseorang yang ingin menjadi ilmuwan, akan belajar dengan keras dan sungguh-sungguh agar pintar dan berhasil mencapai cita-citanya. Namun berbeda dengan santri yang ingin pintar dan memiliki banyak ilmu pengetahuan agama Islam seperti kiainya. Tak hanya sekadar belajar, tapi harus mencari berkah dari kiai. Berkah yang mendatangkan kebaikan di kemudian hari.

Para santri di Kudus mempunyai berbagai macam cara untuk mencari berkah dari kiainya. Ada yang mencium tangan kiai dengan bolak-bailk, meminum atau memakan sisa kiai, bahkan tidak jarang berebut puntung kretek yang telah dibuang kiainya.

Andai kata kebiasan para santri tersebut diketahui oleh Kementrian Kesehatan, mungkin nantinya akan dibuatkan satu aturan tentang mencari berkah kiai yang sehat.

Di Kudus, ada seorang kiai yang mahir dalam ilmu Qiro’ah Sab’ah (tujuh dialektika pembacaan al-Qur’an), tafsir (memahami al-Qur’an), ushul al-fiqh (asal usul hukum Islam), fikih (hukum Islam), dan mantiq (cara berbicara). Kiai Sya’roni Ahmadi namanya.

Pada saat beliau berusia 8 tahun, ibunda Kiai Sya’roni Ahmadi meninggal. Akhirnya beliau hanya diasuh oleh ayahnya yang pada saat itu bekerja sebagai pedagang tembakau dan Kiai Sya’roni Ahmadi di waktu kecilnya sudah bergelut dengan tembakau, untuk membantu sang ayah.

Bagi Kiai Sya’roni Ahmadi, mengkretek adalah hal yang biasa. Walaupun sekarang ia sudah tidak lagi mengkretek karena sakit. Ia berhenti bukan karena larangan, tapi lebih karena etika. Waktunya banyak dihabiskan di kamar dan di atas tempat tidur. Kerinduan akan kebiasaannya mengkretek, kerap kali terihat saat memandang orang yang mengkretek dari dalam kamarnya. “Segere (nikmatnya),” ujarnya berseloroh.

Sebelum sakit, beliau aktif mengajar di beberapa sekolah di Kudus, salah satunya di Madrasah Qudsiyyah. Sudah menjadi kebiasaan beliau saat berjalan menuju kelas menyusuri lorong-lorong sambil mengisap kretek. Sesaat sebelum masuk kelas, kretek dibuangnya ke tempat sampah.

Mungkin dalam pemikiran Kiai Sya’roni Ahmadi, seorang pengkretek harus beretika, tidak boleh sembarangan mengkretek, termasuk di kelas.

Ternyata gerak-gerik Kiai Sya’roni sebelum memasuki ruang kelas, kerap diamati oleh santri-santrinya. Begitu ia masuk kelas, dari segala penjuru santri berlarian menghampiri tempat pembuangan puntung kretek. Mereka berebut dan berharap mendapat puntung kretek dari sang kiai.

Santri yang dapat puntung kretek, berjalan dengan santai dengan wajah gembira, seakan masalah dunia terselesaikan hanya dengan puntung kretek. Dengan rasa bangga disulutnya kembali kretek tersebut, dan terkadang dipamerkan pula ke teman-temannya. Diisap, kemudian asapnya dikeluarkan dan diarahkan kewajah temannya, seakan berkata ”Hidupku lebih beruntung darimu.”

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Udin Badruddin

Udin Badruddin

Seorang santri dari Kudus. Saat ini aktif di Komite Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK).