logo boleh merokok putih 2

Cukai IHT Bukan Upeti

Kebijakan cukai mengakibatkan industri kretek bertumbangan satu per satu. Di atas kertas dari 3225 pabrik tahun 2009, kini hanya tersisa 600 pabrik. Sementara yang aktif bayar cukai hanya tersisa 100 pabrik.

[dropcap]I[/dropcap]HT, sebuah istilah yang kalah populer dengan UHT. Bermain akronim sudah jadi kebiasaan negeri ini sejak dulu. Buruk memang, tapi apa daya. Birokrasi masih suka mengakronimkan kata-kata. Ok, jangan melebar, fokus. IHT adalah Industri Hasil Tembakau, kalau masih pengen tahu UHT googling aja.

Saya akan berbagi pandangan tentang Industri Hasil Tembakau di sisi hilir-nya. Sudah tahu kan, jika sisi hilir sektor ini dikekang sebegitu rupa dengan berbagai regulasi. Ya, Industri Hasil Tembakau adalah produk legal dengan regulasi pengendalian begitu banyak, tumpang tindih dan cenderung dipaksakan. Mulai dari digolongkan sebagai zat adiktif, disamakan atau malah dianggap lebih bahaya daripada narkoba, diharuskan pasang gambar-gambar menjijikkan di bungkusnya, hingga kampanye negatif yang bernada kebencian.

Lihatlah, orang jadi kaya karena berusaha di sektor ini pun dikampanyekan seperti penjahat perang yang telah membantai ribuan nyawa. Sementara yang bisnisnya ngrusak hutan, bakar-bakar, dan jadi kaya malah diberi karpet merah pasang iklan narsis di pintu keluar salah satu terminal bandara international. Bagi para pegiat kampanye anti-rokok pasti menganggap ini bisnis haram.

Dengan regulasi yang begitu ketat dan kondisi negara yang masih memegang teguh budaya korupsi, maka siapapun yang bermain di bisnis ini harus siap menjadi sapi perah. Ya, sampai saat ini hanya Industri Hasil Tembakau yang bisa ngasih duit segar secara cepat ke pemerintah. Hanya dengan mengeluarkan keputusan pada tingkat menteri maka pasti langsung diikuti dengan taat oleh para pelaku industrinya. Maka segera mengalirlah uang besar yang jumlahnya tak kalah dengan kontribusi perusahaan plat merah kita yang bergerak di sektor migas.

Saat ini pemerintah tengah giat-giatnya menodong Industri Hasil Tembakau untuk menambah biaya pembangunan infrastruktur dan lain-lain, katanya. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20 Tahun 2015. Isi peraturan itu intinya: “Industri Hasil Tembakau diharuskan membayar cukai 2 bulan sebelum waktu produksi”. Misalnya, produksi untuk bulan Januari-Februari 2016 harus sudah disetor pada bulan Desember 2015. Jadi menurut hitungan para pengusaha untuk cukai tahun 2016 mereka harus setor cukai sebanyak 14 kali. Inilah yang membuat para pengusaha protes!

Jadi protes mereka beralasan dan dapat dimengerti ya. Mosok buruh-buruh boleh protes dengan mogok nasional, tapi perusahaan nggak boleh protes. Perusahaan harusnya ikut mogok juga dong, toh kalau ekonomi mandek yang pusing paling presiden. Gak mungkin juga Bung Kartolo dan pegiat anti-rokok ikut pusing. Toh bagi mereka kucuran dari New York masih ngalir.

CUKAI IHT BUKAN UPETI
Sekilas Cukai Tembakau

Produk tembakau dikategorikan produk yang harus dibatasi peredarannya. Untuk itu menaikkan cukai adalah salah satu kampanye yang didorong oleh kelompok anti-rokok.

Dulu jaman Belanda cukai selain dikenakan pada produk tembakau juga dikenakan untuk candu. Karena candu kemudian menjadi produk ilegal maka candu tidak lagi dikenakan cukai. Sekarang jaman Indonesia hanya dua barang yang dikenakan cukai, produk tembakau dan minuman mengandung etil alkohol. Karena konsumsi alkohol orang Indonesia rendah maka tembakau jadi tulang punggung cukai. Sekitar 95 persen dari seluruh penerimaan cukai APBN disumbangkan oleh sektor tembakau.

Penentu kebijakan cukai adalah kewenangan Badan Kebijakan Fiskal, Kementeriaan Keuangan. Setelah ditetapkan, baru Dirjen Bea dan Cukai, Kementeriaan Keuangan, melakukan ekseskusi terhadap ketetapan itu. Jadi karena kebijakan cukai dipegang Badan Kebijakan Fiskal tentu posisinya adalah andalan bagi pemasukan APBN.

Mungkin banyak yang belum tahu, cukai itu dibayar didepan lho. Oleh siapa? Ya oleh perusahaan rokok. Jadi barangnya belum diproduksi cukainya sudah harus disetor. Bisa anda bayangkan berapa biaya tetap perusahaan-perusahaan untuk setor cukai? Jadi, kalau pemerintah menetapkan target produksi bulan A adalah 1 milyar batang dan cukainya per batang tarifnya 415 rupiah, maka setiap bulan anda harus setor sebesar 415 milyar ke pemerintah. Gimana, sanggup nggak nyediain modal segitu? Kalau nggak sanggup ya nggak usah usaha di sektor ini. Nah kalau target bulanan dinaikkan lagi oleh pemerintah ya anda harus bersiap-siap menambah persediaan kas anda untuk setor cukai.

Ok kita lanjut lagi. Tapi sebelumnya, masih ada yang mau protes dengan dalil cukai dibayarkan oleh konsumen? Ya, gapapa juga kalau mau protes, namanya juga demokrasi.

Jadi gini ya, cukai itu dipungut oleh pemerintah berdasarkan target jumlah produksi rokok lho, bukan berdasar jumlah rokok yang sudah laku dibeli konsumen. Jadi jelas bukan, yang ngasih pemasukan ke negara dari cukai itu perusahaan. Kalau anda masih menganggap konsumen yang membayar cukai, berarti anda belum adil sejak dalam pikiran anda. Konsumen ya beli rokok, bukan bayar cukai wong cukainya sudah dibayar oleh perusahaan. Ingat, cukai itu disetor ke pemerintah sebelum rokoknya diproduksi, artinya cukai adalah komponen biaya produksi bagi perusahaan, ya kan? Nah, setiap konsumen membeli barang apapun di pasaran pasti dengan membayar semua komponen biaya produksi plus biaya-biaya yang lain ditambah keuntungan untuk produsen. Semoga sampai di sini sudah bisa nangkep kenapa kalau cukai naik, pengusaha protes.

CUKAI IHT BUKAN UPETI

Cukai sebagai Alat Pengendalian

Cukai adalah salah satu komponen yang digunakan untuk mengendalikan konsumsi tembakau. Ada beberapa tahapan pola pengendalian tembakau. Tahap pertama tembakau harus digolongkan sebagai zat adiktif dan berbahaya. Kedua, jumlah penjualannya dan konsumennya harus dibatasi. Tahapan berikutnya adalah menaikkan cukai rokok setinggi-tingginya agar konsumen berpikir untuk tak lagi beli rokok. Nah ketika berada di tahap itu, konsumsi rokok diharapkan berkurang drastis. Pada tahap ini menjadi penting adanya survai dari Badan Pusat Statistik kalau masyarakat kita masih miskin, tapi pengeluaran beli rokoknya mengalahkan pengeluaran untuk beli susu formula anaknya. Amunisi-amunisi negatif sangat diperlukan untuk mengakampanyekan bahwa rokok itu buruk dan tidak layak dikonsumsi manusia. Dengan demikian cukai dipakai untuk menekan sisi konsumen.

Selain menekan dari sisi permintaan konsumen, celakanya harga cukai yang tinggi juga menekan sisi produsen. Seperti yang sudah saya utarakan, karena semakin tinggi tarif cukai semakin besar pula biaya tetap yang harus dikeluarkan perusahaan untuk setor cukai. Kebijakan ini mengakibatkan industri kretek bertumbangan satu per satu. Di atas kertas dari 3225 pabrik tahun 2009, kini hanya tersisa 600 pabrik. Sementara yang aktif bayar cukai hanya tersisa 100 pabrik.

Celakanya, ngawurnya lagi pegiat anti-rokok menerapkan metode kampanye faith a comply, antara perusahaan-perusahaan rokok vs konsumen dan atau perusahaan-perusahaan rokok vs konsumen vs pemerintah. Mereka tidak pernah menggunakan pendekatan simpatik dan menilai dengan jernih dampak kampanye mereka itu telah mengorbankan para pelaku usaha, dari hulu sampai hilir.

Dikarenakan sifat Industri Hasil Tembakau di Indonesia masih banyak yang menggunakan pola tradisional maka kenaikan harga cukai akan berdampak langsung bagi seluruh stakeholder, dari hulu sampai hilir. Perusahaan-perusahaan kretek kelas kecil dan menengah jadi korban pertama. Ketika perusahaan-perusahaan kretek kelas kecil dan menengah bertumbangan maka otomatis pasar bahan baku tembakau dari petani juga berkurang dratis. Begitu juga dengan konsumen. Oleh pegiat anti-rokok konsumen akan selalu didakwa penyebab inflasi karena terus membeli barang yang mahal.

Jadi sebaiknya pemerintah lebih kreatif lagi menggali cukai dari sektor lain. Banyak komoditas lain yang perlu dibatasi penggunaan dan peredarannya. Nah disini cukai sebaiknya memenuhi juga asas keadilan, sehingga apapun yang patut dibatasi penggunaan dan peredarannya harus dikenakan cukai. Misal susu formula itu dianggap berbahaya ya tinggal dikenakan cukai saja. Atau obat anti-biotik yang efeknya ngeri sekali itu mbok ya kenakan cukai juga. Kalau cukai tidak bisa memenuhi prinsip keadilan maka tak ubahnya seperti upeti. Katanya sudah republik, tapi koq masih menarik upeti?

CUKAI IHT BUKAN UPETI

 

Sumber foto: Eko Susanto on flickr
Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Zulvan Kurniawan

Zulvan Kurniawan

Penikmat tembakau, teh, dan camilan yang renyah. Bapak Kretek Indonesia