REVIEW

Dangdutnya Tuh Disini

Siapa tak mengenal Cita Citata, pelantun lagu “Sakitnya tuh di sini”? Jika anda generasi usia 40-an dan tak mengenalnya, mundurlah di era 2000-an awal. Sebutlah Inul Daratista si pemilik “goyang ngebor” yang pernah menghebohkan wacana politik karena dituding mengeksploitasi erotisme tubuh. Anda pasti tahu, bukan? Kalau anda belum tahu juga, mungkin anda kurang piknik.

Ya, Inul dan goyang ngebor-nya oleh kelompok fundamentalis dianggap haram, tak sesuai akidah Islam. Rhoma Irama protes keras dan menyeru pencekalan Inul di televisi. MUI mengeluarkan fatwa kostum dan goyang Inul termasuk pornografi dan harus dilarang. Aksi demo anti Inul marak. Pro dan kontra pun menyeruak. Cak Nun, misalnya, mengritisi tebalnya budaya hipokrisi. Tak tanggung-tanggung “pembelaan” atas Inul bahkan melibatkan (mantan) Presiden Keempat Gus Dur, yang tak segan akan mengerahkan Banser NU untuk melindungi artis itu.

Inul yang goyang ngebornya fenomenal itu, bukan saja merupakan potret tentang perkembangan belantika industri musik dangdut kotemporer beserta gambaran budaya populer Indonesia, lebih dari itu. Hingar bingar “fenom-Inul” demikian disebut oleh pengamat sastra dari Kota Gudeg, juga memperlihatkan bagaimana kelompok-kelompok masyarakat dengan membawa kepentingan ideologis masing-masing bertarung memaknai gender dan “politik tubuh” sekaligus bermaksud mendefinisikan jenis musik dangdut sesuai kerangka tafsirnya.

Apa yang menarik kita catat di sini, bahwa munculnya “fenom-Inul” sesungguhnya hanyalah subordinasi dari fenomena dangdut, dan fenomena dangdut adalah wajah fenomena budaya masyarakat Indonesia. Mirip nama rokok kretek, penamaan jenis musik ini diambil secara onomatopis dari bunyi gendang yakni “ndang” dan “ndut”, suka atau tidak-suka adalah musik paling populer di Indonesia melebihi genre lain. Sayangnya bahkan hingga memasuki tahun 1990-an, kajian musikologis berbahasa Inggris cenderung mengabaikan fenomena dangdut sebagai bagian dari musik populer.

Pada titik ini Profesor Andrew N. Weintraub dalam “Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia”, mencoba mengulas secara mendalam mengenai musik dangdut, menelisih kesejarahannya dan mendedah berbagai kontruksi identitas serta makna sosialnya. Dengan pendekatan interdisipliner yang memadukan etnografi, historis, etnomusikologi, antropologi media dan kajian budaya serta melakukan wawancara dengan beragam narasumber terkait plus melakukan pengamatan-terlibat selama tiga tahun lebih, Weintraub berhasil memotret bagaimana lukisan dinamika perubahan industri musik dangdut dan wajah budaya urban masyarakat Indonesia selama empat puluh tahun terakhir ini.

Pada awal tulisan Prof Weintraub melacak akar geneologis munculnya musik dangdut. Dia menyimpulkan, musik dangdut muncul dari ruang budaya hibrida yaitu perkawinan dari unsur Melayu, Timur Tengah, India dan Barat. Unsur-unsur itu kemudian melebur dan mengkristal menjadi bentuk musik baru yang kini diberi nama “dangdut”. Popularitas jenis musik baru ini, seturut Weintraub, diperantarai oleh eksperimentasi musik Rhoma Irama, si-Raja Dangdut itu. Dia dan Elvy Sukaesih, si Ratu Dangdut itu, beserta group musik O.M. Soneta, merilis album “Begadang” pada 1975. Inilah titik mulanya.

Awalnya musik dangdut dilecehkan sebagai bentuk rendah dari budaya populer. Kalangan pendengar dangdut menempati lapisan bawah dalam struktur politik dan ekonomi. Oleh berbagai majalah atau koran saat itu, audiensnya disebut dengan istilah“rakyat kecil”, “rakyat jelata”, “rakyat jembel”, “kaum pinggiran” atau “marjinal”, atau “kelas menengah bawah”. Sementara istilah “dangdut” sendiri sesungguhnya mengandung nada cemooh. Sebuah editorial majalah Aktual, majalah musik ternama saat itu, konon sengaja menulis penamaan musik ini dengan tujuan mencemooh. Dangdut dianggap musik kampungan, kasar atau selera rendah dan eksesif. Pada awal 1970-an, tercatat Benny Subardja, anggota group rock Giant Step, bahkan mencapnya sebagai “musik tai anjing”.

Pada 1970-an dangdut disiarkan di TVRI, tapi masih sebagai subkategori genre pop. Nama “dangdut” beredar luas melalui radio pada 1973 – 1974. Namun demikian dangdut malah semakin berkibar. Dalam industri rekaman justru berhasil meraup market share melebihi genre lainnya. Pada 1972 album-album rekaman Ellya Khadam tercatat terjual lebih banyak daripada para pesaingnya di genre pop. Memasuki 1975 dangdut meraup pangsa pasar 75% dari seluruh produk rekaman musik. Tak berlebihan majalah mingguan Tempo (5 Mei 1979) mendapuk tahun itu sebagai “The Day of Dang Duts”.

Sejak itu banyak penyayi pop mulai menyebrang atau setidaknya turut berdangdut ria. Bahkan penyanyi “rock murni”, Ahmad Albar, vokalis God Bless, tak imun dari pengaruh atmosfir dangdut mania dan merilis album lagu Zakia di tahun 1979. Tak ketinggalan, Titi Qadarsih penyanyi pop yang anti-dangdut pun akhirnya berdangdut. Tak aneh, memasuki akhir 1970-an hingga pertengahan 1980-an, sebagai respon popularitas jenis musik ini, munculah aliran-aliran dangdut baru antara lain “dangdut pop”, “dangdut manis”, “dangdut rock”, dsbnya.

Menariknya, memasuki dekade tahun 1990-an daya tarik dangdut semakin sohor. Bukan hanya mulai diterima oleh kalangan kelas menengah atas dan melintas berbagai etnis, bahkan para pejabat negara juga ramai-ramai mendaulat dangdut sebagai musik nasional. Basofi Soedirman, Wagub DKI Jakarta (1993 – 1998) dan Ketua DPD Golkar Jakarta, tak urung turut berdangdut ria dengan merilis album berjudul “Tidak Semua Laki-Laki” sembari berseloroh “dengan dangdut kita sukseskan pembangunan”. Mensekneg Moerdiono tak ketinggalan, pernah berujar tentang dangdut sebagai “komoditi pembangunan dengan potensi yang tak terbatas…(dan) peluang untuk go international”.

Bersama pengakuan dan restu negara Orde Baru terhadap dangdut, maka musik ini segera dibingkai dan dimaknai ulang oleh negara. Prof Weintraub setidaknya mencatat lima poin. Pertama, mendatangkan profit. Kedua, diatur melalui sensor dan organisasi kebudayaan resmi. Ketiga, Jakarta sentris, tapi berjangkauan internasional. Keempat, bercitra glamor. Dan kelima, terhormat dan halus menurut standar kelas menengah dan kelas atas. Pada dekade 1990-an ini para produser mulai menyemai jajaran baru penyanyi glamor, halus dan terhormat sesuai citra negara itu, antara lain Evie Tamala, Iis Dahlia, Ikke Nurjanah, Cici Paramida, dsbnya.

Sesudah ambruknya Orde Baru 1998, dangdut sebagai teks sosial kembali menjadi lokus pertarungan diskursus dari kelompok-kelompok masyarakat dengan membawa kepentingan ideologis masing-masing terkait isu gender dan “politik tubuh”. Seperti disinggung di muka, fenom-Inul dan goyang ngebor jadi pemantiknya.

Apa yang menarik dicermati, Inul bukan dibesarkan oleh stasiun tv swasta, industri rekaman nasional dan perspektif Jakarta-sentris. Inul justru lahir dan dibesarkan dari ruang pinggiran kebudayaan. Dia menyemai karir nyanyinya dari panggung ke panggung hanjatan di kampung-kampung. Pada awalnya Inul hanya terkenal di Jawa Timur saja. Revolusi digital adalah berkah tersendiri bagi dangdut dan Inul. Dengan tekhnologi yang merakyat goyang Inul segera digandakan dan disebar ke senatero negeri dalam bentuk VCD. Ya, fenom-Inul terjadi pada momen kritis dan historis bangsa ini. Inul pada momen itu muncul merepresentasikan posisi bersebrangan dengan budaya otoriterianisme Orde Baru dan model keagamaan Islam konservatif yang tumbuh kuat pada masa Orde Baru.

UU Pornografi yang disahkan pada 2008, sedikit atau banyak konon karena dipicu oleh fenom-Inul dan lahirnya aliran dangdut yang mahsyur dengan nama “dangdut koplo”. Bersama dangdut koplo ini, memasuki dekade tahun 2000-an Prof Weintraub menyebut munculnya aliran baru yaitu “dangdut etnik” atau “dangdut daerah”. Kemunculan jenis yang terakhir ini, seturut Weintraub tak terlepas dari upaya memberi artikulasi kembali terhadap makna-makna etnisitas dan bangsa dalam musik dangdut setelah jatuhnya Orde Baru.

Sayangnya, meskipun Prof Weintraub sudah menyebut internet sebagai sumber risetnya, namun kerja penelitian lapangannya dilakukan jauh sebelum internet dan media sosial merakyat di Indonesia. Dari tersebar dalam bentuk kepingan VCD hingga dengan mudah hadir dalam gawai di genggaman dangdut semakin populer dan menguntungkan di Indonesia. Andai kini dia meneliti kembali, perspektif pembacaan, titik tekan dan kesimpulannya barangkali akan berbeda.

Terlepas daripada itu, buku ini sangat menarik. Selain kaya data-data primer, Prof Weintraub juga piawai melakukan pembacaan kesejarahan musik dangdut secara etnografis. Sebuah buku akan membuat pinggul kita bergoyang-goyang karena adanya keragaman makna. Ya, dangdut adalah sebuah jagat polyphonic yang Postmodernisme. Ayo joget, Prof! Dangdutnya tuh disini!

Tinggalkan Balasan