garam-kita-garam-impor
PERTANIAN

Garam Kita Garam Impor

Indonesia pertahun mengimpor 2 juta ton garam. Jumlah kebutuhan garam nasional berkisar 2,6 juta ton. Produksi garam dalam negeri rata-rata mencapai 1,1 juta ton. Ada selisih kekurangan sebesar 1,5 juta ton, namum ditutupi dengan impor jauh melebihi kebutuhan yaitu 2 juta ton.

 

[dropcap]I[/dropcap]ndonesia, sebuah negeri dengan garis pantai sepanjang 104.000 km merupakan salah satu negara kepulauan terbesar dengan garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada. Tapi, celakanya garam kita adalah garam impor.

Garam bukan satu-satunya yang diimpor. Indonesia mengimpor 29 jenis komoditas pangan. Tapi, terang sungguh celaka ketika komoditas garam yang notabene membutuhkan prasyarat teknologi relatif sederhana toh kita masih harus impor. Selain mengingat garis pantai Indonesia terpanjang kedua di dunia, garam juga merupakan komoditas cukup strategis. Garam dibutuhkan oleh berbagai sektor industri dan konsumsi rumah tangga.

Tahun 2011, Menteri Perikanan dan Kelautan, Fadel Muhammad menyatakan, pada 2002 Indonesia adalah pengekspor garam. “Karena kita negara kelautan nomor dua terpanjang di dunia, malu kalau kita mengimpor garam,” kata Fadel saat itu. Apa mau dikata, sampai berakhir jabatan beliau sebagai menteri, masalah impor garam tak kunjung terselesaikan. Bahkan masalah itu diwariskan ke rezim yang kini berkuasa. Meskipun Bu Susi sebagai komandan KKP bersikeras memberdayakan garam lokal namun kebijakannya bertepuk sebelah tangan dengan kemauan Kementeriaan Perdagangan.

Indonesia pertahun mengimpor 2 juta ton garam. Jumlah kebutuhan garam nasional berkisar 2,6 juta ton. Produksi garam dalam negeri rata-rata mencapai 1,1 juta ton. Ada selisih kekurangan sebesar 1,5 juta ton, namum ditutupi dengan impor jauh melebihi kebutuhan yaitu 2 juta ton.

Walhasil, industri garam nasional pun terancam ambruk. Kegaduhan dan polemik isu impor garam nampak begitu riuh memasuki tahun 2011. Sineas Azhari dan Jamalludin Phonna merilis film dokumenter “Garamku Tak Asin Lagi”. Film itu menceritakan tentang sekelompok perempuan Aceh yang berusaha mempertahankan produksi garam tradisional di tengah gempuran garam impor. Namun di Jakarta, menteri yang notabene peduli dengan nasib garam rakyat dilengserkan Presiden SBY.

Rezim pun berganti. Presiden Jokowi juga bermaksud mengakhiri impor dan swasembada garam. Ini bisa dilakukan sekiranya negara memberikan prioritas kebijakan pada tumbuhnya kekuatan produksi garam rakyat. Ancangan target Presiden Jokowi, tiga tahun ke depan Indonesia berhasil menghentikan impor garam dan berswasembada.

Komoditas garam kembali memantik polemik yang dipicu pernyataan Ibu Menteri Kelautan dan Perikanan tentang dugaan terjadinya rembesan garam industri di pasar umum yang merugikan petani garam rakyat. Selain itu, juga terkait lima usulan rekomendasi Kementerian Kelautan dan Perikanan kepada Kementerian Perdagangan terkait rencana revisi Permendag No. 58/M-DAG/PER/9/2012 tentang Ketentuan Impor Garam.

Garam Madura

Kegiatan produksi garam di Kalianget, Madura (1914-1925). Sumber foto: Tropenmuseum

Lima usulan rekomendasi itu antara lain: Pertama, impor garam konsumsi dilarang penuh. Kedua, impor garam industri dilakukan satu pintu melalui PT Garam (BUMN) dan koperasi petani garam. Ketiga, bagi importir yang melakukan impor, wajib menyerap garam rakyat paling sedikit sama dengan kuota impor yang dimilikinya. Keempat, kuota impor garam industri dikurangi 50 persen atau satu juta ton. Dan terakhir atau kelima, pengawasan ketat proses impor garam, dari tingkat pengadaan, penggudangan hingga distribusinya.

Rekomendasi KKP tidak digubris sama sekali oleh Menteri Perdagangan Thomas Lembong. Kemendag memilih bersikap pragmatis. Menjelang tutup tahun, yaitu pada 29 Desember 2015 terbitlah Permendag No.125/M-DAG/PER/12/2015 tentang Ketentuan Impor Garam sebagai revisi terhadap Permendag No. 58/M-DAG/PER/9/2012 tentang Ketentuan Impor Garam.

Peraturan terebut membuat garam memasuki era liberalisasi perdaganagn dengan indikasi: Pertama, dihapuskannya ketentuan harga patokan garam atau harga patokan pemerintah (HPP) untuk melindungi pembelian harga garam lokal pada tingkat petani. Kedua, dihapuskannya pembatasan waktu impor yang sebelumnya tidak boleh dilakukan satu bulan menjelang panen raya, pada saat panen raya dan dua bulan setelah panen raya. Dan ketiga, dihapuskannya kewajiban importir garam untuk menyerap garam lokal dari rakyat. Padahal pada kebijakan Permendag sebelumnya importir diwajibkan menyerap garam rakyat sebesar 50% dari kuota impor miliknya. Lebih jauh, bahkan Permendag baru itu sama sekali tidak mengatur mekanisme penyerapan garam lokal yang memenuhi standar garam industri.

Implikasinya mudah diduga. Produksi garam rakyat akan semakin tergerus garam impor. Segala upaya meningkatkan capaian produksi garam nasional yang telah dilakukan jauh hari sejak jaman Presiden SBY juga terancam hilang. Tidak adanya sinergisitas kebijakan antar Kementerian karena ego sektoral nampaknya masih menjadi kendala yang berlarut-larut. Bahkan, pada tingkat database yang jadi acuan pun seringkali bukan dari sumber yang sama.

Pada titik ini kesalahan mendasar Presiden Jokowi adalah meneruskan model pemisahan antara Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan warisan Presiden SBY (2004). Pasalnya bicara revitalisasi industri nasional seharusnya bicara pokok-soal sinergisitas hulu dan hilir, di mana instrumen kebijakan pada tingkat hilir yaitu sektor perdagangan seharusnya mengabdi pada kebijakan di tingkat hulu atau kepentingan sektor produksi. Tanpa adanya sinergisitas kebijakan antara hulu dan hilir, mudah diterka liberalisasi perdagangan di hilir pasti berdampak memukul telak semua upaya peningkatan produksi di hulu. Dan rencana revitalisasi industri nasional yang dicanangkan Presiden Jokowi, alamat hanya jadi tong kosong berbunyi nyaring saja.

Nawacita…oh Nawacita… Trisakti rasa neolib!

Tinggalkan Balasan