logo boleh merokok putih 2

Islam Nusantara

Islam Nusantara sudah pasti adalah Islam. Bahwa Islam Nusantara memiliki keunikan dan karakter khusus yang berbeda dengan budaya Islam di Timur Tengah bukan berarti membatalkan atau mengurangi keabsahan proses keislamannya. Terlebih kita mau berendah hati menggunakan kacamata tasawuf dan sufisme sebagai jalan kebudayaan untuk merumuskan definisi Islam, maka Islam Nusantara adalah Islam yang satu. Bukan sempalan.

Celakanya, para orientalis dan ilmuwan kolonial sejak dulu cenderung membangun tafsirannya dengan model memisahkan adat atau budaya lokal dari Islam. Snouck Hurgronje dalam The Achehnese, sengaja mereduksi Islam dengan membuat klasifikasi yang sangat kaku antara Islam dan adat dengan tujuan mempertajam posisi keduanya sehingga saling berseberangan. Metode ini dipakai Belanda untuk menyelesaikan Perang Aceh (1873 – 1914).

Lebih jauh metode Hurgronje menjadi panduan pemerintah Belanda mengeliminir potensi kebangkitan dan perlawanan politik Islam (Islam Politiek). Menjelang akhir abad ke-19 dibentuklah lembaga kajian bahasa Jawa beserta proyek Javanologi oleh Belanda. Tujuannya ialah membangun sparasi antara budaya Jawa pra dan pasca Islam. Budaya Jawa klasik yang dianggap adiluhung dilekatkan pada periodesasi Jawa pra Islam (Hindu-Budha), sementara Jawa pasca Islam justru sebaliknya.

Artinya tafsiran sosiologis yang membagi-bagi, mengkotak-kotakan dan bahkan menghadap-hadapkan Islam dan adat, sebenarnya lebih merupakan desain kontruksi wacana politik yang hadir sejak penetrasi kolonialisme Belanda dan proyek orientalisme-nya. Bahwa tercatat muncul kasus kekerasaan dan perlawanan politik elit lokal terhadap konversi keagamaan Islam–seperti tafsiran Arus Balik-nya Pramodya Ananta Toer (1995)–kalaupun ada tentu bukanlah arus sejarah dominan. Arus sejarah dominan tetap lebih ditandai jalan damai. Ini tak terlepas dari karakter Islam yang masuk ke Indonesia dibawa oleh para ulama sufi.

Seperti kita tahu, tasawuf yang dijalankan para sufi mendasarkan pada perilaku zuhud yang cenderung menjauhi hal duniawi termasuk urusan politik. Ilmu tasawuf yang dianut para sufi dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam. Tradisi mistisme yang di Nusantara sudah berekembang dengan tradisi kepertapaan, menjadikan tasawuf lebih khususnya mistisme Islam, tak cemas dengan tendensi heterodoksi atau sinkretisme keagamaan karena secara genius melihat titik temu dan tujuan yang sama pada agama-agama manusia. Dari tradisi yang dijalani para pembawa ajaran Islam dengan tradisi Nusantara, maka terbentuklah satu jalan kebudayaan dalam menyebarkan Islam di Nusantara.

Tak aneh pula, sekalipun di tengah-tengah masyarakat budaya Jawa terdapat perbedaan perihal tebal-tipisnya pelaksanaan ritual Islam yang mewujud dalam istilah abangan dan putihan, namun di lapangan tak berati konfliktual. Keduanya sama-sama mendaku diri Islam. Adanya perbedaan abangan dan putihan terwadahi oleh kadar toleransi yang besar, disertai sikap saling menghormati satu sama lain. Itulah karakteristik dan atribut yang paling mendasar dari Islam Nusantara. Sikap moderat.

Penelitian tentang pengaruh sufisme di Indonesia, lebih-lebih pada budaya Jawa, salah satu yang terkenal dan telah menjadi klasik adalah The Religion of Java karya Clifford Geertz. Namun Geertz nampak cukup gegabah memaknai tebal-tipisnya pelaksanaan ritual Islam orang Jawa sebagai dasar pijakannya merumuskan tentang apa yang disebutnya “Agama Jawa.” Penamaan Agama Jawa dan bukan Agama Islam (Nusantara) oleh Geertz, langsung atau tidak langsung, sebenarnya telah mereduksi posisi dan peran Islam.

Kritik tajam datang dari Marshall G.S. Hodgson. Hodgson menunjukkan kekeliruan Geertz, yang menurutnya tanpa disadari Geertz telah merumuskan definisi Islam dari bias kacamata formal pelaksanaan syariah versi kaum Islam modernis dan kurang kritis ketika mengadopsi pendekatan kolonial. Menurut Hodgson, “Bagi yang mengerti Islam, datanya yang komprehensif itu–tak peduli maksud Geertz sendiri–menunjukkan betapa sedikitnya yang masih bertahan dari Hindu masa lalu, bahkan di pedalaman Jawa, dan menimbulkan pertanyaan mengapa kemenangan Islam itu sedemikian sempurnanya.”

Jika seorang Hodgson saja menganggap kemenangan Islam di Jawa khususnya, demikian sempurna maka tak berlebihan jika “kejawen” sebagai proses penjawaan sufisme Islam atau pengislaman mistisisme Jawa secara serentak. Dapat dibaca demikian ketika kerangka sufisme mengedepan sebagai formula merumuskan definisi Islam. Sehingga dengan melihat banyaknya penggunaan istilah Islam dalam pandangan dunia kejawen, meski hal itu bisa jadi tanpa disertai pelaksanaan ritual Islam (Sholat, Puasa dan Zakat), sejatinya juga masih bisa dianggap dan dikelompokan sebagai Islam.

Budaya hibrida adalah karakteristik Nusantara. Senyawa unsur-unsur global dan unsur lokal senantiasa jadi dinamika dan penentu konstruksi sosial warna kebudayaannya. Wajah Hindu dan Budha di sini memiliki karakteristik khas dan berbeda dengan Hindu dan Budha di tanah kelahirannya, India. Begitu juga dengan Islam di Nusantara, dalam perkembangannya menjadi sebuah negeri dengan penduduk beragama Islam terbesar yang tercatat paling sedikit mengalami proses Arabisasi.

Namun demikian Islam Nusantara sendiri tentu bukanlah entitas beku. Pasang surut sejarah, khususnya karena pengaruh politisasi baik pada tingkat global maupun lokal, jelas mempengaruhi pasang surut eksistensinya.

Sejalan gairah negara memeluk modernisme dengan wajah yang semakin beringas dan timpang, maka muncullah gairah gerakan kaum fundamentalis merealisasi hukum Islam dalam jangkar sosiologis. Akibatnya Islam Nusantara secara diskursif pun hendak didepak keluar dan serta-merta dianggap bukan Islam. Tanpa peduli konteks historis dan antropologis, gerakan ini malah mengadopsi kembali model pendekatan kolonial. Bersemangat menyeragamkan wajah Islam justru dengan kembali membagi-bagi, mengkotak-kotakan dan bahkan menghadap-hadapkan Islam di satu sisi dan adat atau budaya lokal di sisi lain. Akibatnya jalan politik pun jadi lebih mengedepan ketimbang jalan kebudayaan.

Walhasil, apa yang dirasakan publik luas adalah sebuah pemaksaan satu model Islam secara monolitik. Ini selain justru mengerdilkan spirit nilai-nilai universalisme Islam itu sendiri, lebih jauh juga jadi ancaman atas wajah kebhinekaan. Pasalnya pemaksaan wajah monolitik kebudayaan, atas nama apapun–termasuk agama dan Tuhan sekalipun–secara sunatullah akan bertentangan dengan wajah realitas yang sudah ditakdirkan Tuhan bersifat heterogen.

Al Quran surat Al Hujuraat ayat 13 mengatakan, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Dan masihkah kau dustakan Islam Nusantara itu?

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

www.bolehmerokok.com

www.bolehmerokok.com

Bolehmerokok adalah ruang berisi cerita dan informasi ringan, tempat untuk bersantai tanpa harus curiga.