logo boleh merokok putih 2

Kassian Cephas, Pionir Fotografi Profesional Pribumi

“Kiprahnya tersebut telah mengantarkan Cephas diakui sebagai anggota Royal Batavian of Art and Sciences yang menginisisasi pendirian Museum Nasional dan Perpustakaan Nasional.”

[dropcap]D[/dropcap]alam jagat fotografi modern, namanya sudah tidak lagi dibicarakan orang. Bahkan mereka yang saat ini berprofesi sama dengannya pun, mungkin tidak banyak yang menegenalnya. Bisa dibilang dia adalah salah seorang pionir fotografi di Nusantara – pada masanya Indonesia belum terbentuk – namun mungkin orang akan lebih mengenal sosok Frans atau Alex Mendur, ketimbang mengenal seorang Kassian Chepas.

Lahir pada saat pendudukan Hindia Belanda dengan nama Kassian. Nama belakangnya Cephas adalah nama baptis yang kemudian diresmikan sebagai nama marga. Ia menyapa dunia di Yogyakarta 15 Januari 1845, dari pasangan Kartodrono dan Minah. Sejak kecil ia diangkat anak oleh keluarga Belanda, Frederik Bernard Fr. Schalk, dan pada saat remaja dia bekerja pada Christina Petronella Steven. Dengan bekerja di keluarga misionaris Katolik ini, Kassian Chepas mengenal fotografi.

Cephass juga belajar fotografi dengan Simon Willem Camerik, fotografer resmi di keraton Ngayogyakarto Hadiningrat pada masa kepemimpinan Sultan Hamengkubuwono VI. Atas daulat sang raja pula, Camerik diminta untuk mendidik Chepass menjadi fotografer yang baik. Proses pembelajaran ini berlangsung hingga 1871, hingga akhirnya ia diangkat secara resmi sebagai fotografer keraton Ngayogyakarta Hadiningat.

Walau ia tumbuh dan belajar perihal fotografi pada saat kolonialisme Belanda, namun dokumentasi yang diabadikan oleh Chepas bukanlah pelbagai peristiwa yang berkaitan dengan perjuangan kemerdekaan, pemberontakan, dan lain sebagainya. Ia justru lebih banyak memotret monumen, dan peristiwa budaya di sekitar Yogyakarta, dan Jawa Tengah.

Sebagai bagian dari orang keraton, ia mempunyai kesempatan untuk dapat mendokumentasikan berbagai pertunjukan tari keraton. Bahkan pada tahun 1885, ia adalah orang yang mendokumentasikan reruntuhan Taman Sari, juga foto relief Borobudur. Kiprahnya tersebut telah mengantarkan Cephas diakui sebagai anggota Royal Batavian of Art and Sciences yang menginisisasi pendirian Museum Nasional dan Perpustakaan Nasional.

Pergulatannya dengan kamera terus berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Sebuah kamera baru ia beli satu tahun kemudian, dengan spesifikasi yang mampu membuka tutup rana 1/400 detik. Dengan kamera baru itu, memungkinkannya untuk memotret penari di keraton tanpa harus menghentikan dahulu gerakan para penari.

Hasil jepretannya menarik perhatian dari Isaac Gronerman, seorang dokter Belanda yang banyak menulis mengenai budaya dan arkeologi Jawa. Groneman menerbitkan sebuah buku pada 1988, dengan judul “In den Kedaton te Jogjakarta”. Dalam buku tersebut menyertakan 16 foto dokumentasi tari Jawa yang diselenggarakan di Keraton Yogyakarta, hasil karya Kassian Cephas. Melalui buku tersebut foto-foto Cephas mendapatkan ekspos publikasi yang lebih luas di kalangan petinggi-petinggi Belanda.

Pada tahun 1889 Archaeologische Vereeniging berminat untuk menyelenggarakn studi melestarikan candi-candi Hindu di Jawa Tengah. Salah satu prioritas dari studi yang dilakukan adalah komplek Candi Loro Jonggrang. Kassian Cephas mendapatkan tugas untuk memotret Candi itu sebagai bahan studi yang digunakan oleh Archaelogische Vereeniging. Cephas dibantu oleh putranya Sem yang bertugas menggambar Candi dan lingkungan sekitarnya.

Pada tahun 1891 Kassian Cephas mendapatkan tugas untuk mendokumentasikan relief-relief Candi Brobudur pada proyek penggalian yang terbengkalai sejak 1870an. Cephas mendapatkan uang 3.000 gulden untuk kerja-kerja yang telah dilakukan untuk proyek pendokumentasian itu. Cephas mendokumentasikan 160 relief Karmawibangga yang berada didasar Candi Borobudur. Harga dokumnetasi adalah sepertiga dari seluruh biaya penelitian.

Setelah menyelesaikan pendokumentasian pada proyek penggalian dasar Candi Borobudur, Kassian Cephas dinominasikan mendapatkan status penyetaraan dengan warga negara Belanda. Prestasi Kassian Cephas dalam mendokumentasikan monumen peninggalan sejarah dan peristiwa budaya diganjar oleh Ratu Wilhelmina dengan medali penghormatan Order of Orange-Nassau. Pemerintah kolonial jelas berkepentingan dengan tanah jajahannya, sehingga dokumentasi apapun dari tanah jajahan dianggap penting. Tak heran jika fotografer profesional seperti Cephas diparesiasi begitu tinggi oleh pemerintah kolonial.

Pada usia 60 tahun, ia memututskan untuk pensiun dari dunia fotografi, dan mewariskan keahlian serta usaha fotografinya kepada Sem. Sebelumnya, pada 1990, pemerintah kolonial Belanda telah mendirikan Oudheidkundige Commissie, atau Komisi Arkeologi yang salah satunya melakukan kerja pengambilan foto benda, budaya, dan lain-lain. Pembentukan komisi ini menjadi pukulan yang berat bagi perkumpulan arkeologi lokal, termasuk bagi Cephas dan anaknya yang tak lagi membuat foto untuk tujuan arkeologi.

Ia meninggal pada usia 68 tahun, tepatnya 16 November 1912, setelah menderita sakit yang cukup lama. Kassian dimakamkan di pekuburan yang terletak di antara pasar Beringharjo dan daerah Lodji Ketjil. Perusahaan fotografi keluarganya akhirnya tutup beberapa tahun kemudian ketika Sem Cephas meninggal pada tanggal 20 Maret 1918 karena kecelakaan berkuda.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Zulvan Kurniawan

Zulvan Kurniawan

Penikmat tembakau, teh, dan camilan yang renyah. Bapak Kretek Indonesia