KESENJANGAN PEMBANGUNAN MELEBAR
PERTANIAN

Kesenjangan Pembangunan Melebar

1 persen orang terkaya menguasai separuh lebih kekayaan Indonesia. Besarannya mencapai 50,3 persen. Bukan hanya aset uang melainkan juga properti dari total uang dan properti nasional.

Sumber foto:  Stefan Magdalinski

Sumber foto: Stefan Magdalinski

[dropcap]P[/dropcap]embangunan dan hasil pembangunan di Indonesia semakin menunjukkan wajah kontradiksinya yang semakin mengkhawatirkan. Di balik terjadinya kemajuan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi justru muncul pemiskinan sebagian besar penduduk dan kesenjangan yang semakin tajam. Pasca Reformasi kesenjangan antara yang-kaya dan yang-miskin nampak menjadi-jadi. Roti pembangunan memang tumbuh dan membesar, namun bagian terbesarnya hanya dinikmati dan terkonsentrasi pada segelintir orang.

Tercatat 1 persen orang terkaya menguasai separuh lebih kekayaan Indonesia. Besarannya mencapai 50,3 persen. Itu bukan hanya aset uang melainkan juga properti dari total uang dan properti nasional. Sementara 10 persen orang terkaya menguasai 77 persen dari seluruh kekayaan Indonesia. Jika pada tahun 2002, 10 persen warga terkaya tercatat mengonsumsi sama banyaknya dengan total konsumsi 42 persen warga termiskin, tapi kini 10 persen orang terkaya mengonsumsi sama banyaknya dengan 54 persen warga termiskin pada tahun 2014.

Celakanya lagi upaya pengentasan kemiskinan malah mulai terlihat mandeg, penurunan angka kemiskinan secara statistika justru bergerak mendekati angka nol pada 2014. Ketimpangan di Indonesia selama dua dasawarasa terakhir tercatat tinggi dan naik tercepat dibandingkan sebagian terbesar negara tetangga di Asia Timur, tercatat sebagai terparah di Asia Tenggara, setara dengan kasus yang terjadi di Etiopia dan Pantai Gading.

Demikianlah beberapa sinyalemen ekonomi dalam Laporan Bank Dunia (2015). Laporan yang bertajuk “Ketimpangan yang Semakin Lebar” adalah hasil penelitian bersama Bank Dunia dan berbagai lembaga di Indonesia, didanai oleh Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) Australia, memberikan catatan kritis yang sangat penting kita simak bersama.

Pertama, satu dekade terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata mencapai angka 6 persen. Bahkan dalam catatan laporan ini, disebutkan 15 tahun terakhir pertumbuhan ekonomi berkelanjutan selama ini telah menciptakan kelas menengah yang berkembang. Selama masa itu angka kemiskinan memang telah berkurang lebih dari separuhnya, yaitu dari angka 24 persen pada fase krisis 1998 menjadi 11 persen pada 2014. Namun sayangnya selama satu dekade terakhir pertumbuhan ekonomi ini hanya menyasar kelompok 20 persen warga terkaya, 80 persen sisanya yaitu 205 juta orang tertinggal jauh di belakang.

Kedua, ketimpangan ini terjadi karena adanya lingkaran setan kemiskinan yang susah diretas putus. Anak-anak dari keluarga miskin seringkali tidak memiliki kesempatan awal yang adil dan sama, sehingga akhirnya mengurangi kemampuan mereka untuk sukses di masa depan. Mereka tidak mendapat awal hidup yang baik, seperti akses kesehatan, pendidikan, rumah, dan air bersih. Matthew Wai-Poi, Ekonom Senior Bidang Kemiskinan dari Bank Dunia mengatakan, 32 persen anak tidak bisa mengakses dua dari tiga hal ini, yakni pendidikan, rumah layak, dan air bersih. Lebih parahnya lagi, 18 persen anak-anak keluarga miskin terpaksa hidup di rumah tak layak, tanpa air bersih, dan tak sekolah. Sementara di sisi lain, anak-anak dari keluarga kaya tumbuh dalam situasi sebaliknya. Mereka akan lulus pendidikan tinggi, berstandar internasional atau bahkan sekolah di luar negeri, bekerja dengan gaji besar, dan bisa mendapat warisan aset kekayaan orangtua.

Ketiga, tingginya angka korupsi juga memantik semakin tingginya angka ketimpangan sosial. Segelintir warga meraup keuntungan lewat kepemilikan aset keuangan yang diperoleh melalui korupsi, sehingga mendorong ketimpangan menjadi lebih tinggi baik pada saat ini maupun di masa mendatang.

Keempat, situasi pasar tenaga kerja juga menjadi salah satu sumber ketimpangan. Segelintir pekerja terampil mendapatkan upah sangat besar, sedangkan pekerja kurang terampil terjebak dalam produktivitas rendah, sektor pertanian dan informal, serta berupah rendah. Profil para pekerja terampil sudah tentu berkorelasi dengan mereka yang sejak awal memiliki akses sekolah yang baik dan mengambil manfaat dari pendidikan berkualitas tinggi tersebut. Sementara profil para pekerja kurang terampil tentu ditandai ciri-ciri sebaliknya. Laporan ini mencatat 60,92 persen pekerja berbekal pendidikan SD atau lebih rendah; 16,74 persen lulusan pendidikan SMP; 17,55 persen lulusan pendidikan SMA; dan 4,78 persen lulusan pendidikan tinggi, universitas atau yang sederajat. Situasi pasar tenaga kerja ini sekaligus membuktikan adanya konsekuensi dari ketimpangan peluang sejak awal (baca: poin kedua).

Kelima, tercatat antara tahun 2001 – 2012 tercipta lebih dari 20 juta pekerjaan baru. Meski demikikan penciptaan lapangan kerja relatif terpusat pada sektor-sektor yang produktivitasnya rendah, tak membutuhkan ketrampilan tinggi, dan, karena itu, juga berupah rendah. Sementara sektor manufaktur hanya menyumbang 16 persen dari total pertumbuhan ekonomi nasional dan hanya membuka 3,3 juta lapangan pekerjaan baru. Kontribusi 16 persen ini membuktikan bahwa sektor manufaktur belum sepenuhnya pulih sejak krisis 1997 – 1998. Kondisi ini terjadi karena buruknya infrastruktur dan iklim investasi sehingga membuat nilai investasi langsung pada sektor manufaktur rendah dan menghalangi terciptanya lapangan pekerjaan baru yang lebih banyak dan lebih baik.

Keenam, selama krisis keuangan Asia pada tahun 1997 – 1998, angka kemiskinan naik tajam dan, karena itu, rasio Gini turun. Semua orang terkena dampak krisis, namun segmen masyarakat terkaya terhantam paling keras. Bicara rasio Gini menjelang krisis tercatat mencapai angka di atas 35, tapi tetap masih di bawah 40. Namun rasio Gini kini justru tercatat meningkat tajam. Dari angka 30 pada 2000 naik menjadi 37 pada 2009 dan meningkat lagi menjadi 41 pada 2014. Angka rasio Gini dari Laporan Bank Dunia ini lebih moderat ketimbang angka yang pernah dilansir oleh Bappenas, bahwa rasio Gini secara nasional sudah mencapai angka 43, sementara fenomena di banyak daerah justru memiliki angka di atas rasio Gini nasional itu.

Sebagaimana diketahui, ukuran ketimpangan yang populer digunakan adalah koefisien Gini, dirumuskan ahli statistika sekaligus ahli sosiologi Italia, Corrado Gini. Angka 0 berarti sepenuhnya setara dan 100 berarti sepenuhnya tak setara. Artinya dengan rasio Gini di Indonesia menyentuh angka 41 atau kadang ditulis 0,41 banyak pihak mengingatkan bahwa kesenjangan antara yang-kaya dan yang-miskin sudah memasuki sinyal warna kuning dan tingkat mengkhawatirkan.

Ketua Bappenas sebelum resufel kabinet baru lalu, Andrinof Chaniago, pernah mengatakan bahwa kesenjangan antara penduduk kaya dan miskin sudah berada pada tingkat kritis dan membahayakan. Rasio Gini saat ini sudah relatif sama dengan situasi sebelum meledaknya krisis ekonomi 1997 – 1998. Sementara jika merujuk data laporan Bank Dunia itu, angka ketimpangan atau rasio Gini saat ini justru sudah jauh melebihi situasi menjelang krisis saat itu. Artinya bicara kesenjangan antara penduduk yang-kaya dan miskin kondisi kini jelas lebih senjang dibandingkan pada masa Orde Baru. Kondisi ini jelas berbahaya. Karena satu atau lain hal, ketika kondisi ini bertemu dengan faktor-faktor lain yang bisa memantik sebuah gejolak politik, tak mustahil pada tingkat akar rumput bakal menyulut huru-hara dan kerusuhan.

Tinggalkan Balasan