logo boleh merokok putih 2

Ketika Nilai-Nilai Adat Melestarikan Profesi Petani

“Dalam adat istiadat dan tradisi masyarakat Desa Munduk, sebagai anak laki-laki satu-satunya, Putu Erma harus kembali ke kampung halaman dan mengelola lahan pertanian milik keluarga.”

[dropcap]B[/dropcap]eberapa media nasional pernah mengangat berita soal penurunan jumlah petani. Ada juga yang membahas rata-rata, petani saat ini didominasi petani senior, dengan usia di atas 60 tahun. Namun, apakah benar proses regenerasi terhambat? Apakah benar generasi muda tidak berminat menjadi petani? Jika benar, bagaimana cara menambah jumlah petani usia produktif?

Ada satu fakta menarik yang bisa dilacak ke Bali Utara, tepatnya di Desa Munduk. Putu Erma, seorang petani yang masih berusia 31 tahun menceritakan kisahnya memilih berprofesi sebagai seroang petani cengkeh. Alasannya menjadi petani cengkeh cukup menarik, ia meninggalkan pekerjaannya di bidang pariwisata dan beralih menjadi petani kareka panggilan adat.

Putu Erma memutuskan menjadi petani cengkeh saat usianya masih sangat muda, 22 tahun. Alasannya memilih menjadi petani cengkeh karena kewajiban untuk merawat keluarga dan aset yang dimiliki keluarga.

Dalam adat istiadat dan tradisi masyarakat Desa Munduk, sebagai anak laki-laki satu-satunya, Putu Erma harus kembali ke kampung halaman dan mengelola lahan pertanian milik keluarga. Sebelum memutuskan kembali ke desa menjadi petani cengkeh, Putu Erma bekerja di Ubud. Profesinya di bidang pariwisata ia geluti sesaat setelah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Jurusan Pariwisata di Ubud.

Setahun setelah menjadi petani cengkeh, Putu Erma menikah. Kini ia telah dikaruniai dua orang anak. Anak pertama perempuan berusia enam tahun, saat ini duduk di kelas satu Sekolah Dasar (SD). Sementara anak kedua, lelaki masih berusia 2,5 tahun.

Putu Erma mewarisi kebun cengkeh seluas 54 are dengan total pohon cengkeh yang ditanam berjumlah 104 batang. Usia pohon cengkeh di lahan yang ia kelola rata-rata 25 tahun, ia melakukan peremajaan tanaman dengan menanam pohon baru untuk mengganti pohon-pohon yang sudah mati diserang hama atau tumbang karena angin kencang.

Dari total 54 are lahan cengkeh miliknya, saat musim panen normal, panen cengkeh kering miliknya mencapai sembilan hingga 10 kuintal. Saat musim panen, ia mempekerjakan enam orang pemetik untuk memanen cengkeh. Total biaya produksi yang ia keluarkan per kuintal sebesar Rp3 juta. Biaya produksi meliputi upah pemetik, biaya pembuatan tangga untuk panen, pembelian pupuk organik cair, dan biaya perawatan kebun.

Putu Erma menjual hasil panen kepada seorang saudagar cengkeh langganannya di Batu Galih, Desa Munduk. Sebelum menjual, ia menelpon saudagar, kadang cengkeh diantar, kadang diambil langsung oleh saudagar.

Ada dua metode penjualan yang biasa ia praktikkan. Pertama, ia menjual cengkeh kering miliknya langsung dengan harga tertinggi sesuai harga yang ditetapkan di hari cengkeh dijual. Harga tertinggi pernah mencapai Rp200.000, harga terendah Rp76.000, dan rata-rata harga adalah Rp100.000.

Cara kedua, dengan menukarkan cengkeh basah dengan cengkeh kering. Cara kedua ia lakukan saat cuaca sering hujan. Proses pengeringan yang ia lakukan sendiri terhambat dan membutuhkan waktu yang lebih panjang. Risiko penurunan kualitas cengkeh semakin tinggi, sehingga ia memutuskan untuk menukar cengkeh basah miliknya dengan cengkeh kering. Paling lama ia bisa menahan hasil cengkehnya selama tiga bulan.

Lelaki ini harus menyerahkan cengkeh basah yang sudah dipisahkan dari tangkainya sebanyak 315 kilogram untuk ditukarkan dengan 100 kilogram cengkeh kering. Menurutnya, peraturan semacam ini umum berlaku di Desa Munduk. Perhitungan umum adalah, tiga kilogram cengkeh basah menghasilkan satu kilogram cengkeh kering. Kelebihan 15 kilogram cengkeh basah sebagai upah pengeringan.

Dalam setahun, Putu Erma rutin melakukan perawatan kebun sebanyak empat kali. Sekali pemupukan seusai panen, dan tiga kali perawatan kebun dengan memangkas cabang-cabang pohon dan membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh di kebun.

Pupuk yang digunakan adalah pupuk cair organik produk diegro atau herbafarm. Harga pupuk ini mencapai Rp1,2 juta, berisi 12 botol dengan volume di masing-masing botol satu liter. Selain itu, sekali dalam sebulan, Putu Erma rutin mengecek pohon-pohon cengkeh miliknya, memeriksa akar dan batangnya apakah masih sehat atau ada serangan hama dan penyakit.

Ada tiga jenis hama yang pernah menyerang pohon cengkehnya, yaitu ulat kayu, jamur akar, dan jamur kayu. Serangan dari hama ulat kayu yang menyebabkan Putu Erma harus rutin mengecek batang-batang pohon miliknya sekali dalam sebulan. Ulat kayu akan memakan kayu bagian dalam sehingga menyebabkan batang kayu cengkeh berongga, lalu mati.

Sejauh ini, penanganan mengatasi hama ulat kayu adalah dengan mendeteksi batang-batang kayu. Jika ditemukan ada lubang kecil tempat ulat kayu menyerang, ia akan menuangkan minyak angin, lalu menutup lubang rapat-rapat dengan bambu atau ranting pohon cengkeh. Metode penanganan ini ia pelajari langsung dari bapaknya. Selain efektif, metode ini juga berbiaya murah.

Untuk penanganan hama jamur akar, ia menggunakan pupuk organik yang diproduksi sendiri. Bahan-bahan yang digunakan adalah pelepah pisang, umbi dari beberapa jenis tanaman, dan media fermentasi. Pengetahuan ini ia dapatkan juga dari orang tuanya, dan petani-petani lain di Desa Munduk.

Sejauh tahun-tahun ia menjadi petani cengkeh dengan hasil yang fluktuatif, Putu Erma menyatakan tetap akan bertani cengkeh selama harga cengkeh masih menjanjikan. Menurutnya, sejauh ini harga cengkeh masih terbilang bagus, masih bisa menguntungkan. Sesekali gagal panen, wajar baginya. “Bertani cengkeh akan tetap dialani sampai cengkeh sudah tidak bisa menghasilkan keuntungan,” ujarnya.

Cukup menarik tentunya ketika adat istiadat dari leluhurnya telah membuatnya menjadi seroang petani. Tentu, tak semua wilayah di Indonesia bisa melakukannya, karena perbedaan kebiasaan dan jenis komoditas yang ditanam. Namun yang pasti, Bali Utara menawarkan salah satu solusi untuk mempertahankan, atau justru menambah jumlah petani.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Fawaz al Batawy

Fawaz al Batawy

Pecinta kretek, saat ini aktif di Sokola Rimba, Ketua Jaringan Relawan Indonesia untuk Keadilan (JARIK)