PERTANIAN

Kisah Tembakau dan Klebun Si Pelayan Desa dari Madura

Di tengah himpitan regulasi anti tembakau dan kerakusan perusahaan rokok asing, dia masih harus mengkonsolidasikan sumber daya yang tersisa dari tembakau untuk memenuhi layanan sosial dasar masyarakat

[dropcap]K[/dropcap]lebun, begitu masyarakat Madura menyebut pemimpin mereka di desa. Klebun bukan hanya sekadar jabatan politis yang mengontrol jalannya pemerintahan di desa, tapi juga menjadi pusat layanan segala urusan. Di desa-desa Pamekasan, sudah menjadi hal biasa klebun menjadi tujuan warga untuk mendapatkan layanan dasar yang tidak jarang sulit mereka jangkau. Sebut saja layanan kesehatan dan pendidikan.

Sejak neoliberalisme global masuk ke jantung pemerintahan Orde Baru, kedua sektor ini semakin rakus melakukan bisnis layanan. Orang-orang dipaksa menukarkan uang mereka untuk bisa mendapat pelayanan berkualitas dan prima dari tenaga-tenaga profesional di kesehatan dan pendidikan, berikut dukungan teknologi mutakhir.

Pemerintah pun turut memperkuat penghisapan ini dengan membuat sejumlah aturan guna mempertahankan dan menguatkan persekutuan antara “orang pintar” dan modal. Orang desa disulap menjadi manusia modern, dan mulai meninggalkan pengobatan turun temurun beserta perangkat pengetahuannya. Komersialisasi layanan dasar sampai saat ini seolah sudah menjadi penyakit yang semua orang seolah bisa menikmatinya.

Di konteks komersialisasi layanan dasar inilah, klebun kemudian menjadi jembatan alternatif bagi orang desa untuk mengakses pelayanan sosial dasar. Hajatan, pinjam uang, antar orang sakit, ngurus KTP hingga mencari sapi yang hilang karena dicuri, mejadi bagian dari layanan klebun, si pelayan desa.

“Cuman kencing aja warga saya ngak diantar sama saya, pak. Semua masalah di desa ini saya yang ngurusin”, kata Mohyar terbahak.

Ketika seseorang terpilih sebagai klebun, menjadi keharusan baginya untuk memiliki kendaraan roda empat dan simpanan uang yang cukup. Kendaraan itu bukan semata untuk kebutuhan klebun dan keluarganya, tapi untuk semua warga yang akan menggunakan kendaraan tersebut untuk mengakses layanan kesehatan di luar desa.

Mengantar orang sakit, ibu yang akan melahirkan, korban kecelakaan dan sebagainya. Begitu pula di pendidikan, ketika ada warga yang kesulitan mengakses pendidikan di luar desa, klebun berkewajiban untuk mencarikan jalan keluarnya. Apalagi mengingat layanan kesehatan dan pendidikan dengan kualitas terbaik berada di kota, dan orang desa semakin menyadarinya.

Kota tumbuh lebih pesat dari desa. Model pembangunan yang terpusat di kota telah mendorong orang-orang desa untuk meninggalkan tempat tinggal dan tanahnya. Layanan kesehatan di desa kini hanya menyediakan kertas-kertas rujukan karena tenaga profesional kesehatan lebih nyaman memanfaatkan kota sebagai tempat menetap daripada mengabdikan diri di desa dengan segala keterbatasan.

Lembaga pendidikan tinggi baru akan bersentuhan dengan desa ketika donor meminta mereka mendapatkan informasi melalui sederet penelitian pembangunan. Bahkan lembaga pendidikan mengirim mahasiswa yang menjadi agen mereka ke desa untuk mengabdikan ke masyarakat hanya sekali saja, melalui skema Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan praktik lapang.

Pasar terus saja mendesak ekonomi desa untuk tumbuh. Setelah pasar mengompor-ngompori desa dengan sederetan konsep pembangunan yang seolah partisipatif, desa terpaksa menghabiskan sumber dayanya di kota, ketika mengakses layanan sosial dasar. Implikasi ketimpangan pembangunan inilah yang harus klebun tanggung sebagai bentuk pelayanan mereka kepada masyarakat desa.

*

Mohyar menang dalam pemilihan kepala desa untuk kedua kalinya. Ketika menceritakan pengalamannya menjadi orang nomor wahid di Desa Ragang, berulang kali dia menyampaikan rasa kasihan terhadap masyarakatnya ketika akan mengakses layanan. Sekilas dia begitu menikmati perannya sebagai klebun di tanah kelahirannya sendiri, hingga satu paradoks hadir dari cerita itu. Dia sama sekali tidak menginginkan anaknya kelak akan mewarisi lakonnya, menjadi klebun.

Jika selama ini istilah “pelayan masyarakat” hanya menjadi slogan – setidaknya apa yang penulis rasakan di Desa Ragang dan Desa Proppo – klebun sungguh melayani masyarakatnya. Pelayanan klebun ini kemudian membutuhkan sumberdaya yang cukup besar, baik ongkos ekonomi, sosial, politik maupun budaya.

Tanggung jawab besar yang ada di klebun faktanya membutuhkan sumber daya yang besar pula, bahkan sejak awal pemilihannya. Dalam konteks kedua desa, Ragang dan Proppo, ongkos politik dalam pemilihan nilainya cukup besar. Baik Mohyar sebagai klebun di Desa Ragang, maupun Budi sebagai klebun di Desa Proppo, keduanya menyebut angka antara 500 sampai 700 juta untuk membiayai kemenangan.

Kemenangan dalam kontestasi politik desa menjadi cerminan harga diri di kedua desa. Mereka menjadikan kompetisi di pemilihan klebun sebagai Tengka, selain persoalan kepemilikan atas tanah dan pasangan hidup. Tengka dalam bahasa Indonesia bisa disederhanakan dengan harga diri — walaupun sebenarnya arti kata tersebut hemat penulis belumlah sepadan ––. Jika coba melacaknya, jabatan klebun menjadi bagian dari tengka, baru hadir ketika dilakukan pemilihan langsung kepala desa karena ada unsur kompetisi di dalam prosesnya.

Ongkos politik ini berlanjut menjadi ongkos sosial setelah terpilih, di mana mereka memiliki kaharusan memelihara konstituen mereka. Budi menyebut angka antara delapan sampai sepuluh juta uang yang dia habiskan tiap bulannya. Sedangkan Mohyar menyebut angka paling sedikit lima juta tiap bulannya uang yang dia habiskan untuk membiayai kebutuhan warganya yang akan mengakses layanan kesehatan. Biaya itu meliputi transportasi, perawatan bagi mereka yang tidak memiliki jaminan kesehatan, mengisi amplop ketika mengunjungi mereka yang sakit dan sebagainya.

Ongkos yang meliputi aktifitas budaya pun tidak sedikit. Mohyar menyebutkan paling tidak dia harus mempersiapkan 50 kilogram gula, 4 karung beras, 15 kilogram kopi dan puluhan slop rokok tiap bulannya untuk menyuguhi tamu-tamu yang berdatangan tiap malam. Di mana tradisi berkumpul laki-laki dewasa di kediaman klebun pada masyarakat Madura menjadi bagian kekerabatan yang kuat di kedua desa.

Dengan melihat besarnya modal yang harus dimiliki untuk melayani masyarakat, maka muncul pertanyaan besar, darimana mereka mendapatkan sumber daya tersebut? Sumber daya apa yang masih tersisa dari kedua desa hingga mampu membiayai ongkos pelayanan klebun ke masyarakat dalam 12 tahun terakhir?

**

Modal sosial klebun yang ada di kedua desa, Ragang dan Proppo, sepintas hampir sama, tapi sebenarnya ada satu perbedaan mencolok. Jika di Desa Proppo Budi mendapatkan kemenangan pada pemilihan tidak lepas dari status sosial dan warisan turun-temurun keluarga besarnya, Mohyar memenangkan kompetisi politik dari latar belakangnya sebagai “bajingan”.

Istilah bajingan di kedua desa merujuk pada kelompok tertentu di masyarakat yang memiliki kekuatan mempengaruhi masyarakat secara umum. Istilah bajingan tidak dapat diartikan secara harfiah dalam bahasa Indonesia karena akan melenceng dari makna sebenarnya. Namun hemat penulis istilah ini bisa disederhanakan sebagai kelompok jagoan atau orang kuat yang menggunakan ancaman fisik dan teror untuk mempengaruhi orang-orang yang ada di sekitarnya.

Walaupun memiliki perbedaan dalam hal modal sosial, tapi keduanya setelah menjabat sebagai klebun tetap merangkul kelompok bajingan yang ada di desa masing-masing untuk mengukuhkan kewenangan yang sudah mereka miliki.

Status sosial yang kuat kemudian mendekatkan klebun ke sumber daya paling strategis di desa. Jabatan tersebut juga menjadikan klebun menguasai seluruh informasi yang masuk ke desa, sehingga mereka bisa dengan cepat menangkap peluang yang kemungkinan akan menjadi sumber daya baru di desa.

Budi menceritakan lebih jauh bagaimana awal dirinya berkarir sebagai pelayan masyarakat di Proppo. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Malang, Jawa Timur, dia melanjutkan apa yang pamannya lakoni puluhan tahun, menjadi klebun. Sebagai sarjana ilmu sosial, dia benar-benar memanfaatkan pengetahuannya untuk memanajemen konflik dan memetakan kekuatan politik yang ada di desanya. Kemampuanya itu kemudian mendapat dukungan sumber daya yang cukup besar untuk mengontrol desa yang paling susah diatur di Kecamatan Propo.

“Kata orang sini, kalau sudah bisa memimpin di Desa Proppo, sudah pasti bisa memimpin semua desa yang ada di Kecamatan Proppo ini,” tegas Budi.

Desa Proppo merupakan satu di antara 27 desa yang ada di Kecamatan Proppo, Pamekasan. Desa ini menjadi pusat pemerintahan kecamatan, sehingga lebih banyak mendapat dukungan infrastruktur dibandingkan 26 desa yang lain.

Budi, selain mewarisi status sosial sebagai keluarga Klebun — kakek dan pamannya adalah klebun sebelum kepala desa dipilih secara langsung oleh masyarakat — juga ahli waris tanaman tembakau yang banyak orang sebut sebagai “tanaman emas”.

Di masa awal kejayaan tembakau, kakeknya bahkan sempat membangun gudang penyimpanan tembakau yang siap dipasarkan ke pabrik-pabrik rokok di sejumlah kota di Jawa Timur. Sampai saat ini, Budi masih menanami tanah miliknya dengan tembakau. Sayangnya gudang tembakau yang sempat menjadi simbol kekayaan keluarganya kini sudah tidak dimanfaatkan lagi karena meurunnya produksi tembakau di wilayah Madura.

Budi yang sepuluh tahun terakhir memegang tanggung jawab besar sebagai klebun tidak begitu mendapat dukungan dari tanaman tembakau. Selain kerena menurunnya kualitas kesuburan tanah dan faktor alam lainnya, kebijakan di tingkat nasional sudah tidak lagi mendukung tanaman tembakau untuk hidup subur di Indonesia. Meminjam istilah yang sempat dipopulerkan Geertz pada 1950-an, tembakau sedang mengalami involusi terstruktur.

Di tengah kondisi involusi tanaman tembakau, Budi berusaha mempertahankan sumber daya yang menjadi warisannya. Pasar global yang menghancurkan industri nasional telah mengangkat perusahaan asing sekelas Philip Morris dan British American Tobacco menjadi raksasa, memaksa dia untuk melakukan kerjasama.

Budi yang dulunya sebagai pemilik penuh aset tembakau di Proppo kini hanya menjadi petani pengumpul untuk pabrik-pabrik rokok milik Morris. Di tengah himpitan regulasi anti tembakau dan kerakusan perusahaan rokok asing, dia masih harus mengkonsolidasikan sumber daya yang tersisa dari tembakau untuk memenuhi layanan sosial dasar masyarakat.

Keliru jika mengatakan bahwa tanaman tembakau hanya sebatas menyumbang kas negara melalui cukainya karena di tangan Budi, apa yang tanaman tembakau hasilkan pun berperan dalam memenuhi hak-hak dasar masyarakat di desa. Memang benar cukai tembakau yang masuk ke kas negara pemerintah gunakan untuk membiayai layanan kesehatan, mungkin lebih tepatnya menggunakan cukai tembakau yang dihasilkan di desa untuk memberikan layanan kesehatan orang-orang di kota dan sebagian untuk mendanai kampanye antitembakau.

Faktanya, ketika masyarakat ingin mengakses layanan kesehatan, bukannya tenaga medis yang mereka hadapi di pintu gerbang rumah sakit, tapi kertas-kertas dan sejumlah nota yang disodorkan petugas administrasi. Tidak heran jika manajemen rumah sakit meletakkan meja kasir lengkap dengan mesin gesek uang elektronik di bagian depan. Sementara di tangan klebun seperti Budi, masyarakat akan langsung mendapat pelayanan dasarnya dan kertas-kertas dapat menyusul kemudian.

Klebun di Madura hanya serpihan kecil kehidupan orang desa yang memanfaatkan tanaman tembakau dengan baik untuk memenuhi layanan sosial dasar di masyarakat.

Ada begitu banyak serpihan lain yang tertutupi oleh maraknya kampanye anti tembakau di Indonesia. Serpihan cerita ini tentunya tidak berusaha mengajak pembaca untuk bernostalgia dengan tembakau dan berhayal kejayaan tanaman emas akan kembali suatu saat nanti. Tapi hanya ingin berbagi agar tidak ada orang yang lupa bahwa tembakau memberikan pelajaran menarik, pasti ada hal baik untuk kehidupan manusia di semua tanaman, sekalipun itu pahit.

Tinggalkan Balasan