logo boleh merokok putih 2

Kretek Pusaka Nusantara

Bicara kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan “dibakar”, setidaknya Babad ing Sangkala mencatat merokok mulai digemari di Nusantara khususnya orang Jawa saat Panembahan Senapati pendiri Mataram Islam itu wafat

nayaga-kretek-01

[dropcap]B[/dropcap]udaya kretek memiliki akar sejarahnya dalam tradisi nyusur, yaitu mengonsumsi tembakau dengan dikunyah atau dihisap. Sementara nyusur tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang tradisi nyirih atau nginang. Dalam budaya nyirih atau nginang, tembakau ialah unsur komplemen atau substitusi. Ini setidaknya tercermin dalam perkembangan kosa kata bahasa Jawa moderen. Nyirih, nginang dan nyusur sering bermakna sinonim atau malah lazim dipertukarkan. Sehingga boleh jadi ketiga kosa kata itu tak lagi memiliki perbedaan semantik, alias setali tiga uang artinya.

Pada Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9) terdapat relief yang menggambarkan tempat sirih dan tempat meludah serta pahatan orang mengunyah. Banyak arkeolog menafsirkan relief itu sebagai orang tengah men-nyirih. Menilik hal itu, bisa jadi tradisi nyirih atau nginang—karena itu juga keberadaan tembakau dan tradisi nyusur—sebenarnya sudah dikenal sebelum kedatangan bangsa Eropa. Tafsiran ini mungkin saja benar, meski bukan mustahil keliru. Namun menyimak folklore yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Temanggung, tembakau konon tanaman asli Nusantara. Kata mbako dipercaya berasal ucapan Ki Ageng Makukuhan saat mengobati orang sakit lumpuh, “Iki tambaku”.

Sementara di sisi lain, mengingat tiadanya bukti literal penggunaan kata “tembakau” sebelum kedatangan bangsa Eropa, maka tafsiran dominan kemudian menempatkan bangsa Portugis sebagai disinyalir berjasa memperkenalkan tembakau ke Indonesia. Tafsiran ini didasarkan pada asumsi filologis, kata “bako” atau “mbako” dalam bahasa Jawa dianggap dekat dengan bahasa Portugis “tumbacco” dan “tobacco”. Menurut catatan Thomas Stamford Raffles dan De Candolle, tembakau diperkenalkan pertamakali oleh bangsa Portugis awal abad ke-17.

Bicara kebiasaan mengonsumsi tembakau dengan “dibakar”, setidaknya Babad ing Sangkala mencatat merokok mulai digemari di Nusantara khususnya orang Jawa saat Panembahan Senapati pendiri Mataram Islam itu wafat. Sejarawan Belanda, De Graaf, juga mencatat Sultan Agung adalah perokok berat. Sementara potret khalayak luas biasa merokok, bahkan tak terkecuali kaum perempuannya, tergambar dalam folklore dan lakon ketoprak “Rara Mendut” yang mengambil konteks pada zaman kekuasaan raja paling agung dinasti Mataram-Islam itu.

Kebiasaan ini juga tercatat dalam berbagai teks satra Jawa lainnya. Dalam ensiklopedia Jawa, Serat Centhini (1814), disebutkan kata “ngaudut”, “eses” atau “ses”, yang merupakan istilah umum orang Jawa menyebut fenomena mengonsumsi tembakau dengan dibakar. Sementara istilah rokok baru umum digunakan belakangan, yaitu pada kisaran akhir abad ke-19. Istilah rokok secara filologis berasal dari bahasa Belanda yaitu “ro’ken” , yang pada mulanya digunakan menyebut fenomena mengisap pipa dan cerutu.

Jika mengonsumsi tembakau dengan dibakar merupakan bagian dari sejarah evolusi tradisi nyirih, nginang atau nyusur, maka budaya kretek adalah temuan muthakir dari sejarah evolusi mengonsumsi tembakau dengan dibakar. Dalam catatan Darmawan Mangoenkoesoemoe yang berjudul “Bijdragen to de kenis van de Kretek-Stroojes Industrie in Het Regenchap Koedoes”, sebelum digulung menggunakan kertas seperti bentuknya kini, awalnya dikenal berbagai gulungan tembakau dengan daun dan kulit buah. Klobot adalah tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung; rokok wangen atau rokok diko berasal dari daun nipah; rokok pupus berasal dari kulit pisang; sedang rokok kawung berasal dari kulit enau.

Konon, waktu itu gulungan tembakau itu sudah dicampur dengan rajangan rempah seperti kemenyan, pala, kayu manis, kapulaga, dan bahkan diduga cengkeh sebenarnya sudah ditambahkan meski barangkali pemakaiannya belum populer. Popularitas penggunaan cengkeh sebagai campuran penting meramu produk olahan tembakau dicatat sebagai temuan Haji Djamhari, warga Kudus. Banyak sumber mengatakan momen penemuan Haji Djamhari ditaksir berkisar antara 1870 – 1880. Artinya usia budaya kretek saat ini sudah melebihi 125 tahun.

Sekilas pandang kretek hanyalah barang konsumsi biasa atau malah sepele. Namun didedah sejarahnya dan ditelisih bangunan tradisinya—khususnya di daerah-daerah sentra perkebunan tembakau dan kota-kota pengrajin kretek—segera kita saksikan bagaimana entitas tembakau dan kretek telah terjalin berkelidan membentuk sebuah budaya hidup. Tidak saja tradisi kretek telah melahirkan local knowledge, menginspirasi munculnya berbagai ritus budaya dan praktik sosial baru, lebih dari itu, bahkan turut menyematkan simbol dan identitas budaya bagi bangsa Indonesia.

Di sini jika kita mau membaca dengan kacamata “jernih”, jelas kretek dan budaya kretek turut mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan masyarakat. Ungkapan Muhamad Sobary dalam esai “Budaya dalam Selinting Rokok” (2011) sangat tepat melukiskan makna entitas kretak, bahwa “rokok bukanlah rokok. Bagi bangsa Indonesia, kretek adalah hasil sekaligus ekspresi corak budaya”.

Tak berlebihan sekiranya dikatakan kretek adalah pengejawantahan local genius bangsa Indonesia, halnya Batik, Keris atau Gudeg, misalnya. Tak berlebihan juga sekiranya kretek dinisbatkan sebagai salah satu pusaka warisan bangsa Indonesia.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

www.bolehmerokok.com

www.bolehmerokok.com

Bolehmerokok adalah ruang berisi cerita dan informasi ringan, tempat untuk bersantai tanpa harus curiga.