digital
PERTANIAN

Masyarakat Informasi Digital

Suka atau tidak suka, generasi digital adalah sebuah keniscayaan dari sebuah situasi zaman. Sedikit atau banyak era digital juga menjadi penanda datangnya senjakala bagi era mesin cetak.

masyarakat-informasi-digital-body

Mahasiswi Universitas Herat, Afghanistan.

Keberadaan internet sebagai sebuah jaringan raksasa yang menghubungkan berjuta-juta komputer di dunia tidak semata berfungsi sebagai medium tukar menukar informasi, lebih dari itu juga telah menjadi sebuah gudang pengetahuan yang tak ternilai harganya. Cukup anda masukan kata kunci yang benar, maka mesin pencari yang serba (maha) tahu itu akan memberikan banyak data dan informasi perihal apa yang anda ingin ketahui. Apapun itu.

Sepuluh tahun lalu kita bahkan tak pernah bisa membayangkan bagaimana mencari sebuah warung makan terkenal yang berlokasi di sebuah gang sempit di sudut sebuah kota hanya dengan “bertanya” pada mesin pencari yang bernama Google.

Pada 1974 Daniel Bell sudah menulis artikel The Coming of Post-Industrial Society. Bell meramalkan terjadinya pergeseran struktur industri manufaktur menuju penguatan sektor jasa, di mana “masyarakat pasca-industri” demikian disebutnya ditandai oleh karakteristik terorganisir di sekitar “pengetahuan,” yang kini sering kita padankan dengan istilah “informasi.” Seturut Bell, hal itu lebih jauh mentransformasikan hubungan-hubungan sosial dan struktur-struktur baru yang notabene berbeda dengan pola masyarakat sebelumnya.

Optimisme zaman semakin meruah. Lebih-lebih teknologi komunikasi dan informasi belakangan terbukti ampuh menjadi kekuatan pendorong munculnya gelombang demokratisasi dan pembaharuan di banyak negara.

Bahkan Indonesia kini tercatat sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan pengguna internet yang melonjak drastis, terbesar di kawasan Asia Tenggara. Menurut catatan The Wall Street Journal jumlah pengguna Facebook di Indonesia sampai dengan bulan Juni 2014 mencapai angka 69 juta anggota. Jumlah tersebut tentu saja sudah bertambah hingga Januari tahun ini. Sedang jumlah pengguna Twitter sudah di atas 50 juta dan akan terus bertambah di masa depan. Sementara, waktu yang dibutuhkan pengguna internet mengakses informasi melalui komuputernya kisaran 5 jam 27 menit setiap harinya, melalui gawai sekitar 2 jam 30 menit setiap harinya. Rata-rata waktu yang dibutuhkan mengakses media sosial sekitar 2 jam 54 menit setiap harinya.

Selain itu, lahirnya media digital juga disesali berdampak pada mundurnya media cetak, hilangnya tradisi kutu buku yang notabene berjasa menyemai peradaban modern dan nilai-nilai humanisme, beserta datangnya gelombang pasang perubahan dan tranformasi budaya yang semakin ditandai dengan gejala paradoks yang semakin luar biasa. Maka tak usah heran, seandainya ada seorang cendekiawan muda yang tahu banyak informasi muthakir yang terjadi di berbagai belahan dunia dan sikapnya kritis, namun luput tahu dan abai pada tetangganya sendiri yang tengah terkapar sakit di rumah karena tak punya biaya berobat. Kini hal itu nisbi mulai jamak menggejala di sekitar kita.

Kegusaran dan nada pesimisme pernah tercurah dari Radhar Panca Dahana melalui kolom opini Kompas yang berjudul Generasi Digital. Dalam artikel itu dia membagi manusia Indonesia menjadi tiga generasi besar. Ada generasi X yang tumbuh di bawah realitas politik, sosial dan kultural yang penuh tekanan dari rezim militerisme Orde Baru. Daya khayal dan imajinasi anak mudanya hancur karena indoktrinasi dan teror mental yang dipraktikkan oleh rezim. Kemudian muncul generasi Y, yakni mereka yang lahir pada 1976 hingga 1995. Generasi ini adalah barisan anak muda yang rapi dan canggih, dengan kearifan teknologis yang tinggi, imun pada gaya-gaya propaganda dan intimidasi tradisional. Generasi ini digambarkan menyebar dalam keragaman etnik dan ras, akrab dengan televisi multikanal, radio satelit serta internet generasi pertama.

Sementara pasca 1995, lanjut Radhar, lahirlah generasi Z. Generasi ini hidup pada era media yang demikian supercanggih, sehingga mampu meringkas kehidupan yang superkompleks ke dalam simplifikasi data. Mereka ini kerap disebut sebagai iGeneration (i:internet) atau NetGeneration atau Generation@, sebuah gelombang manusia yang tumbuh bahkan menjadi digital. Radhar menyebut mereka “generasi digital.” Generasi canggih ini merasa tahu banyak hal, bahkan terlalu banyak. Namun tetap dalam suatu paradoks: mereka sebenarnya juga tak tahu banyak. Celakanya, seturut analisis Radhar generasi ini ironisnya tumbuh menjadi manusia-manusia yang sangat praktis, bahkan hiperpragmatis.

Lalu apa yang bisa kita lakukan?, demikian tanya gusar Radhar. Tulisan muram Radhar tentu bukan dimaksudkan menjawab problem dan tantangan masa depan generasi digital ini. Semua itu menjadi tugas dan kewajiban bersama para generasi pendahulu sebelum generasi Z, yakni bagaimana membantu anak-anak zaman itu membentuk diri dan masa depannya sesuai dinamika zamannya nanti.

Suka atau tidak suka, generasi digital adalah sebuah keniscayaan dari sebuah situasi zaman. Sedikit atau banyak era digital juga menjadi penanda datangnya senjakala bagi era mesin cetak. Pertanyaannya, benarkah informasi yang bertebaran di internet selalu bisa dipercaya kebenarannya? Jawabannya sudah tentu adalah “tidak!” Banyak informasi di internet yang tak dapat kita percayai kebenarannya alias hoax belaka. Lantas, pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara kita menyaring ledakan informasi itu?

Adanya regulasi dan tatakelola internet, termasuk perihal konten laman, jelas dibutuhkan. Akan tetapi, regulasi dan tatakelola internet yang porsi nalar hukumnya lebih dimaksudkan membatasi ruang dan kebebasan ekspresi masyarakat tentu lebih menjadi persoalan ketimbang jalan keluar yang baik. Karena itu, yang lebih penting, justru bagaimana menyiapkan proses kedewasaan dan kematangan intelektual dan emosional bagi generasi digital untuk mengarungi, menjelajah dan berselancar di atas gelombang tsunami informasi.

Ya, tentu tak ada cara lain yang lebih mudah dan ampuh selain menguji kebenaran sebuah informasi dengan melakukan uji silang (cross-check), yaitu dengan cara melakukan penggalian informasi lebih lanjut. Ini semua dapat dilakukan dengan membiasakan sebuah tradisi melakukan riset kecil-kecilan. Bagaimana caranya? Pertama-tama, pilihlah sumber informasi yang ditampilkan oleh laman atau situs yang dikelola oleh organisasi berbadan hukum atau person-person yang memiliki identitas dan reputasi jelas, baik itu berdasarkan basis akademis, profesi, hobi atau basis kompetensi spesialis lainnya. Kemudian, lebih jauh jangan lupa selalu membandingkan informasi pada satu laman dengan laman lainnya secara kritis. Semakin banyak laman yang diperbandingkan, lebih-lebih dengan keragaman sudut pandang yang berbeda, jelas semakin baik. Dengan berpijak pada berbagai fakta dan data yang terkumpul dan terseleksi, hal itu pasti mampu memberikan jenis pemahaman yang lebih berkualitas kepada kita selaku sidang pembaca.

Terakhir, yang tak kalah pentingnya ialah kita harus membuang kebiasaan membagi sebuah informasi secara serta merta sekiranya tak benar-benar kita ketahui kebenarannya secara faktual, baik kepada teman, saudara maupun rekanan kita. Dengan demikian setidaknya kita telah ikut mengurangi kadar kebisingan informasi di jagat maya kita.

Think before post!

Tinggalkan Balasan