PERTANIAN

Melihat Perdebatan Para Ulama NU dalam Menimbang Hukum Merokok

K.H. Hambali mengintrupsi dengan mengatakan jika tidak merokok, beliau tidak dapat mengajar. Kemudian almarhum KH. Turaichan Adjhuri as Syarofi menjawab dengan tegas, hukum kretek bagi almarhum K.H. Hambali “wajib”.

[dropcap]F[/dropcap]olklor tentang kretek yang sering kali kita dengar adalah tentang Haji Djamhari yang menderita asma, lalu menjadi lebih baik ketika lintingan tembakaunya dicampur dengan cengkeh. Namun sebenarnya ada banyak cerita lain perihal folklor kretek yang tertutur turun temurun di masyarakat Nusantara. Semisal cerita tentang Sunan Ja’far Sodiq di Kudus, Sunan Kedu di Temanggung pada kisaran abad 19.

Menurut cerita dari K.H. Fatkhurrahman, salah satu ulama di Kudus yang juga mendapatkan cerita dari almarhum K.H. Turaichan Adjhuri as Syarofi Kudus (ulama ahli dalam bidang falak/astronomi), dahulu antara Sunan Kudus dan Sunan Kedu terjadi pertemuan yang dianjurankan oleh Sunan Kalijaga, agar Sunan Kudus memberikan bingkisan kepada Sunan Kedu, salah satunya adalah tanaman tembakau.

Pada awalnya tanaman tembakau yang dibawa Sunan Kedu tidak memuaskan, namun setelah kembali lagi meminta arahan Sunan Kudus, barulah berhasil memuaskan, dan menghasilkan tembakau “srintil”.

Srintil adalah jenis varietas tembakau berkelas, itupun hanya didapati didaerah tertentu atas kearifan lokal, yaitu sekitar lereng gunung Sindoro-Sumbing Kabupaten Temanggung. Yang kemudian di dalam kretek, dikategorikan sebagai tembakau lauk.

Antara Sunan Kedu dan Sunan Kudus terjadi komitmen pembagian wilayah, dimana Temanggung sebagai bahan baku, dan kota Kudus yang mengolah menjadi kretek.

Hukum Merokok Dalam Fatwa NU

Cerita di atas, sangat mengakar dikalangan Nahdatul Ulama, terlebih di kota Kudus. Hingga para ulama NU Kudus dalam memutuskan hukum soal merokok, cerita tersebut selalu muncul sebagai pertimbangan.

Dari dulu hingga sekarang hukum asli rokok mengalami ketetapan sesuai konteks ke-Indonesiaan. Salah satu referensi utama sebagai pegangan ulama’ NU adalah, kitab (buku) berbahasa Arab berjudul “Irsyad al- Ikhwan li Bayani syurbi al-Qohwati wa al-Dukhon (tuntunan bagi segenap saudara penjelasan tentang minum kopi dan kretek)” karya Syekh Ihsan Jampes Kediri. Satu referensi yang ada pada abad ke-20 (1901-1952), dan merupakan potret karya ulama Nusantara dalam membahas secara detail hukum merokok.

Kitab Irsyadul Ikhwan ini adalah syarah atau penjelas dari kitab “Tazkirah al- Ikhwan fi Bayani Qahwati wa al-Dukhan (pengingat saudara untuk penjelasan mengenai kopi dan kretek)” karya K.H. Dahlan bin Abdullah at-Tarmasi al-Fajitani (menantu K.H. Sholeh Darat Semarang).

Dalam kitab Irsyad al- Ikhwan, Syekh Ihsan Jampes menegaskan bahwa hukum merokok adalah boleh (jawaz) yang memuat sifat makruh (dibenci). Makruhnya rokok disyaratkan jika orang yang merokok bisa meninggalkan aktifitas merokok, namun jika tidak bisa meninggalkannya, hukum makruh menjadi gugur. Hukum makruh lain adalah jika perokok meletakkan kreteknya yang telah disulut disembarang tempat hingga merusak barang seperti al-Qur’an, atau mengotori masjid.

Menurut K. Jadul Maula budayawan dan mantan ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) PWNU Yogyakarta menegaskan, bahwa sepanjang sejarah bahsul masail (tradisi sidang memutuskan masalah) PBNU, kretek tidak pernah dibahas sebagai fokus atau topik khusus dalam forum sidang penetapan hukum. Bahasan tentang kretek hanya didapati pada bahsul masail tingkat daerah.

Pada tingkat daerah bahsul masail tentang rokok atau kretek terjadi di Kudus pada tahun 1980. Menurut cerita KH. Sya’roni Ahmadi, ulama asal Kudus yang pada saat itu ada dalam forum bahsul masail tersebut, menceritakan bahwa para ulama yang hadir pada saaat itu terdiam sesaat memandang almarhum K.H. Turaichan Adjhuri as Syarofi saat mau memimpin bahsul masail dengan menyulut sebatang kretek disaat bahasan utamanya adalah masalah hukum merokok.

Kemudian para ulama menghentikan bahasan masalah kretek setelah mendapat jawaban isyarat dari almarhum K.H. Turaichan Adjhuri as Syarofi. Pada akhirnya almarhum K.H. Turaichan Adjhuri as Syarofi memutuskan hukumnya “makruh”. Namun disela-sela penjelasan, salah satu ulama bernama almarhum K.H. Hambali mengintrupsi dengan mengatakan jika tidak merokok, beliau tidak dapat mengajar. Kemudian almarhum K.H. Turaichan Adjhuri as Syarofi menjawab dengan tegas, hukum kretek bagi almarhum K.H. Hambali “wajib”.

Pada 2010, bahasan tentang kretek muncul kembali dalam forum bahsul masail para kiai NU di Surabaya, sebagai bentuk perlawanan terhadap hasil ijtima’ (pertemuan) anggota Majlis Ulama Indonesia (MUI) di Padang Panjang Sumatra Barat, tahun 2009. Dalam pertemuan MUI tersebut hasilnya adalah mengeluarkan fatwa haram ‘am (haram secara umum) untuk rokok.

Keluarnya fatwa haram ‘am, menurut K.H. Aziz Masyhuri yang saat itu datang dalam pertemuan di Padang Panjang, bahwa keputusan yang diumumkan tidak mewakili dinamika perdebatan yang telah berlangsung, dan tidak sesuai kesepakatan awal yang telah diumumkan oleh K.H Ma’ruf Amin (selaku ketua sidang) yaitu memutuskan ikhtilaf (terjadi perbedaan), antara boleh dan tidak boleh merokok.

Kebolehan merokok didasarkan pada kitab “Irsyad al- Ikhwan” karya Syekh Ihsan Jampes Kediri. Ketidakbolehan merokok didasarkan pada unsur menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan dan bahkan merupakan perbuatan bunuh diri secara perlahan. Dan dalam al-Qur’an tidak ada satupun teks yang mengarah langsung tentang ketidakbolehan merokok.

Hasil bahsul masail di Surabaya yang dihadiri para Kiai NU Jawa Timur dan beberapa dokter, memutuskan hukum merokok mubah (boleh).

Pembahasan perihal hukum merokok dalam tubuh NU bukan saja didasarkan semata pada aspek hukum islam dan dalil dari para ulama. Namun sejatinya juga memperhatikan aspek-aspek sosiologis, di mana begitu banyak masyarakat NU yang hidup berdampingan dengan tembakau atau cengkeh. Di antaranya menjadi petani tanaman tersebut.

Pertimbangan bahwa jutaan orang warga NU yang hidup dari tanaman tembakau dan cengkeh, serta begitu lekatnya kretek secara historis dengan masyarakat Nusantara, dipadukan dengan berbagai hukum dan dalil islam, telah menghadirkan satu keputusan tentang rokok dan merokok yang bukan dijadikan sebagai produk dan aktifitas haram.

Tinggalkan Balasan