PERTANIAN

Menanam Adalah Perlawanan Dalam Keheningan

“Tindakan menanam bibit pohon adalah sebuah bentuk perlawanan, perlawanan tanpa kata-kata, fokus pada tindakan dan aksi nyata.”

[dropcap]R[/dropcap]abu, 31 Mei 2017, di Dusun Turgo, lereng selatan Gunung Merapi pada ketinggian 900 meter di atas permukaan laut (MDPL), sekira 100 orang berkumpul. Mereka berkumpul untuk mengikuti acara bertajuk “Menanam Adalah Melawan: Budidaya cengkeh dan tembakau dalam konteks perlawanan terhadap industri ekstraktif dan upaya pelestarian lingkungan”.

Acara yang diselenggarakan oleh Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) ini dalam rangka turut berpartisipasi merayakan hari tanpa tembakau internasional, tentu saja dengan sudut pandang dan prespektif yang berbeda dari sekadar ajakan-ajakan untuk menjauhi tembakau dan produk-produk turunannya.

Ada rangkaian acara dari kegiatan yang diselenggarakan pada hari itu. Penanaman bibit pohon cengkeh, manggis dan jeruk; buka puasa bersama; pidato kebudayaan; diskusi bertema ‘Menanam Adalah Melawan’; dan hiburan berupa pertunjukan pantomim.

Sore hari, di halaman PAUD Aisiyah Nurul Hikmah – lokasi utama acara Menanam Adalah Melawan – sebanyak sepuluh orang perwakilan peserta, menanam bibit pohon cengkeh. Mereka terdiri dari budayawan, aktivis lingkungan, advokat, petani, dan tokoh masyarakat. Penanaman secara simbolis ini dilanjutkan dengan penanaman 1000 batang bibit (yang terdiri dari bibit cengkeh, manggis dan jeruk) oleh masyarakat Dusun Turgo pada esok harinya.

Kegiatan penanaman pohon merupakan sebuah bentuk perlawanan, perlawanan terhadap kampanye-kampanye anti tembakau dan anti rokok. Cengkeh dipilih menjadi bibit yang ditanam karena cengkeh memiliki sejarah yang panjang dalam perlawanan yang dilakukan oleh para petani. Di wilayah Indonesia bagian timur, tanaman cengkeh digunakan untuk melindungi lahan dari ancaman kerusakan akibat eksplorasi dan eksploitasi industri ekstraktif. Memproduktifkan lahan, adalah wujud perlawanan yang dilakukan petani.

Usai penanaman, seluruh peserta berbuka puasa bersama. Tepat jam tujuh malam acara kembali dilanjutkan. Pertunjukan pantomim berjudul ‘Serumpun Cengkeh Untukmu’ dipentaskan oleh Andy Sri Wahyudi, menceritakan bagaimana cengkeh memberikan kehidupan bagi petani. Mulai dari proses pembenihan, pemuliaan, penanaman, perawatan, hingga masa panen, rangkaian itu adalah juga rangkaian kebahagiaan bagi petani.

Pidato Kebudayaan
Hari semakin malam, namun peserta acara justru semakin ramai. Mereka yang baru datang setelah buka puasa membuat salah satu ruangan kelas yang dijadikan tempat acara semakin padat. Di luar, kabut dan udara dingin turun.

Toto Rahardjo memulai dengan menyampaikan pidato kebudayaan. Sebuah testimoni tentang interaksi beliau dengan rokok menjadi pembuka pidato. Beberapa waktu yang lalu, Toto Rahardjo sempat terserang stroke. Kebiasaannya merokok jadi kambing hitam, padahal hingga saat ini tak ada kepastian apa yang sebenarnya menyebabkan ia terserang stroke. Sejak stroke menyerang hingga tiga bulan berikutnya, ia sama sekali tidak merokok. Lalu tiga bulan selanjutnya ia mulai kembali merokok secara sembunyi-sembunyi.

Kegiatan merokok secara sembunyi-sembunyi akhirnya bisa ia tinggalkan. Hal ini bermula dari kunjungannya dan istri menghadiri seminar dengan pembicara Profesor Sutiman (salah seorang ilmuwan penemu Divine Kretek).

Saat berkunjung ke seminar tersebut, istrinya sudah berhari-hari batuk, segala macam pengobatan tak kunjung membuatnya sembuh. Profesor Sutiman mengobatinya menggunakan Divine Kretek, dan sang istri sembuh. Setelah kejadian itu, ia tak perlu sembunyi-sembunyi lagi jika ingin merokok.

Menurut Toto Rahardjo, ‘Menanam Adalah Melawan’ adalah bentuk pemaknaan yang kuat dalam keterkaitan antara masyarakat dan aktivitas produksi. Menanam adalah proses membangun ikatan antara masyarakat dengan alam melalui serangkaian aktivitas produksi. Penanaman yang dilakukan oleh petani merupakan bentuk dari sebuah kebudayaan yang telah turun temurun dipraktikkan masyarakat agraris. Jadi, jika petani sedang menanam, tindakan itu adalah tindak kebudayaan. Sedang saat petani mempertahankan lahan mereka, itu adalah tindak politik untuk menunjang kebudayaan.

Budayawan pendiri dan pengelola sekolah Sanggar Anak Alam (Salam) ini menjelaskan lebih lanjut, tindakan menanam bibit pohon adalah sebuah bentuk perlawanan, perlawanan tanpa kata-kata, fokus pada tindakan dan aksi nyata. “Supaya tidak gaduh seperti aktivis di media sosial. Kita tidak perlu berteriak keras-keras, cukup menanam cengkeh, perlawanan lebih jelas,” tegasnya.

Selanjutnya juga Toto Rahardjo mengkritisi peringatan bahaya merokok yang terus menerus disebarkan. Menurutnya ini adalah sebuah bentuk ketidakadilan. “Kenapa hanya rokok? Kenapa yang lain yang membahayakan kesehatan tidak ada peringatan seperti peringatan pada rokok? Mengapa gula tidak dibuat peringatan karena gula menyebabkan sakit gula, diabetes?” protesnya,

Sarasehan Menanam Adalah Melawan
Setelah pidato kebudayaan, acara dilanjutkan dengan diskusi yang menghadirkan Joko Prianto (petani dari pegunungan Kendeng), dan Nurhady Sirimorok (dari Komunitas Ininnawa, Makassar) dan dimoderatori oleh Hairus Salim.

Diskusi ini dibuka oleh Joko Prianto yang menceritakan tentang perjuangan masyarakat Kendeng mempertahankan lahan pertanian mereka, lahan tempat mereka menggantungkan hidup, sumber kehidupan. Mereka mempertahankan lahan agar tidak ditambang oleh PT Semen Indonesia (SI) yang bersikukuh mendirikan pabrik semen di wilayah Kendeng, meskipun secara hukum saat ini PT SI sudah tidak bisa melakukan itu.

Narasi-narasi yang disampaikan Joko Prianto adalah contoh nyata dari ‘menanam adalah melawan’ yang sudah dilakukan sejak lama. Sudah sejak akhir abad ke-19 masyarakat adat di pegunungan Kendeng melakukan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh penguasa dengan cara menanam, bertani, dan melawan.

Menurut Joko Prianto, petani adalah sumber kehidupan masyarakat, tanpa petani masyarakat tidak bisa makan. Pada akhir paparannya, ia menyatakan bahwa menjadi petani adalah pilihan hidupnya yang telah ia yakini dan akan terus ia pertahankan.

Pembicara kedua, Nurhady Sirimorok menyambung cerita dari Joko Prianto. Menurutnya kunci dari perlawanan adalah harus bisa bersatu. Bersatu terus menerus, jangan hanya sementara saja. Bangun kemandirian bersama. “Biasanya bisa bersatu untuk hal-hal yang sementara saja, misalkan kerja bakti, ritual budaya, dan lain lain. Tetapi kalau berhubungan dengan ekonomi politik jarang bersatu,” ujar Nurhady.

Masih menurut Nurhady, persoalan ekonomi, sejak modernisasi pertanian kegiatan bersama yang dilakukan oleh petani perlahan menghilang. Di Sulawesi Selatan, menanam bersama itu sudah jarang. Budaya menanam bersama dan kerja-kerja bersama perlahan menghilang karena situasi politik yang memaksakan budaya baru di masyarakat. Situasi politik di masa Orde Baru juga dinilainya telah merusak kemampuan petani untuk melakukan pekerjaan bersama-sama.

“Ke depan, tak ada yang bisa dilakukan untuk bisa melawan dengan sebaik-baiknya kecuali dengan persatuan yang kuat, kerja bersama yang lestari,” tutpnya.

Tepat jam 10 malam rangkaian acara usai. Udara dingin kian menusuk, kabut semakin menebal. Seluruh peserta membubarkan diri.

Tinggalkan Balasan