logo boleh merokok putih 2

Merumuskan Kembali Indonesia

Bagaimana tidak, nasionalisme Indonesia sejak mula sesungguhnya tumbuh di atas aras civic-nationalism ketimbang ethno-nationalisme atau religio-nationalism.

merumuskan-indonesia

[dropcap]I[/dropcap]ndonesia adalah sebuah negara-bangsa dalam arti poses menjadi (becoming). Indonesia ialah negara-bangsa yang belum selesai. Demikianlah tesis Max Lane dalam “Unfinished Nation: Indonesia Before and After Soeharto.

Max Lane jelas bukanlah penganut paradigma esensialisme, yang melihat konsep negara-bangsa sebagai telah rampung dirumuskan oleh sejarah masa lalu dengan makna yang ajeg dari zaman ke zaman. Barangkali saja seandainya Max Lane hidup pada kisaran 1930-an dia akan menjadi sektutu pemikiran STA ketimbang Ki Hadjar Dewantara. Dalam Polemik Kebudayaan itu grup STA secara umum mendalilkan keindonesiaan adalah temuan modern dan produk dari sejarah kolonialisme Barat, yang terputus dari masa silam yang antah berantah. Sedang grup Ki Hadjar cenderung mendalilkan adanya kesinambungan sejarah antara Indonesia modern dan Kerajaan Majapahit di abad ke-14 atau bahkan Kerajaan Sriwijaya di abad  ke-7.

Sebagai penganut MDH (materialisme-dialektika-historis), Max Lane tentu lebih meyakini keindonesiaan adalah proses menjadi terus-menerus, yang labil dan temporer serta selalu berada di medan ketegangan pertarungan ekonomi politik di dalam dan di luar negeri. Sayangnya Max Lane abai perihal analisis transformasi kebudayaan. Kita tak menemukan bagaimana ia membangun kerangka teoritis proses penemuan nasionalisme bangsa Indonesia, sebagaimana misalnya Ben Anderson dalam “Imagined Communities” yang merumuskan kemunculan nasionalisme tak lepas dari tumbuhnya populasi melek huruf dan politik, kuatnya budaya literasi serta hadirnya media massa.

Sementara bicara agen of change, Max Lane tentu juga bukan penganut paradigma elitisme. Sebaliknya, ia sangat antipati. Boleh jadi dia merupakan penganut paradigma pluralisme, yang memandang power itu sebagai energi politik yang menyebar dalam berbagai lokus sosial. Atau mungkin saja Max Lane sengaja mengikuti perspektif W.F. Wertheim, yang menempatkan kekuatan massa rakyat di atas panggung sejarah. Tapi, tampaknya Max Lane bermaksud lebih dari itu.

Bicara agen of change, Max Lane selain berupaya mengguratkan optimisme masa depan Indonesia sehubungan dengan kekuatan politik massa rakyat, dia juga mengikuti model analisis Ben Anderson dalam “Revolusi Pemuda” yang melihat kaum muda sebagai elemen katalisator. Tulisan Max Lane yang disusun berdasar analisis sejarah kebangkitan pergerakan kaum muda radikal di masa rezim Orde Baru, juga memotret proses sejarah jatuhnya Presiden Soeharto, kemudian menempatkan senyawa politik kaum muda dan massa sebagai agen of change sekaligus kata kunci proses menjadinya sejarah. Max Lane yakin, bahwa Presiden Soeharto jatuh karena massa yang bergerak. Dia bahkan menggarisbawahi, pasca Orde Baru kekuatan massa akan turut jadi subyek penentu masa depan.

Angin Perubahan

Namun menulis tafsiran sejarah memang lebih mudah secara post factum, ketimbang menulis sejarah dimaksudkan sebagai upaya menggurat masa depan. Kini Max Lane tampaknya harus gigit jari. Juga Ben Anderson dan W.F. Wertheim (sekiranya kedua indonesianis ini masih hidup) sebagai penyusun hipotesis tentang agen of change yaitu kaum muda dan massa, yang diikuti oleh Max Lane.

Kekuatan kaum muda yang demokratik, kritis, rasional dan sekular serta tak phobia diskursus Kiri dan bahkan tak segan mengorganisir kesadaran massa di akar rumput, kini nampak justru kian terpinggirkan dalam peta pergerakan politik dan pewacanaan kontemporer. Apa yang mengemuka setelah memasuki hampir dua dasawarsa pasca Orde Baru, justru kaum muda dan massa di tingkat akar rumput naga-naganya kini malah semakin terpolitisasi oleh arus politik primordialisme. Lazimnya arus politik primordialisme mengambil artikulasi etnis dan agama atau kombinasi unsur keduanya (ethno-religious).

Bagi yang tidak menyukai teori “politik aliran,” mereka lazimnya memandang kebangkitan etnis dan agama itu sekadar kiat pragmatis elit mendulang dukungan massa. Barangkali saja, hal itu benar. Tapi, terlepas daripada itu, etno-religius sebagai unsur-unsur atau elemen penting meredefinisikan keindonesiaan toh fenomenanya tak terpungkiri. Setidaknya sejak reformasi, hal ini terpotret dari berbagai konflik sosial di Abon, Poso, dan Maluku; munculnya ratusan Perda Syariah; proses legalisasi UU Anti Pornografi; menguatnya narasi putra daerah secara ekslusif; penguatan kembali terminologi pribumi sebagai anti thesis dominasi ekonomi etnis Tionghoa; dan juga sering tercermin dalam artikulasi politik praktis yang mengatasnamakan kelompok mayoritas sebagai basis legitimasi; dan masih banyak lagi.

Pun, seandainya kita dedah isu seputar wacana anti Ahok yang bersliweran di jagad sosmed, fenomena kebangkitan etno-religius itu kasat mata. Benar, bahwa di balik unjuk rasa 4 November 2016 tentu banyak pihak terlibat memperuncing isu dan tak semuanya berlatarbelakang etno-religius. Tapi, adanya penunggang gelap toh tak memungkiri fakta bahwa agregasi primordial dalam kerangka etno-religius di sini memang tengah mengalami gelombang pasang. Bahkan sejak Pilkada DKI Jakarta yang dimenangkan Jokowi-Ahok di tahun 2012 dan juga Pilpres yang dimenangkan oleh Jokowi-Kalla di tahun 2014, sekiranya kita simak kembali mudah didapati indikasi tersebut.

Ya, realitas kembangkitan etno-religius ini memang bukan sekadar fenomena lokal sejarah Indonesia, namun juga fenomena global yang akhir-akhir ini muncul di banyak negara. Terlebih ketika krisis ekonomi global berlarut-larut, spirit zaman pun jamaknya malah ditandai penegasan kembali posisi politik identitas secara sempit. Baik itu atasnama etnis maupun agama ataupun kombinasi keduanya. Banyak orang menyebut fenomena global ini sebagai “neo-konservatisme” atau “ultra konservatisme,” gejala ini tentu tak luput juga turut mewarnai Indonesia. Yang lokal dan yang global pun saling beririsan menyemai rahim sejarah.

Belajar dari Sejarah

Tapi, konsekuensi bagi Indonesia tentu akan berdampak lebih kompleks, rumit dan komplikatif. Negeri kepulauan di sekitar katulistiwa ini sejak awal kelahirannya mengemban kondisi multietnis, multikultural dan multiagama, yang tingkat kemajemukannya tiada memiliki tandingannya di negara manapun. Barangkali Indonesia adalah bangsa paling majemuk di dunia. Sementara, bicara akar kebangkitan nasionalisme Indonesia sebagai negara-bangsa, hakikatnya hanya diikat sekaligus dipersatukan oleh rasa senasib dan sepenanggungan sebagai negeri jajahan. Suka atau tidak, itulah salah satu agregat politik terkuat yang memunculkan kontrak sosial sebagai negara-bangsa Indonesia modern.

Meski demikian, menariknya, tumbuhnya rasa kebangsaan dan munculnya negara-bangsa Indonesia sendiri merupakan praksis yang progresif dan revolusioner. Bagaimana tidak, nasionalisme Indonesia sejak mula sesungguhnya tumbuh di atas aras civic-nationalism ketimbang ethno-nationalisme atau religio-nationalism. Sejarah mencatat, semejak momen Sumpah Pemuda 1928 berbagai organisasi pergerakan dari berbagai latar etnis atau keagamaan tumbuh metransformasikan diri ke dalam keindonesian dengan membubuhkan kata “Indonesia”.

Sebutlah Sarekat Islam bermetamorfosis menjadi Partai Sjarikat Islam Indonesia (PSII). Juga Budi Utomo yang mulanya kukuh dengan jatidiri Kejawaannya pun bertransformasi menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra). Atau komunitas Protestan mendirikan Federasi Perkumpulan Kristen Indonesia  (FPKI); juga komunitas Katolik mendirikan Persatuan Politik Katolik Indonesia (PPKI); sedang di kalangan komunitas Tionghoa muncul Partai Tionghoa Indonesia; dan masih banyak lainnya.

Juga menarik dicatat, sekalipun Jawa merupakan etnis terbesar bahkan di Asia Tenggara, namun pilihan bahasa Indonesia dan bukan bahasa Jawa sebagai bahasa persatuan memperlihatkan adanya gelombang besar transformasi kesadaran menjadi Indonesia. Dengan demikian sebenarnya juga harus diakui, konsep negara-bangsa Indonesia yang bersifat civic nationalism itu juga berhasil menghantar pada penemuan bentuk negara yang sejatinya tidak berasaskan ide ethno-nation (bangsa berdasarkan ras atau etnis) atau religio-nation (bangsa berdasarkan agama), melainkan lebih dari itu.

Pada titik ini, kini dan dulu menjadi menarik diperbandingkan. Semenjak momen Sumpah Pemuda sebenarnya telah terjadi transformasi kesadaran masyarakat yang mencerminkan proses dialektika tercerahkan. Bagaimana tidak, orang Islam atau Kristen atau Katolik dsbnya., tak serta merta kehilangan identitas keagamaannya saat mengintegrasikan dirinya ke dalam wajah politik identitas baru, Indonesia. Juga orang Jawa atau Batak atau Abon dsbnya., tak serta merta luntur identitas etnisnya ketika bergabung dalam wajah baru Indonesia. Dalam arti tertentu dulu politik identitas keindonesiaan berhasil bergerak memperluas cakrawala pandang masyarakat, dari yang semula sekadar bersifat partikular (etnis, agama) menuju entitas yang universal (Indonesia), dari yang semula tendensinya komunalistik menjadi konsep warga. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dulu proses sejarah penemuan nasionalisme dan negara-bangsa jelas membawa unsur-unsur edukatif dan rasio pencerahan, sehingga beriringan dengan proses individuasi yang nisbi lebih sehat ketimbang saat ini.

Tapi, kini saat musuh bersama kolonialisme telah salin rupa menjadi—meminjam istilah Bung Karno—“neo-kolonialisme,” maka kehadiran penjajahan gaya baru itu tak lagi kasat mata seperti dulu. Konsekuensinya, kerangka nasionalisme dan negara-bangsa yang secara historis berakar pada gagasan kita (the self) dan mereka (the other), begitu memasuki pintu gerbang kemerdekaaan justru luruh dan kabur seluruh batasannya. Ditambah absennya nilai-nilai keadilan distributif, terlebih bagi massa rakyat di tingkat akar rumput, hal ini semakin memperburuk kualitas rumusan keindonesiaan Indonesia kekinian.

Sialnya, saat elemen religius kembali jadi trend menyemai politik identitas Indonesia, ia hadir di tengah-tengah rasio gini yang jomplang. Celakanya politik identitas dalam ujud keagamaan, lebih-lebih yang bernalar fundamentalisme, cenderung berkerja di atas tanah kebudayaan dalam arti sempit dan kaku. Sehingga terkesan tak butuh piranti kecerdasan kultural ketika bekerja menyemai kebudayaan yang plural. Alih-alih mencerahkan, sebaliknya malah cenderung menebar unsur-unsur destruktif dan menciutkan cakrawala pandang masyarakat.

Ya, ironis memang, bahwa ikatan etno-religius itu mudah membesar hanya dengan praktik politik sederhana: mengolah unsur kebencian, menyuburkan ide-ide xenophobia, dan bersikap diskriminatif pada selainnya. Walhasil, ia cenderung bergerak sembari mereduksi wajah Indonesia yang plural.

Etno-religius sendiri tentu bukanlah berwajah tunggal. Sebagai respon tendensi keagamaan yang fundamentalistik, kini pun muncul agregasi politik identitas berbasis etnis atau adat. Ditambah ancaman globalisme, mudah kita temukan fenomena munculnya ribuan masyarakat adat tengah melakukan revitalisasi diri. Tak jarang di antaranya juga kita temui bernalar chauvinistik buta, bersikap antipati terhadap agama-agama impor khususnya pada kelompok tafsir fundamentalisme. Isu agama lokal dan penguatan masyarakat adat pun kembali mengemuka sebagai wacana tanding.

Penutup

Di sini sekiranya ditanyakan, apa yang sesungguhnya sedang terjadi di Indonesia? Jawabannya: keindonesiaan Indonesia tengah berada pada proses menjadi. Di sini keindonesiaan Indonesia jelas butuh sebuah redefinisi.

Ya, bagaimanapun di kolong langit ini tak ada yang abadi. Yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Bahwa, dalam perubahan itu niscaya terdapat keterputusan (discontinued) sekaligus kesinambungan (continue) dari masa lalu, rasa-rasanya itulah wajah realitas sesungguhnya. Artinya, jika kita kembali ke kisaran tahun 1930-an, dalil STA barangkali separuh benar tapi Ki Hadjar juga. Keterputusan dan kesinambungan dengan masa lalu adalah keniscayaan hukum besi sejarah.

Pertanyaan lebih jauh ialah, apa yang mengalami keterputusan dan apa yang mengalami kesinambungan dari masa lalu Indonesia? Unsur yang sinambung ialah, bahwa ikatan agregasi primordialisme entah itu etnis atau agama atau kombinasi keduanya, suka atau tidak, nyatanya tak mudah lenyap ditelan oleh laju gerak kemoderenan. Sementara unsur yang terputus ialah, kemampuan kita membangun dialog dan sintesis pemahaman bersama menuju bagan universal keindonesiaan Indonesia.

Celakanya, proses menjadinya sejarah Indonesia saat ini terjadi saat klaim universalisme peradaban Barat secara kultural justru telah digugat di sana-sini. Trend ilmu sosial bergenre pasca modernisme dan pasca strukturalisme pun telah lama menyemai iklim intelektual masyarakat. Walhasil, rasio pencerahan atau rasionalisme Barat seringkali malah dicurigai sebagai ujud rasio dominasi dan hegemoni belaka bagi non-Barat. Padahal unsur inilah, yaitu supremasi kultural dan peradaban Barat sebagai teladan (role model), filsafat rasionalisme, demokrasi, sosialisme, dsbnya., diakui atau tidak telah turut menyemai atmosfir pemikiran yang memudahkan kerja para founding parents metransformasikan kesadaran khalayak luas, dari yang partikular menunju universal. Kini, atmosfir itu boleh dikata hampir kering menguap.

Mari kita rumuskan kembali keindonesiaan Indonesia! Sebagai modal untuk menjawab tantangan ke depan, kita tinggal memiliki satu hal: Pancasila.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Panji Prakoso

Panji Prakoso

Penulis yang kadang mengisi waktu dengan memelihara burung.