CUKAI

Namamu itu Firsa atau Frisa?

“Kuhentikan perbincangan sedih itu, mengajaknya untuk membakar sebatang rokok. “Kita bakar rokok, yuk. Sebatang doa kita untuk perjalanan abadi Frisa,” seruku sembari kukirimkan foto rokok mentol (doa) yang baru saja kubakar.

Frisa, dengan huruf “E”.

[dropcap]”[/dropcap]Namamu itu Firsa atau Frisa? Aku suka bingung mau manggilnya,” tanyaku yang selalu terbolak-balik memanggil namanya. “Frlisa, Mas,” jawabnya.

Ia kesulitan menjawab pertanyaanku, sedikit cadel tak bisa dengan jelas menyebut namanya sendiri. Pemuda kurus, gondrong, dengan rambut berponi. Tak seberapa lama mengenalnya, beberapa tahun lalu ketika ia dan beberapa temannya aktif mengelola jogja student. Kebetulan mereka menggunakan sekretariat Komunitas Kretek Jogja untuk menjalankan aktivitas onlinenya.

Cenderung pendiam kala itu, mungkin karena baru kenal. Benar saja memang, saat tahun lalu menghabiskan waktu cukup lama bersamanya dalam sebuah kampanye “Terima Kasih Tembakau” di empat kota, Jogja, Solo, Malang, dan Surabaya. Mulai terlihat sifat aslinya, ternyata cukup ceriwis, aktif, rajin, dan baik. Bukan pujian yang terlontar lantaran ia sudah pergi menempuh perjalanan abadinya.

Ya, Sabtu pagi kemarin kudapat kabar kepergiannya dari sebuah grup Whats App. Sempat tak percaya tentunya, diam sebentar sembari menanyakan dalam hati apakah ini benar Frisa, si Cowok Berponi. Beberapa orang membalas informasi tersebut, “Ya Allah”, “Inallilahi”, “Al-Fatihah”. Semua menyampaikan duka, tak terkecuali saya.

Sebentar jari tangan menggeser layar gawai ke Twitter, kabar buruk lain muncul. Sebuah acara diskusi yang hendak digelar di gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) tentang pelurusan sejarah 65-66 hendak dibubarkan oleh berbagai ormas. Polisi banyak berjaga, melarang siapapun masuk ke gedung tersebut, sekalipun itu adalah panitia penyelenggara. Mereka diminta untuk membubarkan diskusi tersebut dengan dalih tidak memiliki izin keramaian dari aparat kepolisian.

Pertama, itu bukan ruang publik. Kedua, jika meminta izin tentunya tak akan pernah diberikan oleh aparat. Orang-orang yang mendemo acara tersebut silih berganti datang, seperti orang kerja di pabrik yang dibagi dalam shift. Mereka takut oleh orang-orang jompo yang ingin berkumpul mendiskusikan nasib dan sejarah mereka. Tagar #DaruratDemokrasi bertebaran di media sosial.

Ku geser kembali layar gawai, meneruskan kabar duka tentang Frisa ke sebuah grup WA lain yang di dalamnya ada dirinya. Kembali rasa tak percaya dan duka terucap.

Sebelumnya sempat ku teruskan berita itu ke seorang teman dekat yang juga dekat dengannya. Ayu Koesoemo namanya. Ia mempertanyakan kebenaran berita itu, tak percaya karena sehari sebelumnya ia dan Frisa sempat berkomunikasi. Mengajak bertemu Ayu di Jakarta, kangen katanya.

Chatku dengannya banyak dibalas dengan emoticon sedih dan menangis. Lalu sedikit berbincang mengenang Frisa, mengingat kembali beberapa momentum saat dengannya. Membayangkan bagaimana sedihnya Dody, kakak kandung yang sangat dekat dengannya. Dikirimkan ke aku capture Instagram Dody yang memajang foto adiknya, dengan caption singkat yang membuat luluh hati. “Dek….” Hancur hati Dody.

Kuhentikan perbincangan sedih itu, mengajaknya untuk membakar sebatang rokok. “Kita bakar rokok, yuk. Sebatang doa kita untuk perjalanan abadi Frisa,” seruku sembari kukirimkan foto rokok mentol (doa) yang baru saja kubakar.

Frisa pergi dalam sebuah perjalanan menuju Jakarta, kecelakaan mobil di tol Cipali yang merenggut nyawanya dan dua orang saudaranya. Konon katanya, orang baik baik selalu pergi lebih dahulu karena Tuhan sayang dengan orang baik. Ia tak pernah sampai di Jakarta, ia justru pergi ke langit, ke sisi Sang Pencipta.

Kehilangan seseorang itu pasti tak menyenangkan, tak peduli sedekat apapun kau dengan orang itu, tapi tetaplah itu sebuah rasa kehilangan. Ini bukanlah sebuah kepergian sementara waktu, ini kepergian selamanya yang meninggalkan rasa sedih dan duka bagi mereka yang ditinggalkannya. Seikhlas apapun upaya kita dalam diri untuk merelakan sebuah kepergian, tetap tak akan mampu membendung duka.

Terpikir, apakah ketika suatu saat nanti aku yang berkesempatan untuk pergi, orang-orang akan bersedih seperti ketika orang-orang merasakan sedih saat Frisa pergi. Jika orang-orang tak sedih, cemburu aku padamu, Frisa.

Sabtu yang kelabu, pun demikian jika kau baca tulisan ini, kelabu akan kau rasakan. Ini hanya sekadar catatan untuk mengenang orang yang telah pergi. Yakin aku bahwa ia yang saat ini ada di sisi Tuhan akan membaca tulisan ini sembari memberi komentar dengan suara cemprengnya itu.

“Santai wae, Mas. Aku baik baik saja kok di sini. Hehehe….”

Tinggalkan Balasan