logo boleh merokok putih 2

Orang Kanekes dan Larangan Merokok

orang-kanekes-dan-larangan-merokok
Orang Kanekes berpose dengan poster larangan merokok
Orang Kanekes berpose dengan poster larangan merokok

[dropcap]B[/dropcap]elum lama berselang salah satu pegiat anti rokok, Bung Imam Prasodjo, posting status tentang larangan merokok masyarakat Kanekes di laman facebooknya. Status itu awalnya bercerita tentang proyek pengadaan air bersih bagi rumah-rumah adat di Desa Kanekes, tepatnya sebuah desa yang berbatasan dengan Desa Bojong Menteng. Tapi, kemudian jalan cerita status Bung Prasodjo berbelok menyasar tentang larangan merokok di kalangan masyarakat Kanekes. Sudah tentu status itu dibarengi diunggahnya foto Jaro (Kepala Desa) Urang Panamping—atau disebut Bung Prasodjo “Baduy Luar”.

Dari foto yang diunggah, nampak si-Jaro dipotret mengenakan kaos putih dan baju luar berwarna hitam serta mengenakan ikat kepala berwarna biru. Tangan Jaro membentangkan poster larangan merokok. Menariknya, arah pandangan mata Jaro nampak enggak fokus ke arah depan, tapi justru melirik ke kiri, terkesan tengah menatap pada si-pemberi aba-aba di sisi kiri depannya. Tapi menurut pengunggahnya, pose Jaro dan penyebaran fotonya konon merupakan permintaan Jaro sendiri. hemmm…

Sayangnya status itu tidak memberikan latar belakang konteks pemahaman mengapa orang Kanekes secara tradisi tidak memiliki kebiasaan mengkonsumsi rokok. Juga tak memaparkan lebih jauh perihal adanya hukum adat Kanekes, yang bukan semata-mata melarang praktik merokok tapi juga banyak hal lain juga. Ya, Bung Prasodjo sebagai pegiat anti rokok tentu hanya berkepentingan mengeraskan ‘tone’ anti rokoknya dengan mengeksploitasi sisi masyarakat Kanekes yang kebetulan secara adat ‘memilih’ tidak merokok. Jelas, sebuah seni propaganda yang menarik!

Masyarakat Kanekes adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh orang luar kepada mereka. Konon, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badui (Badwi) yang nomaden. Sebenarnya sebutan itu kurang disukai oleh mereka, namun sejak warga Kanekes membuat KTP pada 1980-an akhirnya mereka tak kuasa menolak sebutan orang ‘Baduy’ itu. Sementara mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai ‘Urang Kanekes’ atau orang Kanekes sesuai dengan nama wilayah mereka, atau terkadang sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo, Urang Cikertawana, dan sebagainya. Orang Kanekes sendiri bertutur dengan bahasa Sunda dialek Sunda-Banten.

Bayangan saya, Bung Prasodjo yang tengah bekerja mengorganisir pelatihan di tingkat bawah (based community education) seharusnya paham perihal tatakrama penyebutan bagi orang Kanekes. Tapi, ternyata tidak. Pantas saja wacana tidak merokoknya orang Kanekes kemudian dieksploitasi tanpa konteks sama sekali, seolah-olah perilaku tidak merokok mereka adalah sinonim dengan sikap anti rokoknya selaku pegiat anti rokok. Padahal belum tentu demikian toh?

Apa yang menarik dari masyarakat Kanekes ialah bagaimana mereka mampu mempertahankan adat istiadat leluhurnya, meskipun hal itu dilakukannya dengan cara-cara—sebutlah bagi kita—“menutup diri”. Ini tentu tak terlepas dari akar keyakinan dan adat istiadat Urang Kanekes sendiri.

Kepercayaan masyarakat Kanekes disebut Sunda Wiwitan. Tradisi ini berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (Karuhun) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Buddha, Hindu dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya ‘pikukuh’ atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari mereka. Pikukuh sendiri artinya kepatuhan, yang mengejawantah sebagai buyut (ketentuan-ketentuan pranata sosial). Inti terpenting dari ‘pikukuh’ Kanekes adalah konsep “tanpa perubahan apa pun”, atau perubahan sesedikit mungkin. Pikukuh ini terungkap dengan baik dalam ujaran “lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung” (panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung).

Benar, bahwa praktik merokok termasuk dalam daftar pikukuh Kanekes itu. Tapi, bukan hanya rokok, melainkan banyak hal. Mengutip penelitian Ferry Fathurokhman, larangan itu antara lain meliputi: dokumentasi baik fotografis maupun audio-visual terhadap obyek apapun di areal Kajeroan (sering disebut sebagai Badui Dalam). Urang Kajeroan dilarang memakai, menyimpan dan memiliki emas; poligami dan poliandri; minum minuman mengandung alkohol, menggunakan alat mandi seperti sabun, odol, dan pakaian modern serta naik kendaraan; mendirikan sekolah, masjid dan merubah tanah menjadi sawah; dan orang asing dilarang masuk ke areal Kajeroan.

Konteks yang harus dipahami dari pikukuh adalah, bahwa Kanekes secara turun temurun berkedudukan sebagai mandala atau pusat kosmis, dan semua warga masyarakatnya mengemban tugas melakukan ‘tapa’ (bekerja-beraktifitas) di mandala. Sementara, mandala adalah satu konsep dalam kerajaan Sunda lama yang berarti tempat suci untuk pusat kegiatan keagamaan. Merujuk Syarif Moeis (2010), berdasarkan prasasti Banten dan naskah Sunda kuno, mandala disebut pula dengan istilah kabuyutan, terdiri dari dua jenis: Lemah Dewasasana dan Lemah Parahiyangan. Lemah Dewasasana adalah mandala sebagai tempat untuk pemujaan dewa bagi penganut agama Hindu atau Budha. Sedangkan Lemah Parahiyangan, disebut juga sebagai kabuyutan Jatisunda, adalah mandala tempat untuk pemujaan hiyang dan karuhun. Desa Kanekes adalah salah satu lokasi mandala itu.

Tak aneh dalam kepercayaan Urang Kanekes, daerah atau tanah-tanah di dunia ini dibedakan berdasarkan tingkatan kesuciannya. Sasaka Pusaka Buana dianggap sebagai tempat yang paling suci, hampir berdampingan dengan Sasaka Domas. Lokasi Sasaka Pusaka Buana dirahasiakan, yang tahu hanya Puun Cikeusik. Sementara Sasaka Domas atau mandala Parahiyangan, lokasinya di hulu sungai Ciparahiyangan, termasuk kompleks hutan larangan. Tanggungjawab berada di tangan Puun Cibeo. Selanjutnya, berurutan tingkat kesuciannya makin menurun adalah areal kampung Kajeroan, kampung luar (Panamping), Banten, Tanah Sunda, dan luar Sunda.

Adalah wajar sekiranya orang Kanekes dan Ciptagelar, sekalipun sama-sama masyarakat adat penganut ‘totok’ Sunda Wiwitan, tapi keduanya beda sikap perihal rokok. Ya, derajat kesucian antara tanah Kanekes dan Ciptagelar berbeda, tak kecuali tentu tugas warga masyarakatnya juga berbeda satu sama lain. Perbedaan tingkat kesucian tanah dan tugas masyarakatnya inilah barangkali jadi sumber pembeda kedunya terkait pikukuh larangan merokok. Sebaliknya, bagi masyarakat Ciptagelar justru malah terhitung menyarankan orang merokok. Bagi mereka rokok adalah wahana komunikasi batin dengan Karuhun serta dianggap pemberi energi yang menyehatkan.

Sementara mengingat Desa Kanakes adalah mandala dan, oleh karena itu dianggap “tanah suci”, serta bersamaan itu warga masyarakatnya juga memiliki peranan khusus yaitu melakukan tugas tapa, maka wajar saja sekiranya sistem pranata sosialnya dikontruksi jauh dari aspek kesenangan duniawi, termasuk di sini merokok. Nilai-nilai dan etika kepertapaan (asketisme) nampaknya lebih mendasari pilihan mereka mengapa secara tradisi Urang Kanekes ‘memilih’ tidak merokok ketimbang ingar bingar alasan isu kesehatan yang belum tentu benar juntrungnya seperti anggapan Bung Prasodjo.

Dalam sebuah buku berjudul “Baduy” tulisan Suria Saputra (1959), ditemukan penggalan dialog yang cukup menarik antara pengarang dan mantan seorang Puun tentang topik rokok. Sambil mengambil rokok, Saputra berkata:

Saya mengambil rokok dan berkata :

Saputra : “Bolehkah aku merokok?”

Puun : “Di sini boleh, karena aku tak menjadi Puun lagi. Tapi bila berhadapan dengan Puun Karolot, sekali-kali tak boleh minum rokok”.

Saputra :  “Mengapa orang Baduy Dalam tak minum rokok?”.

Puun : “Kami buyut (tabu). Tanah di sini tak baik untuk tembakau. Jika kami biasa merokok, harus mencari di tempat lain. Sedang perjalanan kami berlainan dengan kamu. Kamu boleh berkendaraan, kami tidak. Bila bepergian, semua tanah yang dilalui haruslah diinjak dan dilangkahi (maksudnya berjalan kaki). Kami tak hendak jadi bujang tembakau”.

Jadi, kini mudah diduga makna lirikan mata dan senyuman si Jaro yang diabadikan oleh bidikan kamera Bung Prasodjo. Dugaan saya, barangkali saja Jaro dari kampung Panamping itu “geli”. Lho, apa pasal? Jaro itu sadar betul, bahwa asumsi Urang Kanekes tidak merokok nyata sangat berbeda dengan yang diasumsikan Bung Prasodjo, Bro…!

Sumber foto sampul: Website Pemerintahan Provinsi Banten
Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Panji Prakoso

Panji Prakoso

Penulis yang kadang mengisi waktu dengan memelihara burung.