logo boleh merokok putih 2

Oscar? Emang Seberapa Pentingnya, sih, Sampai Perlu Dibahas?

oscar

Cukuplah kita tahu dengan membaca berita mengenai Oscar. Tak perlu untuk menjelajah sampai mengamati tiap detik diadakannya. Oscar itu sama seperti penghargaan-penghargaan lainnya, penuh dengan drama.

oscar-emang-seberapa-pentingnya-sih-sampai-perlu-dibahas

Saya pikir momen penghargaan Oscar menjadi saat-saat yang selalu dinanti oleh insan-insan perfilman seantero Bumi. Artis, sutradara, kru produksi, produser, dan tetek bengeknya saling berjejer. Mulai yang kelas Holywood, medioker, sampai lokal-an di tiap negara termasuk Indonesia. Siapa sih pemeran lakon dan naskah macam apa yang sekiranya pantas mendapat penghargaan karena berhasil membuai penontonnya dalam dunia palsu penuh rekaan?

Saya juga tak pernah paham apa sih enaknya menonton dan berusaha menilai peran penuh kepura-puraan? Sekiranya kepura-puraan yang berusaha tampak nyata ini, sama sekali tidak berpengaruh pada periuk nasi keluarga saya esok hari. Keluarga saya tetap tak bisa mendapat beras dengan lebih murah atau punya akses ke penganan seperti tiwul dalam jumlah melimpah. Kalau tiwul melimpah, Pendapatan Asli Daerah Gunungkidul pasti sangat seksi sekali sampai investor berbondong-bondong membangun hotel di sana.

Mari lupakan sambat dari penduduk negara dunia ketiga. Meskipun mereka seringnya hanya dihitung sebagai tambahan angka untuk pasar produk holywood. Negara macam Indonesia yang artis lokalnya dipakai memerankan tokoh tidak penting dalam film besar. Macam Iko Uwais dan Mad Dog yang muncul selama lima menit untuk meneriakan bahasa planet asing di Star Wars. Kemunculan mereka yang enggak sampai lima menit itu, toh nyatanya membuat heboh rakyat Indonesia selama berminggu-minggu. Dari yang bangga sampai menyayangkan, “Peran apaan itu, mending Iko dan Mad Dog rapat buat bikin naskah The Raid selanjutnya.”.

Eits, sebelum kamu menganggap tulisan ini adalah sinisme orang yang tidak paham seni peran, coba simak alasan-alasannya.

Juri macam apa yang membuat khalayak menunggu Leonardo DiCaprio mendapat penghargaan hingga 25 tahun lebih? Jack Dawson jelaslah karakter yang patut mendapat Oscar secara dia berhasil menggambarkan erotika dan romantisme di Titanic. Sebelumnya juga dalam What’s Eating Gilbert Grape, DiCaprio membuat urat syaraf kita bergetar karena memenuhi perasaan penonton dengan keputusasaan yang begitu intens. Sebenarnya ini adalah petanda bahwa DiCaprio bersiap terlatih putus asa enggak dapat Oscar dua dekade lebih setelahnya.

Okay, tokoh Jack di Titanic memang boleh untuk tidak menang dalam kategori aktor terbaik. Selain dia membuat rugi para pemilik bioskop karena durasi film ini yang begitu panjang, sampai 200 menit, membuat kembung mata penonton. Sayangnya 200 menitnya itu mbok ya dipotong di bagian dansa-dansi dan diganti eksplorasi gaya-gaya Kate Winslet ketika dilukis #IYKWIM.

Selanjutnya, mari kita berbicara soal Braveheart yang menggeser Apollo 13. Braveheart jelaslah film barbar dengan kekerasan yang mempunyai latar tempat di era prasejarah. Sayangnya kita bisa melihat ketidakakuratan tata cerita, dimana tokoh utamanya Mel Gibson, masih sering nampak seperti manusia modern. Padahal film saingannya, Apollo 13 berhasil menjaring penonton yang besar dari era ’60-an. Apollo 13 mampu membuat ikatan emosi karena bisa menampilkan dengan sempurna kondisi lingkungan, budaya, dan emosi era itu.

Tapi apalah, pemenangnya adalah Braveheart. Baiklah, kini bertambah satu alasan untuk tidak memperdulikan Oscar.

Cukuplah kita tahu dengan membaca berita mengenai Oscar. Tak perlu untuk menjelajah sampai mengamati tiap detik diadakannya. Oscar itu sama seperti penghargaan-penghargaan lainnya, penuh dengan drama. Pembacaan pemenang satu kategorinya saja bisa mencapai setengah jam. Jadi harap maklum ada muka-muka seleb yang tengah ngantuk ketika tidak sengaja terkena syut kamera. apa saja yang dilakukan selama setengah jam itu?

Selain itu lupakan juga keluhan untuk kepentingan pengakuan LGBT yang ramai hari-hari ini. Jangankan Indonesia mau membebaskan penduduknya perkara orientasi seksual. Amerika yang katanya negara demokrasi liberal saja, perlu dipaksa agar mau menetapkan aturan kuota terhadap ras selain kulit putih untuk masuk ke nominasi. Kalau tidak percaya, coba lihat dalam waktu dua tahun ke belakang. Ras mana yang mendominasi atau malah mutlak menguasai nominasi Oscar?

Terkesan rasis? Ya biarlah. Orang perut sendiri belum puas makan nasi negeri sendiri, kok mau ikut-ikut merayakan pesta di negara orang lain. Amerika pula.

Lalu bagaimana pembelaan panitia penyelenggara Academy Award? Cheryl Boone Isaacs mengharapkan agar para aktor dan aktris atau elemen pelaku industri perfilman yang masuk ke nominasi Oscar lebih beragam. Ia mendapat kritik pedas ketika tidak ada wanita dan ras kulit hitam yang moncer sebagai nomine aktor atau aktris, sutradara, dan penulis naskah terbaik. Cheryl Boone Isaacs selaku Presiden Academy of Motion Picture Arts and Sciences ini kok mirip Presiden Indonesia sebelum Pak Jokowi ya? Sukanya berharap saja.

Lebih jauh, mari kita coba cek berapa komposisi ras anggota Academy of Motion Picture Arts and Science (AMPAS) seperti yang tercatat dalam sebuah survei. Menurut survei tersebut, pada tahun 2012 keanggotaan AMPAS diisi oleh 94% Kaukasia dan 2% kulit hitam.

Empat persen lainnya selain Kaukasia dan kulit hitam, mungkin diisi orang; Arab, India, Melayu, dan lain-lain. Lha apakah ada representasi kita sebagai ras atau suku Indonesia di sana? Tidak ada kan? Terus ngapain kita ribut-ribut kalau suara kita pun enggak pernah sampai di sana. Mending suara kamu-kamu yang sok penting bahas Oscar dialihkan ke perkara #tolakrevisiUUKPK.

Kalau melihat gejala-gejala demikian, jangan-jangan projek imperialisme Holywood sukses menciptakan imagined communities. Tidak hanya Indonesia, namun juga seluruh penduduk Bumi selain warga Amerika Serikat yang terjangkit demam euforia penganugerahaan Oscar. Kita tak pernah hidup bersanding dan mendapatkan keuntungan dari Oscar, tapi menaruh kepedulian yang dalam terhadapnya. Bull’s eye alias mata banteng, sobat-sobat sekalian. Selamat, anda telah ikut melanggengkan budaya Barat ketika anda menaruh kepedulian terhadap Oscar.

Mana nih para penentang pelanggengan praktik-praktik liberal di Indonesia? Oiya, mereka masih berkutat soal haram-halal ucapan hari raya agama yang berbeda. Kalau soal penjajahan lewat ide macam gini, kesadaran otaknya belum sampai.

Jadi sebenarnya, patut enggak sih Oscar itu dipedulikan di Indonesia? Jawabannya bisa iya atau tidak. Iya kalau gebetan kamu adalah kelas menengah dan demen nonton film Amerika apa pun yang nilai IMDB atau rotten tomatoes-nya tinggi. Pagelaran Oscar tentunya bagi mereka adalah topik yang menarik untuk beradu argumen mengenai pemenang tiap kategori dari tahun ke tahun. Kamu bisa show-off sebagai kalangan yang berpendidikan dan berbudaya adi luhung a la negara maju ketika bercakap dengan si doi (setelah semalamnya menghapal seluruh nominasi dari tahun 1929).

Sumber foto: eonline.com
Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Fajar Nurmanto

Fajar Nurmanto

Penulis, tingal di Jogja. Dapat kamu temui untuk berbincang, kapanpun di @yojarto atau fajar.nurmanto@gmail.com