PERTANIAN

Pembuat Celana dan Kesamaan Namanya dengan Filsuf Perancis

Celana jeans berasal dari Genoa, Italia untuk keperluan angkatan laut. Sementara dugaan yang lain, nama jeans itu didapat dari frasa Perancis yang menyebut celana warna biru asal Genoa sebagai “bleu de Genes”, yang kemudian mengalami pelafalan Amerika menjadi “blue jeans”.

[dropcap]M[/dropcap]eminjam perspektif Eric From, jeans Levi-Strauss adalah dunia fashion yang mengajarkan kesadaran tentang sikap ‘memiliki’ (to have) yang menyulut berkobarnya budaya konsumerisme; sementara di sisi lain strukturalisme Levi-Strauss adalah dunia gagasan yang mengajarkan kesadaran tentang sikap ‘menjadi’ (to be). Jeans tentu bukan alam gagasan laiknya dunia filsafat, yang suntuk mengajar manusia bermenung-menung tentang arti kesejatian dirinya sebagai manusia.

Celana jeans berasal dari Genoa, Italia untuk keperluan angkatan laut. Sementara dugaan yang lain, nama jeans itu didapat dari frasa Perancis yang menyebut celana warna biru asal Genoa sebagai “bleu de Genes”, yang kemudian mengalami pelafalan Amerika menjadi “blue jeans”. Sedang di Amerika kedatangan jeans dimulai tahun 1872, yaitu ketika Levi Strauss muda sebagai imigran mengadu nasib ke New York. Di Amerika, kata Levi’s nantinya bersinonim dengan jeans itu sendiri.

20 Mei 1873 adalah hari bersejarah, jeans biru lahir. Itu adalah hari ketika Jacob Davis, seorang penjahit dari Reno, Nevada, yang berkolaborasi dengan Levi Strauss, resmi memperoleh paten dari Pemerintah AS terhadap produk celana kerja laki-laki berbahan denim dengan paku logam khasnya.

Era 1950-an jeans mulai populer untuk mengisi kebutuhan identitas budaya kaum muda Amerika yang bermaksud memberontak terhadap nilai-nilai kolot orang tuanya. Ini diekspresikan dengan cara berpakaian dan bermusik. Elvis Presely, Marlon Brando dan James Dean, misalnya, adalah para selebriti yang mempopulerkan jeans. Sebut saja dalam sebuah film yang pernah sangat populer di Amerika pada tahun 1950-an yaitu “Rebel Without a Cause”, James Dean berhasil tampil demikian memukau dengan celana jeans dan wajah pemberontakannya. Hingga pada era 1960-an jeans menjadi ekspresi sikap anti kemapanan para aktivis Generasi Bunga.

Tidak berlebihan sekiranya pada mulanya jeans adalah identik dengan budaya Amerika dan bukan Perancis atau Italia negeri asalnya. Bahkan lebih dari itu, menurut James Sullivan dalam “Jeans: A Cultural History of an American Icon” dikatakan bahwa, “jeans have come to embody ‘two centuries’ worth of the myths and ideals of American culture”.

Kini jeans adalah budaya populer yang mendunia. Budaya populer atau budaya massa—yang oleh McDonald dalam “Popular Culture” dilihat sebagai sebuah kekuatan dinamis yang menghancurkan segala sekat dan batasan lama, tradisi, selera dan mengaburkan segala macam perbedaan. Boleh jadi celana jeans kini merupakan salah satu pakaian favorit masyarakat dunia. Bukan hanya milik kaum muda namun juga orang tua, remaja dan juga kanak-kanak.

Levi Strauss yang lain adalah nama seorang tokoh filsuf Perancis. Meski Perancis adalah pusat fashion bagi masyarakat dunia, namun Levi Strauss ini tentu bukanlah desainer model pakaian. Dia adalah seorang ahli antropologi yang menekuni dan mengembangkan paradigma struktural secara konsisten. Ditangannya filsafat strukturalisme kemudian menjadi lebih dikenal banyak intelektual sehingga, sebagai mode pemikiran, pun mendunia. Sehingga pantas nama besar Levi Strauss dianggap sebagai “Bapak Strukturalisme”.

Sayangnya, menurut Heddy Shri Ahimsa Putra paradigma strukturalisme ternyata jauh dari berkembang dalam tradisi ilmu sosial budaya di Indonesia. Alasannya selain kendala bahasa dan secara metodelogis pendekatan strukturalisme terkenal jelimet, lebih jauh juga karena kiblat pendidikan intelektual kita secara umum adalah Amerika.

Jadi, jika ditanyakan “Adakah pengaruh besar Levi-Strauss di Indonesia? Kalau ada, seperti apa? Di kalangan yang mana? Jeans atau strukturalisme? Dunia fashion atau dunia gagasan?” Jawabannya mudah. Tentu adalah Levi-Strauss jeans-lah dan bukan Levi-Strauss Bapak Strukturalisme yang memiliki pengaruh besar.

Benar, bahwa jeans Levi’s adalah sebuah bahasa tersendiri. Dalam konteks historis Amerika, dia dicatat sejarah sebagai ikon kebebasan dan persamaan. Namun jeans Levi’s di sini jelas punya konteks sejarah yang berbeda. Harganya tentu juga sangat mahal dibandingkan produk lokal. Sehingga jeans Levi’s kemudian justru dianggap mengekspresikan taste dan menegaskan perbedaan kelas sosial pembelinya dan bukan lagi tentang spirit universalisme.

Tinggalkan Balasan