Rokok dan Karya Abadi Gabriel Marquez
CUKAI

Rokok dan Karya Abadi Gabriel Garcia Marquez

Novelnya yang berjudul One Hundred Years of Solitude yang terbit pada 1967 bak sebuah kitab suci yang selalu jadi rujukan. Lewat karya epik itu pula Gabo diganjar dengan raihan nobel untuk Sastra pada 1982.

marquez-body

[dropcap]G[/dropcap]abriel Garcia Marquez. Ya, sosok yang akrab disapa Gabo itu bagi orang-orang yang mengenal atau sempat menikmati karyanya pasti akan bilang bahwa dialah penyihir kata-kata. Cara Marquez bertutur tentang kehidupan sehari-hari, membuatnya terkenal sebagai praktisi sastra bergaya realisme magis. Dia bisa menulis sebuah cerita fiksi dengan unsur fantastis, seperti ketika bertutur tentang anak laki-laki yang lahir dengan ekor babi atau seorang pria yang terseret awan kupu-kupu kuning.

Namanya tidak diragukan sebagai sastrawan terpenting dari mazhab Realisme Magis. Novelnya yang berjudul One Hundred Years of Solitude yang terbit pada 1967 bak sebuah kitab suci yang selalu jadi rujukan. Lewat karya epik itu pula Gabo diganjar dengan raihan nobel untuk Sastra pada 1982.

Lahir di Aracataca, 6 Maret 1927 Marquez dianggap sebagai penulis sastra yang mampu membuat orang terbuai, terlena dan penuh emosi. Persis seperti nuansa khas Amerika Latin yang banyak mengandung takhayul, kekerasan, dan kesenjangan sosial.

Kemampuannya dalam berbahasa Spanyol membuatnya dikenal sebagai penulis berbahasa Spanyol yang paling populer setelah Miguel de Cervantes yang hidup pada abad ke-17. Karya-karyanya seperti Chronicle of a Death Foretold, Love in the Time of Cholera dan Autumn of the Patriarch laris manis melebihi karya cetak apapun dalam bahasa Spanyol.

Marquez besar dalam asuhan orang tua dari pihak ibunya. Watak para tokoh dan imaji tempat dalam novel maupun cerita pendek Marquez adalah orang-orang dari lingkaran hidup dan kota tempat ia dibesarkan. Love in the Time of Cholera (1985) adalah romantika cinta orang tuanya, kedua sosok yang sama sekali asing dalam hidup Marquez, namun akrab dalam imajinasinya berdasarkan cerita nenek dan kakeknya.

Meski menggemari karya-karya Hemingway, Faulkner, Dostoevsky, dan Kafka, Marquez mengaku banyak belajar dan terilhami dari cara neneknya bercerita segala hal yang penuh fantasi dan menakjubkan, namun dengan nada yang natural. Nada itupun kemudian menjadi sihir terpenting dari cara bertutur Marquez.

Karya pertama Marquez adalah cerita fiksi pendek untuk koran El Espectator, pada 1947. Meski dipaksa ayahnya belajar ilmu hukum, kebosanan mengantarkan Marquez mendedikasikan diri untuk jurnalisme. Namun, haluan tulisannya adalah pandangan politik Kiri. Pembantaian di dekat Aracataca pada 1928 dan pembunuhan kandidat presiden dari sayap Kiri, Jorge Eliecer Gaitan, pada 1948, sangat mempengaruhi gaya tulisan Marquez sesudahnya.

Di balik karya besarnya, ada kisah menarik bagaimana rokok telah menjadi teman terbaik bagi Marquez. Suatu ketika di tahun 1965 saat ide pertama One Hundred Years of Solitude muncul di benaknya, Marquez yang kala itu sedang di perjalanan menuju Acapulco tiba-tiba kembali ke rumah. Setibanya di rumah, ia pun mengurung diri di ruang studinya selama delapan belas bulan penuh.

Dalam mengerjakan karyanya tersebut satu-satunya teman yang menemani Marquez adalah rokok. Kala itu, Mercedes istri Marquez terpaksa menjual mobil serta menggadaikan nyaris seluruh perabotan rumah tangganya hanya untuk membeli kertas dan berbungkus-bungkus rokok. Dalam sebuah catatan, Gabo diceritakan menghabiskan 30.000 batang rokok selama 18 bulan ketika menulis One Hundred Years of Solitude.

Perjuangannya terbayar sudah tatkala karyanya diterbitkan. Nama Marquez pun menjadi perbincangan atas buah karya sastranya yang mendunia.Gaya bertuturnya yang hidup dengan cerita mencampurkan kenyataan dan gaib menempatkan dia menjadi pelopor aliran sastra yang disebut realisme magis.

Entah kebetulan atau tidak, setiap penulis besar pasti punya kebiasaan merokok. Marquez telah menjadi bukti nyata bahwa rokok telah menjadi teman dalam menciptakan sebuah karya. Persis seperti Pramoedya Ananta Toer menjadikan rokok sebagai entitas yang saling mendukung dalam melahirkan karya yang tak lekang zaman.

Tinggalkan Balasan