PERTANIAN

Seks, Cinta, dan Doa

Manusia dengan begitu dimaknai tradisi Tantra sebagai mahkluk organis, yang mengemban energi hidup yang satu dan tunggal. Energi seks bukanlah entitas yang berbeda dari energi spiritual atau energi ilahiah. Perbedaan keduanya lebih pada konteks fungsi dan manifestasinya belaka. 

[dropcap]K[/dropcap]onon, suatu hari seorang wanita pekerja seks komersial mengunjungi Socrates yang tengah mengajar. Jumlah muridnya hanya segelintir. Betapa terkejutnya wanita pekerja seks ini tatkala melihat murid Socrates hanya segelintir, sementara dibanding tamunya sendiri saban hari banyak. Ya, wanita pekerja seks komersial nan cantik itu ternyata lebih memikat hasrat banyak orang ketimbang merenungi pertanyaan-pertanyaan Socrates.

Ya, seks memiliki daya pesona magnetis yang sangat kuat. “Naluri purba” demikian sering disebut orang. Sigmund Freud menyebutnya insting hidup (eros). Ini adalah dorongan impulsi bawah sadar yang menjamin keberlangsungan mekanisme survival dan reproduksi spesies manusia. Sementara energi yang dipakai oleh insting hidup disebutnya libido. Lebih jauh, seturut Freud, sadar atau tidak, seks adalah insting hidup yang paling dominan sekaligus determinan menggerakan manusia, lebih dari apapun.

Tak aneh, semua tradisi dan agama manusia mendudukkan seks sebagai lokus kesadaran yang begitu penting dimaknai. Beberapa tradisi agama seringkali bersikap represif dan anti-seks. Abrahamic religion secara umum dianggap banyak kalangan cenderung bersikap represif dan anti-seks.

Michel Foucoult misalnya, dengan metode arkeologi-sejarahnya ia menemukan fakta, bahwa kebebasan masyarakat Barat (Greco-Roma) memaknai dan mengekspresikan hasrat seksualnya sirna ketika otoritas Gereja dan budaya Viktorianisme menguasai ruang diskursus publik. Tubuh selalu diperlawankan dengan kesucian roh. Gairah seksual dianggap bahaya karena menjerat manusia pada tubuh dan menjauhkan dari Tuhan. Tubuh dengan demikian adalah “setan”.

Di sisi lain, tradisi dan budaya Timur terkesan lebih permisif. Dari tanah India kita tak hanya mengenal literatur seni bercinta yang sangat termasyur, Kamasutra, bahkan juga menyaksikan bagaimana capaian puncak spiritual manusia sejatinya bisa tumbuh seiring sejalan dengan seks. Tantrayana demikianlah tradisi itu dikenal, atau lebih spesifik disebut Tantra Kiri.

Energi seks yang oleh Sigmund Freud disebut libido itu, dalam pandangan Tantra bukanlah ditempatkan sebagai anti tesis kesucian roh. Tantra beranggapan, segala sesuatu itu adalah suci. Bagi Tantra tidak ada yang dapat disebut dengan “setan”, semuanya bersifat ilahiah, semuanya suci. Tantra adalah sudut pandang prinsip filsafat non-dualisme atau mistisisme secara mendalam.

Manusia dengan begitu dimaknai tradisi Tantra sebagai mahkluk organis, yang mengemban energi hidup yang satu dan tunggal. Energi seks bukanlah entitas yang berbeda dari energi spiritual atau energi ilahiah. Perbedaan keduanya lebih pada konteks fungsi dan manifestasinya belaka. Meski kontras, seolah dua kutub bersebrangan, tapi keduanya sebenarnya berasal dari satu energi yang sama.

Bagi Tantra, seks adalah fenomena alamiah (nature). Tak beda dengan alamiahnya kebutuhan makan dan minum. Meski demikian, bagi Tantra seks harus didekati sebagaimana kita hendak ke masjid, gereja atau kuil suci. Mendekati seks dengan sikap kesadaran sebagaimana kita hendak berdoa, sholat, sembahyang atau meditasi. Seks dengan begitu justru kita dekati dengan sepenuh kesadaran dan totalitas diri.

Jelas, di sini seks bukanlah tujuan itu sendiri. Seks adalah piranti (tools) bagi kesadaran, wahana mentransformasikan diri dari kesadaran ego yang kerdil menuju kesadaran non-ego yang transenden. Menurut Tantra, itu semua tentu memprasyaratkan (sine qua non) hadirnya cinta dan “kesadaran sadar” ketika melakukan hubungan seksual.

Pandangan yang cenderung memaknai seks sebagai musuh kesucian roh, dan, karena itu, harus direpresi, justru segera memunculkan fenomena perilaku obsesif. Seks kemudian tak pernah termaknai secara apa adanya, tak pernah hadir secara alamiah, ia diterima dengan rasa was-was, ketakutan atau kebencian. Akibat represi menciptakan kontradiksi internal psikologis yang menghambat proses internalisasi dan tumbuhnya jiwa yang sehat. Dampak semua itu muncul apa yang disebut Freud “obsesif kompulsif”, yang lebih jauh bermuara pada kondisi neouritis.

Di zaman modern adalah Osho yang aslinya bernama Rajneesh, seorang imigran dari India, untuk pertamakalinya membawa ajaran Tantra bagi masyarakat Barat, khususnya di Amerika pada kisaran 1970 – 1980an. Bukan hanya diajarkan secara terbuka, Tantra juga diajarkan pada anak-anak muda. Muridnya kebanyakan adalah pengikut hippies, yang saat itu tengah menggaungkan spirit anti kemapanan dan ekspresi kebebasan sebagai penolakan terhadap hegemoni budaya kapitalisme. “Make Love, Not War”, tentunya kita ingat, waktu itu adalah slogan populer para aktivis Generasi Bunga menolak Perang Vietnam.

Apakah murid-murid Osho lantas mencapai pembebasan atau pencerahan spiritual? Apakah parameter obyektifnya? Entah, itu tak pasti. Jawabannya sudah pasti sangat subyektif. Akan tetapi, apa yang bisa dipastikan di sini bahwa ajaran Osho kemudian cenderung dipahami secara dangkal. Osho dianggap mengajarkan free sex dengan legitimasi ajaran spiritualisme untuk mengeruk harta anak-anak muda hippies.

Sementara, dulu praktik Tantra yaitu ritual meminum minuman keras dan hubungan seksual sepuas-puasnya dilakukan demi tujuan pembebasan atau pencerahan rohaniah. Itu semua dilakukan di bawah kontrol ketat dan bimbingan Guru. Tentu juga ada disiplin-disiplin tertentu yang juga berlaku ketat. Selain itu, Tantra cenderung diajarkan secara tertutup dan personal. Bukan diajarkan secara umum dan terbuka bagi siapapun.

Ya, sebaik apapun sebuah gagasan selalu pisau bermata dua. Tantra, tak kecuali, sangat berbahaya bila diterima oleh orang yang egonya masih kuat. Bagi yang satu obat, bagi yang lain bisa jadi racun. Terlebih kini kita dalam suatu zaman ketika tubuh dan seks jadi sebuah komoditas. Kita tahu, budaya konsumerisme etosnya digerakan oleh eksplorasi dan eksploitasi hasrat libidinal, yaitu dengan membesar-besarkan sisi erotisme dan sensualisme manusia sebagai pemantiknya. Karena itu bukan tak mungkin, andai tak hati-hati, hadirnya ajaran Tantra malah bermuara menggarami lautan.

Terlepas daripada itu, kita catat periode Generasi Bunga telah memunculkan sebuah gerakan spiritualisme baru. “New Ages” demikian belakangan ramai dinamai. Sebagai diskursus ia sukses mendunia. Indonesia tanpa kecuali juga pernah demam ber-New Ages-ria. Kasus seperti Osho pun muncul, belum lama berselang. Sudah jadi rahasia umum seorang Guru spiritual yang sohor akhirnya harus masuk bui terpeleset kasus pelecehan seksual pada murid-muridnya. Sungguh ironi.

Ya, pada satu sisi adalah benar, tak ada gunanya merepresi dan bersikap anti-seks. Sikap represif dan anti-seks dengan sendirinya justru akan semakin mengobarkan rasa keingintahuan yang obsesif-kumpulsif. Ini sudah pasti tak sehat bagi perkembangan jiwa. Tapi, pada sisi lain adalah salah, jika kemudian kita bersikap kelewat bebas dan ugal-ugalan. Bersikap kelewat bebas dan ugal-ugalan membuat seks malah kehilangan substansi pentingnya sebagai wahana transformasi kesadaran dan berbalik jadi candu.

Sebagai penutup tulisan, di sini patut kita ingat catatan Jiddu Krisnamurti. Menurut Krisnamurti, kebebasan sejati itu tak hanya sebatas kondisi eksistensial kesadaran “freedom for” melainkan juga harus sekaligus mengandaikan kondisi eksistensial kesadaran “freedom from”. Seks pun harus didudukkan dalam kerangka makna itu. Tanpa yang terakhir, kebebasan seks itu hanyalah kebebasan semu bagi umat manusia.

Tinggalkan Balasan