PERTANIAN

10 Tahun JAFF, Menjadi dan Menguatkan Sinema Asia

Ajang tahunan JAFF pun kian melengkapi kesemarakan kota yang entah secara misterius selalu menyedot banjir manusia. Justru hal itulah yang di satu sisi menghidupkan JAFF. Sebab, bukan festival namanya kalau tak ramai oleh pengunjung.

[dropcap]1[/dropcap]0 tahun sudah JAFF (Jogja-Netpac Asian Film Festival) diselenggarakan. 10 tahun berjalan, festival ini kian menegaskan diri sebagai ajang yang bukan sekadar perayaan para peminat atau pecinta film-film Asia, namun juga upaya penguatan identitas (sinema) Asia. Semuanya dirangkum dalam tema “(Be)Coming” dengan rangkaian program yang dihelat sejak 1 hingga 6 Desember 2015.

JAFF awalnya digagas sebagai wujud keresahan mengenai film-film Eropa dan Amerika yang kerap mendominasi festival film internasional di Indonesia. Dibutuhkan sebuah ajang festival tersendiri yang berfokus pada film Asia dan sekaligus menginspirasi geliat para pecinta dan pekerja film melalui rangkaian acara tematik. Mulai dari pemutaran film, apresiasi, diskusi, dan berbagai program dalam perspektif sinema. Jadilah 2006 sebagai tahun pertama penyelenggaraan yang dilaksanakan pada 7-12 Agustus. Tak terasa, festival tahunan ini ternyata sudah menginjak tahun ke sepuluh.

Jogja adalah titik penting sebagai fasilitator sekaligus saksi dari konsep festival film yang berkembang dari tahun ke tahun. Pilihan pada kota ini didasarkan pada pertimbangannya sebagai ruang yang mampu mewadahi berbagai bentuk perlawanan dalam beragam perspektif budaya meski dalam kondisi yang paling terbatas. Setidaknya alasan itulah yang diungkapkan oleh Garin Nugroho, salah satu penggagas JAFF.

Dalam hitungan dasawarsa, kota ini juga semakin digiatkan oleh aktivitas-aktivitas ekonomi dan budaya yang saling mengisi di tengah kepungan proyek pembangunan yang rasa-rasanya tak berujung. Ajang tahunan JAFF pun kian melengkapi kesemarakan kota yang entah secara misterius selalu menyedot banjir manusia. Justru hal itulah yang di satu sisi menghidupkan JAFF. Sebab, bukan festival namanya kalau tak ramai oleh pengunjung.

Keragaman dalam Sebuah Identitas Sinema

Tema “(Be)Coming” dalam JAFF 2015 dimaknai sebagai proses peleburan antara Keberadaan (Being) dan Kehadiran (Coming). Keberadaan film-film Asia sudah diakui dalam ranah global dengan berbagai indikator penghargaan di forum-forum internasional. Film-film dari Asia kian melengkapi daftar tontonan yang menarik untuk disimak baik sebagai hiburan atau penggugah nalar kritis. Namun menarik saja tidak cukup, karena apa yang dituturkan oleh film-film tersebut menghadirkan realitas-realitas baru dalam ranah sinema dunia. Kehadiran merekalah yang turut mewarnai keragaman sinema dunia dengan cara dan teknik penuturan yang unik dan khas dari masing-masing negara Asia.

Identitas Sinema Asia terbentuk dari keragaman tersebut dan selalu dalam proses Menjadi (Becoming) yang harus dikuatkan. Momen yang tepat karena Asia kian diperhitungkan dunia internasional dari segi ekonomi, politik, dan sosial. Artinya, Sinema Asia juga kian menegaskan posisi dengan menjalin ikatan bersama jaringan sinema dari berbagai belahan dunia lain. Tema ini nampaknya semacam kelanjutan dari perhelatan tahun lalu yang bertajuk “Re-Gazing At Asia”. Dari proses menatap ulang (sinema) Asia berlanjut pada proses menghadirkan diri dalam upaya menguatkan identitas saat mulai menempatkan posisi di ranah global.

Rangkaian Program

Festival film adalah ajang yang tepat untuk membangun jaringan dengan sesama pekerja film, penyelenggara festival, dan para kritikus dunia. Inilah ruang yang tepat untuk menumbuhkan dialog kreatif yang terus dihidupkan melalui program-program yang diselenggarakan. Salah satunya adalah rangkaian Public Lecture yang rutin diselenggarakan sejak 2006 silam. Tahun ini, selain mendiskusikan wacana Becoming Asia, program Public Lecture juga memantik gagasan-gagasan berjudul “Pengaruh Sinema Jepang pada Sineas Indonesia”, “Sinema Jogja: Lokalitas atau Pusat yang Baru”, serta “Promo dan Strategi Festival”. Didiskusikan pula buku tulisan Garin Nugroho dan Dyna Herlina berjudul The Crisis & Paradox of Indonesia Film (1900-2015). Program-program Public Lecture diadakan di IFI-LIP Jogjakarta dan Bentara Budaya.

Festival film sekaligus bisa diciptakan sebagai pasar meski dalam logika produksi dan konsumsi yang jelas berbeda dengan pasar konvensional. Begitu pula dengan JAFF 2015 yang tetap menawarkan sistem booking tiket secara online untuk spot-spot pemutaran seperti Taman Budaya dan Empire XXI. Yang berminat dengan tayangan gratisan pun bisa menikmatinya dalam program Open Air Cinema. Lokasinya tersebar dalam lima titik yaitu di Warung Jawi (Kotagede), Rumah Budaya Siliran, Banyuraden (Gamping), Lapangan Badminton Kasongan (Bantul), dan Lapangan Sedan (Sleman).

JAFF tahun ini juga merintis sebuah program baru bernama Asian Docs. Program ini merupakan hasil kolaborasi antara tim FFD (Festival Film Dokumenter) dan JAFF. Asian Docs menayangkan karya-karya film dokumenter dari 7 negara yang dinilai mampu mengolah muatannya dalam perspektif Asia. Ke depan, program ini rutin diadakan jika terbukti sukses dalam debutnya. Selain itu, ada sejumlah program spesial misalnya film-film pendek 2015 (Short Film Splashes), Korean Cinema Splash, Japan Day, An Invitation to Experience Humanity, dan hibah produksi film pendek dari Dinas Kebudayaan.

Kini, dekade pertama telah ditempuh. Masih banyak tantangan yang harus dihadapi JAFF sebagai ajang budaya tahunan terlebih kaitannya dengan perluasan jaringan, misalnya penonton. Apalagi membayangkan Jogja dalam hitungan sepuluh tahun mendatang dengan situasi serba dinamis dan konsumtif, JAFF seharusnya bisa merespons gejolak-gejolak di dalamnya tanpa mengabaikan identitasnya yang senantiasa menjadi dan dikuatkan.

Tinggalkan Balasan