Pasalnya pada zaman Orde Baru, Imlek tidak boleh diperingati. Sehingga jika pun Imlek tetap hendak dirayakan, maka harus dilakukan diam-diam, tertutup, dan terbatas pada lingkungan Tionghoa.
[dropcap]I[/dropcap]mlek sebenarnya tak ubahnya tahun baru masehi atau tahun baru Hijriah bagi umat Islam. Imlek adalah tahun baru etnis Tionghoa. Tahun ini jatuh tanggal 19 Februari 2015. Kata Imlek berasal dari dialek Hokkian, Im = bulan, Lek = penanggalan, yang artinya “kalender bulan”. Imlek dirayakan dari tanggal 1 – 15 pada bulan pertama penanggalan kalender Tionghoa, yang ditutup dengan perayaan Cap Go Meh. Dalam hitungan kalendar Tionghoa tahun ini adalah tahun 2566. Shio yang menaungi, Kambing Kayu.
Di Indonesia, perayaan Imlek boleh dikata adalah salah satu berkah gerakan reformasi. Pasalnya pada zaman Orde Baru, Imlek tidak boleh diperingati. Sehingga jika pun Imlek tetap hendak dirayakan, maka harus dilakukan diam-diam, tertutup, dan terbatas pada lingkungan Tionghoa.
Sejak kapan tradisi perayaan Imlek mewarnai perjalanan budaya Indonesia? Ditengarai seiring sejalan migrasi orang-orang Tionghoa ke Nusantara sejak permulaan Masehi. Catatan awal tentang Nusantara khususnya Jawa, menurut Denys Lombard ditulis seorang pelancong Tionghoa bernama Fa Hsien. Pada tahun 412 dia berlayar dari India, tapi celakanya di tengah jalan terkena badai, sehingga harus mendarat di Ye-Po-Ti atau Yawadwi, yang adalah nama Pulau Jawa dalam bahasa Sansekerta.
Lebih dari itu, dalam Nusa Jawa : Silang Budaya Lombard memperlihatkan dengan panjang lebar bagaimana pentingnya pengaruh budaya Tionghoa bagi masyarakat Jawa, baik pada pembentukan aspek kebudayaan maupun kehidupan sehari-hari. Budaya China tidak saja telah mempengaruhi perkembangan teknik produksi dan budidaya berbagai komoditas seperti gula, padi, arak, tiram, udang, garam dan lain-lain, namun juga membawa pengaruh besar pada perkembangan sistem kongsi, perdagangan dan moneter tradisional di Jawa. Akhirnya penelitian Lombard tiba pada suatu kesimpulan bahwa—sebagaimana pengaruh budaya India atas kebudayaan Asia Tenggara—kita juga harus menyebut adanya kontinum kebudayaan Tionghoa yang meresapi mentalitas orang Jawa.
Bagaimana kedekatan hubungan kebudayaan pada zaman dulu juga tercermin dalam buku “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara” karya Prof. Slamet Mulyana. Buku yang berasal dari penelitian sejarah untuk mencapai gelar doktoral itu menyatakan, bahwa agama Islam dibawa masuk ke tanah Jawa oleh para ulama keturunan China. Tokoh-tokoh ulama yang populer dengan sebutan “Wali Songo” itu antara lain Sunan Bonang (Bong Ang), Sunan Kalijaga (Gan Si Cang), Sunan Ngampel (Bong Swi Hoo), Sunan Gunung Jati (Toh A Bo) dan lain-lain, semuanya diyakini berasal dari Champa (Kamboja/Vietnam), Manila dan Tiongkok. Demikian juga Raden Patah alias Jin Bun (Cek Ko Po), sultan pertama kerajaan Islam Demak adalah putera raja Majapahit (Brawijaya V) yang menikah dengan puteri China/Campa, anak pedagang Tionghoa bernama Ban Hong (Babah Bantong).
Akan tetapi seandainya ditanyakan, bagaimana nasib perjalanan perayaan Imlek di Indonesia? Jawabannya tentu mudah. Ada pasang surut sejarah kehadiran perayaan Imlek di tengah-tengah masyarakat Indonesia, yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah pasang surut kebijakan segregasi dan kooptasi negara atas etnis Tionghoa, baik dari zaman kolonial hingga Indonesia merdeka.
Waktu Indonesia dijajah Belanda, Imlek pernah dilarang. Dengan politik segregasi etnisnya, pemerintah Belanda takut perayaan Imlek yang meriah di ranah publik akan menyulut kerusuhan SARA. Sebaliknya pada zaman Jepang, Imlek justru boleh dirayakan dan bahkan dinyatakan sebagai hari libur nasional.
Sementara memasuki periode Indonesia merdeka yaitu 17 Agustus 1945 hingga tahun 1967, sebutlah era itu adalah masa Presiden Soekarno, Imlek boleh dirayakan. Bahkan pada masa itu, orang-orang Tionghoa tidak saja diberi ruang ekspresi kebudayaan secara bebas, melainkan juga diperbolehkan turut berpartisipasi aktif dalam bidang politik.
Lain zaman Presiden Soeharto (1967–1998). Dengan terbitnya Instruksi Presiden nomor 14 tahun 1967 tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, Presiden Soeharto melarang segala hal yang berbau Tiongkok dirayakan di ruang publik. Imlek serta merta juga dilarang. Lho, apa alasannya? Jawabnya tentu terkait tafsiran mainstream Orde Baru terhadap Peristiwa G30S/1965 dan skenario membesar-besarkan Communist phobia, disertai kebijakan politik segregasi terhadap etnis Tionghoa sebagai wujud politik kebudayaan Orde Baru.
Paska Orde Baru. Zaman Presiden BJ Habibie, Indonesia melalui Undang-Undang No. 29 Tahun 1999 meratifikasi ICERD (Convention on The Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965). Meskipun traktat ICERD disahkan 1965, namun Indonesia baru meratifikasi konvensi itu tahun 1999. Ratifikasi ini tentu tidak terlepas karena desakan komunitas Internasional setelah terjadi kerusuhan rasial Mei 1998.
Selanjutnya zaman Presiden Gus Dur, Inpres Nomor 14 tahun 1967 dicabut. Presiden Gus Dur mengeluarkan Keputusan Presiden No. 6 tahun 2000 mengenai Pemulihan Hak Sipil Penganut Agama Konghucu. Jika selama Orde Baru serba dibatasi, maka dengan Keppres itu etnis Tionghoa kembali memiliki kebebasan menganut agama maupun menggelar berbagai ritus budayanya secara terbuka. Kemudian Presiden Gus Dur kembali mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur, meski pada awalnya hanya berlaku parsial bagi etnis Tionghoa. Baru pada tahun 2002, Presiden Megawati mengeluarkan Keputusan Presiden Nomer 19 Tahun 2002 tentang Hari Raya Imlek sebagai Hari libur Nasional, yang berlaku umum bagi seluruh warga Indonesia mulai tahun 2003.
Satu dekade lebih Imlek sudah diakui. Imlek seharusnya tidak melulu dipandang sebagai sarana hiburan dan perayaan semata, tetapi juga mengandung pelajaran penting bangsa untuk kembali merevitalisasi nilai-nilai kebhinekaan masyarakat Indonesia. Pelajaran tentang politik segregasi dan marginalisasi etnis Tionghoa oleh negara (state) patut disimak bersama sebagai hikmah politik kebudayaan ke depan sehingga jangan sampai terulang dalam bentuk yang lain. Dan Imlek memberi pelajaran berharga tentang itu.