Pada surat pertamanya, Cak Nur demikian Nurcholis belakangan biasa dipanggil, curhat perihal kontroversi wacana “sekularisasi” yang sempat dicetuskannya pada awal 1970-an. Menurutnya, ide sekularisasinya ini berbeda dengan paham sekulerisme.
[dropcap]M[/dropcap]engantisipasi tumbuh suburnya radikalisasi keagamaan di Indonesia, pada titik diskursus tentang apa yang dimaksud Negara Islam dan Sistem Khalifah patut didedah didalam konteks Indonesia masa kini. “Tidak Ada Negara Islam” Surat – Surat Politik Nurcholis Madjid – Mohamad Roem, adalah buku yang layak menjadi bahan diskusi lebih lanjut bagi aktivis sosial dan pengamat pergerakan di Indonesia. Kata pengantar buku terbitan Djambatan pada 1997 ini ditulis oleh Syafii Maarif dan Adi Sasono, dua tokoh yang hingga kini terus memperjuangkan kebhinekaan di tengah gencarnya isu fundamentalisme satu paham tertentu.
Buku ini merupakan kumpulan korespondensi dua tokoh cendekiawan besar, yang selain integritas moralitas ke-Islam-annya telah teruji, keduanya mendedikasikan hidupnya untuk memperjuangkan dan mewujudkan nilai-nilai Islam secara utuh dan kontekstual. Roem kelahiran 1908 mewakili aktivis Islam generasi Jong Islamieten Bond (JIB) yang didirikan tahun 1924. Sementara Nurcholis kelahiran 1939 adalah generasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang didirikan tahun 1947. Pak Roem jelas mengalami secara langsung makna penjajahan, baik Belanda maupun Jepang; sementara Nurcholis bisa dikata adalah anak merdeka, yang relatif tak mengalami secara langsung alam penjajahan sehingga tentu juga tak merasakan dampaknya secara mendalam. Namun kedua tokoh ini hampir-hampir tidak memiliki perbedaan mendasar terkait persoalan hubungan Islam dan negara.
Surat-menyurat antara keduanya bermula dari dimuatnya wawancara Amien Rais dalam Panji Masyarakat No. 376 yang diberi judul “Tidak Ada Negara Islam”, serta tulisan Mohamad Roem dalam Panji Masyarakat No. 386 menanggapi wawancara itu dengan judul yang sama. Tulisan Roem membenarkan wacana Amien, bahwa tidak ada Negara Islam atau Islamic State. Menurutnya, negara Indonesia yang mengambil bentuk Republik adalah lebih dekat dengan Sunnah Nabi daripada kerajaan. Sehingga, lebih jauh, menurut Roem Islam di Indonesia tidak perlu merupakan accurate copy dari Islam di Arab Saudi atau Islam di mana pun. Islam itu dapat berkembang menurut garisnya sendiri di berbagai negara sesuai konteks zamannya.
Dengan menyitir ucapan pujangga Shakespeare, What is in a name? Roem melanjutnya, “Andaikata bunga mawar yang harum semerbak dinamakan orang bunga bangkai, ia akan masih harum semerbak”. Roem jelas lebih menekankan pentingnya realisasi substansi atau hakikat nilai-nilai Islam (per se) yang universalisme, ketimbang terjebak pada pengejawantahan aspek formalitas dan penamaan.
Pada surat pertamanya, Cak Nur demikian Nurcholis belakangan biasa dipanggil, curhat perihal kontroversi wacana “sekularisasi” yang sempat dicetuskannya pada awal 1970-an. Menurutnya, ide sekularisasinya ini berbeda dengan paham sekulerisme. Sekularisasi gagasan Cak Nur lebih dimaksudkan membumikan ajaran-ajaran Islam agar relevan dan kontekstual dengan situasi ruang dan waktunya.
In masalah-masalah keduniawian yang bersifat mubah (netral) adalah justru merupakan hakikat ijtihad itu sendiri (per se), yang diakui Cak Nur secara kurang tepat disebutnya sekulerisasi. Meski demikian Cak Nur mengakui kekeliruannya, menggunakan istilah-istilah kontemporer seperti “sekularisasi”, yang notabene secara etimologi belum mantap dan masih kontroversial maknanya.
Dengan demikian dalam bidang kehidupan politik, sebenarnya apa yang dibicarakan Islam adalah sekadar garis besarnya saja, yaitu segi etis atau nilai-nilai (values). Artinya umat Islam dibenarkan untuk mencontoh siapa saja, termasuk kaum non-muslim, asalkan hal itu relevan dan tidak bertentangan dengan spirit nilai-nilai Islam. Lebih jauh terkait dengan sistem demokrasi, menurut Cak Nur, meskipun di sana-sini masih banyak kekurangan, namun demokrasi adalah warisan kemanusiaan yang tiada ternilai harganya dan harus diakui hingga saat ini belum ada alternatif yang lebih unggul dibanding itu. Pak Roem dalam surat balasannya jelas tak menampik dan sepakat dengan gagasan-gagasan Cak Nur.
Apa yang membedakan di antara keduanya adalah perihal keberadaan partai Islam. Seperti kita tahu, Cak Nur selama ini dikenal luas dengan tagline, “Islam, Yes; Partai Islam, No”. Menurut Cak Nur, makalah yang menjadi kontroversi di awal 1970-an judul sebenarnya adalah “Islam, Yes; Partai Islam, No?” akan tetapi entah mengapa banyak turunan makalah yang kemudian menghilangkan tanda tanya (?) itu. Semangat makalah itu adalah lebih bermaksud mempertanyakan secara kritis dan bukan menegasikan. Sebaliknya, Pak Roem dengan tegas menyatakan bahwa: “Islam? Yes dan Partai Islam juga Yes”. Menurutnya, Islam adalah pedoman hidup, sedangkan partai adalah tempatnya beramal dan berjuang.
Surat terakhir Cak Nur adalah tertanggal 15 September 1983, beberapa hari sebelum Pak Roem meninggal dunia, tanggal 24 September 1983. Jelas, Pak Roem tak sempat membalasnya. Kini Cak Nur pun sudah berpulang, tanggal 29 Agustus 2005. Namun gagasan-gagasan keduanya kini justru nampak kian relevan dan kontekstual untuk kembali mengkritik ide Negara Islam dan Sistem Khalifah, yang hingga kini nampaknya masih mengilusi kalangan aktivis pergerakan Islam penganut paham fundamentalisme.