Televisi sering disebut orang sebagai “kotak ajaib” karena sanggup mempengaruhi alam pikiran masyarakat. Sementara yang lain, misalnya Lawrence C dan Manning R menyebutnya “kotak bodoh”. Sejauh mana industri televisi dan hiburan telah membawa pengaruh dan dampak mendalam bagi pemirsa di tanah air?
Tahun 1990-an terbit buku berjudul Menghibur Diri Sampai Mati—Mewaspadi Media Televisi. Buku terbitan Pusataka Sinar Harapan ini semacam peringatan dini menyongsong era industrialisasi televisi di Indonesia. Karya Neil Postman yang diterjemahkan dari judul aslinya Amusing Ourselves to Death, terbit tahun 1985 di Amerika . Neil Postman, adalah kritikus kebudayaan yang memiliki sosok humanis dan sikap anti televisi.
Adalah analisis dangkal hanya menganggap telivisi sebagai kotak ajaib yang mengibur. Dunia yang mengibur tentu tidaklah berbahaya bagi eksistensi sebuah kebudayaan. Telivisi jelas bukanlah sekadar dunia yang menghibur, lebih dari itu. Menurut Postman, telivisi telah membuat hiburan itu sendiri sebagai format dasar penggambaran segala sesuatu; segala hal ditampilkan dengan menghibur. Dengan demikian semua aspek dalam kehidupan kita dirubah menjadi sekadar perpanjangan dunia showbiz.
Hiburan menjadi panglima menuntun bagaimana setiap informasi harus dikemas dan disajikan. Hiburan sebagai strategi komunikasi massa menjadi tujuan komunikasi itu sendiri. Akibatnya, sekalipun program siar tertentu katakanlah memiliki konten edukasi atau berita, tendensi format hiburan pada medium televisi secara mendasar telah merubahnya jauh dari maksud substansi fungsi pengajaran atau berita. Ini karena industri televisi sejatinya tidak pernah bermaksud merakit fakta atau berita untuk dibaca, ataupun menyiarkannya untuk didengar, melainkan mengemasnya jadi sebuah tontonan.
Berangkat dari tesis Marshall McLuhan, “Medium is the message”, Postman mengatakan bahwa cara paling jernih memahami suatu peradaban adalah dengan memperhatikan cara yang dipakai masyarakat untuk membangun semesta makna percakapannya. Bagi Postman, suatu medium yang dipakai untuk menyampaikan pesan sesungguhnya adalah pesan itu sendiri. Karena itu Postman menekankan, perubahan suatu bangsa pada penggunaan sebuah medium komunikasi bukanlah semata-mata alat perpanjangan dari kemampuan manusia bercakap-cakap, namun sebenarnya juga sebuah transformasi cara berfikir masyarakat berikut perubahan substansi warna budayanya.
Lebih jauh Postman melihat televisi telah menjadi medium yang menentukan apa dan bagaimana bentuk diskursus publik dikembangkan oleh suatu masyarakat. Dalam membangun argumentasinya, Postman menarik pembaca jauh ke belakang merujuk masyarakat Amerika ketika masih berada dalam tradisi budaya tulis yang kuat. Baginya, tradisi budaya tulis jelas mempunyai sifat dasar yang serius dan rasional. Dalam suatu budaya yang didominasi oleh dunia tulisan sebagai medium, diskursus publik cenderung disusun dengan fakta yang rapi, runut, konsisten dan logis serta koheren.
Sebaliknya, dengan mundurnya “zaman tipografis” demikian istilah Postman menyebut budaya tulis, dan masuk ke “zaman televisi”, telah membawa konsekuensi besar menggeser substansi dan makna diskursus publik sejalan dengan perubahan medium yang dipakainya tersebut. Celakanya perubahan medium ini ternyata berdampak pada terjadinya pendangkalan substansi atau makna diskursus publik di Amerika sebegitu rupa sehingga yang tersisa hanya omong kosong yang berbahaya.
(Bersambung…)