Akibat senyawa sintetis itu Lucy mengalami transformasi diri yang sungguh luar biasa. Selain mendapatkan kekuatan mental dan kemampuan fisik yang kuat, ia sanggup menyerap informasi super cepat, membaca pikiran orang, melakukan telekinesis dan juga melihat masa depan.
Dalam film Lucy karya Luc Besson, yang dibintangi antara lain oleh Scarlett Johansson dan Morgan Freeman, diceritakan bahwa kapasitas kemampuan otak manusia selama ini hanya digunakan 10 persen. Sisanya 90 persen kapasitas otak manusia belum atau malah nirfungsi. Konon, Albert Einstein adalah termasuk ilmuwan yang pernah melontarkan pernyataan serupa terkait kerja otak manusia.
Lucy adalah seorang wanita muda asal Amerika yang tengah kuliah di Taipei, Taiwan. Oleh pacarnya Lucy ditipu dan dijerumuskan untuk bekerja sebagai pengedar narkoba Korea, Mr. Jang. Lucy diculik dan disekap. Tanpa ia tahu, Lucy dijadikan kurir obat sintetis berharga yang disebut CPH4. Obat ini dapat meningkatkan kapasitas otak pengguna. Lucy dibius, perutnya dibedah dan obat CPH4 dimasukan perutnya untuk dijual ke Eropa. Di tempat penculikan, salah seorang anggota sindikat narkoba itu bermaksud memperkosanya. Lucy melawan dan mendapat tendangan di perutnya. Kantong obat dalam perutnya pecah, dan obat dalam dosis besar menyebar ke seluruh tubuhnya.
Akibat senyawa sintetis itu Lucy mengalami transformasi diri yang sungguh luar biasa. Selain mendapatkan kekuatan mental dan kemampuan fisik yang kuat, ia sanggup menyerap informasi super cepat, membaca pikiran orang, melakukan telekinesis dan juga melihat masa depan. Melalui bimbingan dan treatment medis Profesor Norman, yang nantinya sekaligus jadi partner kerja Lucy, maka ‘tercipta’lah sebuah piranti superkomputer dari tubuhnya. Superkomputer ini berisi seluruh informasi tentang alam semesta. Lebih jauh, Lucy mulai mengarungi perjalanan melintas ruang waktu; mampu menghilang ketika ditembak oleh Mr. Jang; melakukan teleportasi ke New York dan meniti perjalanan ke masa silam yang tak terhingga. Pada titik ini, Lucy mencapai suatu fase kesadaran di mana ia bertemu dengan nenek moyang tertua species manusia.
Singkat cerita, film bergenre sains fiksi ini bermaksud menggambarkan potensi otak manusia seandainya 100 prosen kapasitasnya berfungsi maksimal. Sementara pada saat bersamaan, film yang di-launching pada tanggal 6 Agustus 2014 di Paris dan 8 agustus 2014 di Amerika Serikat, juga berpamrih melakukan rasionalisasi terhadap berbagai fenomena pengalaman spiritual manusia terkait proses pencarian abadi spesies manusia memaknai misteri alam semesta dan misteri keterlemparannya di jagat raya. Walau film ini sedikit dikemas dalam format action, namun spirit film ini jelas menyiratkan obsesi pengetahuan modern mendedah mitos menjadi logos.
Obsesi sains dan pengetahuan Barat telah membawa pengetahuan modern, khususnya pada bidang fisika kuantum atau subatomik, tiba pada banyak titik temu dengan tradisi mistisisme Timur. Merujuk tulisan Michel Talbot dalam Mysticism And The New Physics misalnya, menurutnya dalam dunia fisika kuantum, ruang-waktu dan pengamat adalah entitas tak terpisahkan. Ketiganya saling pengaruh-mempengaruhi satu sama lain. Dengan demikian tak ada gagasan perihal waktu yang absolut. Juga tak ada pemilahan tegas antara realitas subjektif dan realitas objektif sebagaimana diprasangkakan oleh metode positivisme. Hubungan antara pikiran dan realitas bukanlah subjektif atau objektif, melainkan saling mengandaikan satu sama lain atau bersifat omnijektif.
Sementara tradisi filsafat Tantra-Hindu jauh-jauh hari sudah mempostulasikan hal itu. Menurut pandangan filsafat Tantra, realitas adalah ilusi atau maya. Kesalahan pokok kita adalah gagal memahami ilusinya realitas ini. Sehingga kita cenderung memahami dan menyadari keberadaan diri sebagai entitas yang terpisah dari alam. Filsafat Tantra sangat eksplisit menegaskan pandangan, bahwa pengamat dan realitas adalah satu entitas yang tak terpisahkan.
Berbagai fenomena religius seperti pengalaman spiritual atau mistis manusia, belakangan banyak digali penjelasannya secara saintifik. Adalah neurosains, disiplin ilmu yang concern mempelajari otak dan sistem saraf (neuron) dalam hubungannya dengan fungsi seluruh tubuh, keadaan kejiwaan dan perilaku manusia. Menurut tinjauan neurosais atau biasa disebut neurotheology atau spiritual neuroscience, senyawa ‘dimethyltryptamine’ atau disingkat DMT memegang kendali besar terhadap munculnya berbagai fenomena pengalaman spiritual. DMT adalah senyawa psikedelik dari golongan tryptamine yang disekresikan oleh kelenjar pineal otak.
Konon, Rene Descartes (1596 – 1650) menyebut kelenjar pineal ini sebagai “pusat dari jiwa”. Disinyalir kelenjar pineal inilah yang oleh tradisi Hindustan disebut sebagai “mata ketiga”. Sementara struktur DMT yang disekresi oleh kelenjar pineal itu berfungsi menyerupai neurotransmiter, yang memungkinkan mengatasi hambatan sirkulasi darah dalam otak dan bertindak sebagai senyawa halusinogen kuat. Dalam dosis tinggi, DMT akan menciptakan halusinasi yang berasal dari pancaran saraf (hallucinogenic neurotransmitter) yang lazim terjadi kala kita tidur, bermeditasi, atau dalam suatu keadaan pengalaman selama menjelang kematian.
Demikianlah neurosains berhasil menganalisis dan sekaligus menjelaskan berbagai fenomena religius sebagai bentuk-bentuk pengalaman yang dimunculkan oleh sistem neurologis otak manusia. Dengan begitu rasa beragama atau bertuhan ini terjadi melalui ‘proses kimiawi’ dalam jaring syaraf. Pilihan diksi halusinogen untuk merujuk fungsi senyawa DMT jelas mengisyaratkan masih pekatnya model pendekatan positivistik sebagai ideologi ilmu ini; sebuah pendekatan yang sejak awal fase renaisan memang cenderung skeptis bahkan sinistis dengan fenomena keagamaan.
Sejalan kemajuan sains dan teknologi, segala hal memang dapat dieksplanasi secara ilmiah atau dirasionalisasikan ke dalam rumusan konsep dan teori. Tiada satupun fenomena yang terjadi di bawah kolong langit yang tercipta dari ruang hampa (creatio ex nihilo). Selalu ada hukum kasualitas di balik semua fenomena, itu sudah pasti. Sehingga segala hal, apapun itu, dapat dijelaskan secara rasional dan logis. Profesor Vilayanur Ramachandran, misalnya, menemukan sekelompok simpul saraf yang menjadi God Spot atau Nodul Tuhan, yang berperan besar membentuk medan pengalaman-pengalaman spiritual manusia, terlepas apakah wilayah supernatural itu sendiri sebenarnya ada (being) atau tidak (non-being). Atau sebutlah Profesor Stephen Hawking dan gagasan Theory of Everything-nya, yang terobsesi mencari tahu proses penciptaan alam semesta. Dalam A Brief History of Time, Hawking menulis: “Jika kita menemukan sebuah teori yang lengkap, maka hal tersebut menjadi kemenangan nalar manusia. Oleh sebab itu, kita akan mengenal Tuhan.”
Sepintas kilas, apa yang dikemukakan Prof Hawking sebenarnya mengingatkan kita pada pesan hadist Nabi Muhammad SAW, “man arafa nafsahu fakat arafa rabbahu” (barang siapa mengenal dirinya, maka sungguh ia telah mengenal Tuhannya). Atau petatah-petitih Sufisme yang begitu sohor, ”al insannu sirri wa anna sirruhu” (manusia itu rahasiaKu dan Akulah Rahasianya).
Meski demikian sebenarnya tetap adalah hal berbeda, antara sanggup mengeksplanasi secara ilmiah atau merasionalisasi di satu sisi dan proses mengalaminya sendiri secara empiris di sisi lain. Banyak orang barangkali bisa saja menjelaskan tentang filosofi cinta, atau memaparkan seni bercinta yang ideal, juga mampu mendeskripsikan secara logis hukum kasualitas mengapa seseorang jatuh cinta pada pribadi ini dan bukan itu, membuat puisi, menggubah lagu, dan lain sebagainya. Padahal pokok soal terpenting di sini ialah, apakah orang itu benar-benar tengah mengalami jatuh cinta dan mempunyai pengalaman mendalam tentang cinta? Membaca dan memahami teori seluk beluk cinta secara komprehensif tidak akan pernah membawa seseorang pada sebuah perubahan diri secara mendasar. Lain halnya dengan pengalaman jatuh cinta itu sendiri, meskipun itu tanpa bekal sebuah teori sekalipun.
Oleh karena itu, dari kacamata pelaku spiritual, Film Lucy sungguh-sungguh terlihat jadi sebuah tontonan yang artifisial.