logo boleh merokok putih 2

Pembelaan Para Perokok

defense of smoker

In Defense of Smokers. Judulnya terkesan provokatif, memang. Meski demikian substansi isinya tak bisa dianggap mengedepankan alibi, lebih-lebih sekadar demagogi tanpa isi. Buku ini disusun dengan nalar kritis, setidaknya justru berangkat dari skeptisme pengarang mencermati histeria kampanye anti-rokok di Amerika Serikat.

Adalah Lauren A. Colby si-pengarang itu. Dia menemukan banyak kejanggalan atas praktik brutal propaganda anti-rokok. Colby bukan saja menemukan kepalsuan dari data-data statistik disusun, bahkan menurutnya kampanye dan propaganda anti-rokok adalah kebohongan besar.

Menurut Colby, kita tahu tak semua orang merokok menderita kanker paru-paru. Sebaliknya kita juga tahu, banyak orang yang tak merokok sepanjang hidupnya, namun justru sakit kanker paru-paru pada usia dini dan meninggal karena sakit itu.

Dengan meneliti data-data statistik “The Oxford Atlas of the World” (1992) tentang tingkat konsumsi rokok di banyak negara, dan menginterpolasi dengan laporan Bank Dunia (1990) terkait tingkat prevelensi penyakit khususnya kanker paru-paru (Lung Cancer Death Rates (LCDR) di sejumlah negara, Colby justru tiba pada kesimpulan sebaliknya. Colby menemukan fakta, bahwa Jepang—seperti Hongaria—adalah negara yang memiliki tingkat rata-rata konsumsi rokok tertinggi di dunia. Namun berbeda dengan Hongaria yang memiliki angka LCDR laki-laki sebesar 2,4%; perempuan 0,5%; negara Jepang justru memiliki rasio sangat rendah, LCDR untuk laki-laki sebesar 0,5% dan perempuan 0,2%. Angka ini hanya sekitar seperlima rata-rata Hongaria, atau sekitar sepertiga rata-rata Amerika Serikat.

Tanpa terkecuali, China. Di negara tirai bambu itu, bahkan pemerintah menanam tembakau dan menerima banyak pemasukan dari penjualan rokok perusahaan berplat merah. Merujuk data termuthakir Bank Dunia (1988), angka LCDR Cina hampir sama dengan Jepang, yaitu 0,56% untuk laki-laki dan 0,39% perempuan.

Walaupun memiliki angka rata-rata merokok tertinggi, orang Jepang dan China sangatlah sehat. Artinya bisa dikatakan dengan pasti, Colby menyimpulkan di Jepang dan China merokok tidak menyebabkan kanker paru-paru. Karena seandainya merokok pasti menyebabkan kanker paru-paru, tentu rasio LCDR kedua negara yang dihuni banyak perokok berat pasti memiliki angka prosentase tinggi.

Simpulan Colby itu, menurutnya tak jauh berbeda dengan hasil penelitian seorang Belanda, Kees van der Griendt. Dengan menggunakan data WHO dan Buku Fakta CIA menyusun tabulasi data dari 87 negara, Kees meneliti korelasi konsumsi rokok dan tingkat harapan hidup. Kesimpulannya sungguh mencengangkan. Pada tahun 1994, negara dengan harapan hidup paling tinggi adalah Islandia (76,6 tahun), 31% laki-lakinya merokok. Yang kedua adalah Jepang (76,5 tahun), 59% laki-lakinya merokok. Sementara negara-negara dengan tingkat konsumsi rokok tinggi namun juga memiliki harapan hidup tinggi adalah Israel (75,9 tahun, 45% laki-lakinya merokok); Yunani (75,2 tahun, 46% laki-lakinya merokok,); Kuba (74,7 tahun, 49,3% laki-lakinya merokok) dan Spanyol (74,5 tahun, 48% laki-lakinya merokok).

Angka-angka itu jelas membantah klaim-klaim histeris dari kelompok anti-rokok. Angka-angka itu, lebih jauh menurut Colby, selama ini telah dimanipulasi sedemikian rupa untuk mendukung kampanye dan propaganda anti-rokok, dan celakanya di Amerika selama ini tak pernah dibatah ketidakbenarannya.

Colby mendedah ke belakang mencari tahu benang merah kesejarahan kampanye anti-rokok di Amerika. Menurutnya, ini berakar dari kegagalan American Cancer Society mencari jawab terhadap penyebab penyakit kanker. Awal tahun 1952, karena kebingungan dan ketidakmampuan ilmu kesehatan menemukan akar penyebab sakit kanker sekaligus obatnya, maka American Cancer Society mulai menuduh rokok sebagai biang dan penyebab utamanya.

Hal lain yang menarik diungkap buku itu ialah, Colby membongkar mitos paru-paru perokok yang berwarna coklat bahkan hitam sebagai akibat akumulasi bertahun-tahun konsumsi tar dan nikotin. Dari sumber dua ahli otopsi, Wray Kephart dan Ed Uthman M.D, Colby akhirnya tahu bahwa “paru-paru coklat atau hitam” sebagai akibat konsumsi rokok adalah mitos belaka. Kephart maupun Uthman menegaskan, dari otopsi medis sangat tidak mungkin diketahui, apakah almarhum merupakan seorang perokok atau bukan. Sementara foto yang sering dijadikan bukti rusaknya paru-paru para perokok tersebut, seturut kedua sumber adalah foto paru-paru orang yang terkena kanker paru-paru dan tidak ada hubungannya dengan persoalan apakah ia merokok atau tidak.

Skeptisme dan kritisisme Colby atas kebenaran propaganda anti-rokok bermula dari pengalamannya mengamati kampanye pemerintah Amerika memerangi penyakit AIDS ketika ia bekerja di Lembaga Komunikasi Pemerintah di Washington, D.C. Persis sebagaimana kasus AIDS, Colby melihat ada “lembaga kesehatan yang berwenang” di Amerika, yang menentukan bagaimana sebuah episteme atau paradigma pengetahuan disusun dan dikontrol, yang tidak membolehkan adanya pendapat di luar itu. Segera menjadi jelas bahwa lembaga kesehatan yang berwenang itu secara teratur “mengelola buku-buku”, menyulap statistik dan data-data lain, merapikan dan memotong di sana-sini untuk “membuktikan” bahwa dogma resmilah yang benar.

Tujuan dan kepentingannya apa? Menurut Colby, jawabannya datang dengan suara keras dan jelas: bukan lain adalah UANG.

 

Sumber foto: https://www.flickr.com/photos/130075348@N08/16242960631/in/album-72157647402593874/

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Zulvan Kurniawan

Zulvan Kurniawan

Penikmat tembakau, teh, dan camilan yang renyah. Bapak Kretek Indonesia