Merujuk tuturan baris kolot, usia tradisi mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar, konon sudah ratusan atau bahkan ribuan tahun lalu. Jika tafsiran sejarah itu secara faktual adalah “benar”, barangkali saja tradisi tembakau di nusantara sesungguhnya tak kalah tua usianya dengan tradisi makan sirih dan pinang.
[dropcap]B[/dropcap]erbicara tentang wacana anti rokok dan promosi hidup sehat yang demikian massif dan brutal dikampanyekan mendunia, menilik budaya masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar barangkali dapat disebut sebagai anti tesisnya. Disebut anti tesis bukan hanya karena di sana tak dikenal larangan merokok dan kawasan tanpa rokok, bahkan sebaliknya secara “moral imperatif” merokok justru disarankan. Saking umumnya fenomena merokok, ia bukanlah monopoli laki-laki semata, kaum perempuannya pun lazim baik usia tua maupun muda.
Sepintas terkesan enggak ada yang khusus. Kebiasaan merokok warga Kasepuhan, halnya para perokok lain di dunia, nampak sama saja. Teknis dan style orang merokok sedunia ya begitu-begitu saja. Kalaupun ada yang sedikit membedakan, di sini masih lazim ditemui orang merokok ‘tingwe’ dengan daun aren. Namun begitu kita mau mendedah mendalam maka akan nampak nilai-nilai atau makna budaya di balik tindakan merokok yang dihayati masyarakat secara mendalam.
Bagi warga Kasepuhan merokok bukanlah dimaksudkan sebagai ekspresi spirit kebebasan dan sikap eksistensialisme, sebagaimana sering dikemukakan para budayawan Barat ketika mendorong atmosfir libertarian dan memerangi agenda budaya Fasisme Hitler. Bagi kaum laki-lakinya merokok juga bukanlah pamrih gagah-gagahan merengkuh citra maskulinisme. Sementara bagi kaum perempuannya pun bukan dengan maksud supaya dianggap aktivis feminis atau sekadar dipandang setara kaum laki-laki. Bagi warga Kasepuhan tindakan merokok memiliki makna substansial lebih daripada semua itu. Apa pasal?
Bagi mereka merokok adalah bagian dari keberlangsungan dan kesinambungan praktik tradisi dan ritus budaya. Seperti diketahui, dalam tradisi Sunda Wiwitan khususnya bagi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, rokok selain merupakan salah satu material penting dalam upacara dan ritual adat, ia juga sekaligus sebagai medium komunikasi dengan leluhur.
Merujuk tuturan ‘baris kolot’ yaitu para pemangku adat yang secara hirarkis berkedudukan di bawah Abah, istilah rokok berasal dari akronim ‘dikerok pakai bakuk’, daun yang dikerok pakai bakau. Di sini daun aren adalah daun pelinting tembakau. Sementara, mitos Dewi Sri yang bermakna sang ‘pemberi energi’ dan lazimnya diatribusikan pada tanaman padi, konon sebenarnya juga bersemanyam pada tembakau dan kopi. Tak aneh, karena itu, mengonsumsi tembakau atau kopi efeknya tak jauh beda dengan nasi. Minum kopi dan rokok sanggup memberi energi yang mengenyangkan.
Lebih jauh, menurut tuturan baris kolot, dengan praktik merokok diharapkan generasi masa kini sanggup kembali mengingat dan berkomunikasi dengan para leluhurnya. Fenomena asap sebagai simbolisasi spiritualisme manusia banyak ditemui di berbagai khasanah kebudayaan, hal yang sama juga nampak dalam budaya Kasepuhan. Asap adalah representasi dan sekaligus simbol dari adanya proses transformasi bentuk, yakni perubahan dari yang kelihatan menjadi tak kelihatan, dari yang material/real menjadi unreal/immaterial/spiritus (bahasa latin: nafas).
Karena itulah asap rokok kemudian jadi medium komunikasi dengan leluhur yang paling representatif, yang menurut keyakinan masyarakat Kasepuhan sudah berlangsung ratusan atau bahkan ribuan tahun lalu. Dengan begitu keberadaan rokok dan aktivitas merokok sejak dulu sesungguhnya (secara ontologis) menduduki posisi sangat penting. Selain jadi prasyarat dan piranti upacara maupun ritual adat, lebih dari itu dalam sistem makna atau nilai keyakinan orang Kasepuhan entitas rokok dianggap memberi akses dan kemudahan bagi hadirnya proses kontemplasi membangun komunikasi dengan para leluhurnya.
Andai lebih jauh ditanyakan sejak kapan merokok telah dikenal warga Kasepuhan Ciptagelar? Merujuk tuturan baris kolot, usia tradisi mengonsumsi tembakau dengan cara dibakar, konon sudah ratusan atau bahkan ribuan tahun lalu. Jika tafsiran sejarah itu secara faktual adalah “benar”, barangkali saja tradisi tembakau di nusantara sesungguhnya tak kalah tua usianya dengan tradisi makan sirih dan pinang.
Tak aneh, berbeda dengan tafsiran arus kuat sejarah yang menganggap kebiasaan mengonsumsi tembakau berasal dari Dunia Barat yang diperkenalkan bangsa Portugis pada awal abad ke-16, maka tafsiran sejarah Kasepuhan justru sebaliknya. Tembakau merupakan salah satu tanaman endemi dan asli nusantara, sehingga kebiasaan merokok notabene juga asli nusantara. Meskipun tentu tanpa bukti literal tertera pada daun lontar apalagi catatan di batu prasasti, namun seturut tradisi sejarah lisan yang diyakini masyarakat Kasepuhan sebagai “fakta sejarah”, fenomena tembakau adalah sejarah pergerakan difusi kebudayaan yang justru mengalir mula-mula dari Dunia Timur ke Barat dan bukan sebaliknya.
Ya, merujuk folklore, mitos dan legenda masyarakat Kasepuhan yang turun-temurun dituturkan melintasi rentang banyak generasi, diam-diam mereka nampaknya setuju dan bahkan mengonfirmasi hipotesa “out of Sundaland” tentang asal mula peradaban manusia. Folklore, mitos dan legenda masyarakat Kasepuhan naga-naganya memiliki benang merah dengan diskursus yang dikembangkan Profesor Arysio Santos (Brasil) dan Profesor Stephen Oppenheimer (Inggris) tentang Indonesia “induk peradaban dunia”, dan itu semua tersimpan dalam secuil kisah tembakau.