Film sebagai produk budaya tentu tidak terlepas dari situasi sosial pada zamannya. Tak terkecuali di Indonesia. Ketika bioskop pertama hadir di Batavia, sebuah babak zaman baru telah muncul di tanah jajahan Belanda. Orang menyebutnya zaman “politik etis.” Pada 30 November 1900 harian Bintang Betawi untuk pertama kalinya tercatat memuat iklan film dari perusahaan Nederlandsche Bioskop Maatschappij. Film, dalam iklan itu, disebut dengan istilah “gambar-idoep.” Jadi, praktis hanya berselang lima tahun setelah orang Barat menemukan teknologi itu, masyarakat Hindia-Belanda sudah turut menikmati gemerlap modernisme itu.
Buku “Sejarah Film 1900 – 1950, Bikin Film di Jawa ” karya Misbach Yusa Biran adalah literatur tentang sejarah film di Indonesia. Sebagai sebuah historiografi tentang film, karya ini istimewa. Bukan saja mengungkapkan banyak hal dari lika-liku dunia film yang belum pernah diulas orang, melainkan lebih jauh juga merupakan dokumentasi terkomplit yang pernah ditulis. Selain kaya ilustrasi, di mana banyak foto artis-artis lama, poster-poster film lama, potongan adegan film, iklan, gambar promosi luar (outdoor), buku ini juga dilampiri apendiks tentang data produksi film lokal dari tahun ke tahun (1926 – 1949), daftar bioskop, dan beberapa surat korespondensi para personel film di Hindia Belanda.
Awalnya gambar-gambar hidup yang hadir di bioskop mengambil bentuk film dokumenter atau non-cerita. Fokus jenis ini umumnya berkisar tentang keindahan alam tropis, binatang liar, adat istiadat pribumi, misteri dunia Timur, dan sebagainya. Akan tetapi, pengertian film dokumenter ini jangan dibayangkan seperti kita pahami kini, yakni memotret realitas secara kreatif dengan maksud menunjukkan makna atau pengertian di balik yang nampak. Apa yang dibikin di negeri ini sejak tahun 1911-an ialah sekadar merekam yang nampak di permukaan. Film Pasar Gambir, misal, hanya sekadar mempertontonkan keramaian pasar tanpa memberikan kerangka ‘baca’ atau substansi ‘isi’ terhadap potret realitas itu.
Pada Mulanya Bisnis Film
Mulanya hanya orang Belanda yang melakukan bisnis film. Orang Tionghoa menyewakan gedung. Namun ketika bisnis bioskop sudah menjadi bisnis ‘basah’, orang Tionghoa mulai terjun. Bahkan sejak tahun 1925, mayoritas pengusaha bioskop berada di tangan etnis Tionghoa. Belakangan orang Belanda nampaknya justru kurang menaruh minat pada ceruk industri perfilman, meski impor film dari Hollywood pada kisaran tahun-tahun tersebut ditaksir mencapai 100 film pertahun.
Melihat majunya perkembangan industri perfilman, pada 1923 Pemerintah Belanda membentuk Badan Sensor Film. Pada mulanya badan sensor ini beroperasi di semua kota besar, seperti di Batavia, Medan, Surabaya dan Semarang. Tapi, sejak 1926 lembaga ini berada di Batavia dengan nama Film Commissie. Selain itu, muncul Ordonansi baru pada 1926 yang memberi beban pajak tinggi bagi film import sehingga mengurangi pasokan film bagi bioskop kelas bawah.
Seiring tuntutan kemajuan, maka muncullah tuntutan produksi film lokal. Pada tahun 1926, pertama kali hadir film dengan cerita lokal. Saat itu masih berupa film bisu. “Loetoeng Kasarung”, sebuah judul film produksi pertama yang diproduksi oleh N.V. Java Film Company. Film berdurasi satu jam ini diambil dari folklore Sunda, yang mana semua pemainnya adalah orang bumiputra. Bupati Bandung waktu itu, Wiranatakusumah V, mendukung habis-habisan pembuatan film lokal itu, tak segan merogoh koceknya turut mensponsori biaya pembuatannya. Sayangnya, bagaimana hasil pemutaran film itu tak banyak diketahui datanya, selain disebutkan income dari penjualan film ternyata tak memadai.
Yang menarik disimak di sini ialah, proses sejarah pembentukan nalar apresiasi masyarakat atas film dan bagaimana orang film secara trial and error berupaya menemukan penontonnya.
Patut diingat, memasuki periode politik etis telah tumbuh masyarakat pribumi terpelajar yang sudah terbiasa menonton film-film Amerika dan Jerman. Mereka menempatkan parameter kaidah estetika dan fungsi film dengan ukuran-ukuran capaian film Barat yang mustahil dicapai oleh film lokal. Kalangan melek huruf, pada 1942 jumlahnya tak lebih 5%. Namun posisi strategisnya jelas membuat keberadaan mereka tak bisa diabaikan. Ki Hajar Dewantara, misalnya, menuntut hadirnya fungsi edukasi pada film bagi khalayak banyak.
Belajar Apresiasi Film
Di sisi lain, mayoritas penduduk Hindia-Belanda bukanlah terpelajar. Mereka belajar nalar apresiasi film justru berangkat dari seni pertunjukkan panggung, yaitu dari tradisi komedi stanbul dan toneel, yang secara substansi isi dan kaidah estetik oleh kalangan terpelajar dianggap karya rendahan. Kaum akar rumput ini juga banyak belajar dari model film laga yang penuh adegan kekerasan, model film roman picisan yang melodramatik, atau model film misteri yang cenderung mencari sensasional belaka. Tujuannya semata mencari hiburan dan melupakan seluruh kepenatan hidup.
Dalam konteks tarik-menarik konfigurasi inilah, para pembuat film bermaksud mendekati kalangan terpelajar maupun akar rumput sebagai pangsa pasarnya. Sayangnya, orang film gagal memenuhi harapan kalangan terpelajar. Terlebih semenjak film “Terang Boelan” (1937) mencatat sukses penjualan. Meledak dan laris manis.
Terang Boelan segera jadi pramodel bagi industri film di Hindia Belanda saat itu, dan, lebih jauh, bahkan nantinya juga bagi Indonesia. Bukan sekadar memperkenalkan sistem bintang dengan memasang artis-artis populer, film ini juga berhasil menciptakan representasi kisah romansa ideal melalui tokoh protagonis Mochtar-Roekiah. Reproduksi model film ini setidaknya kita jumpai pada perjalanan sejarah perfilman Indonesia kontemporer. Ambil contoh, Roy Marten dan Cristine Hakim dalam film “Sesuatu yang Indah,” misalnya; atau Rano Karno dan Yessy Gusman dalam film “Gita Cinta Dari SMA.” Tak terkecuali film “Ada Apa dengan Cinta” dengan aktor dan aktris Nicholas Saputra dan Dian Sastrowardoyo tampak masih mereproduksi model pembuatan film Terang Boelan.
Meskipun Misbach Yusa Biran tak memasukkan periode 1926 – 1949 sebagai film Indonesia, karena film yang dibuat pada masa itu menurutnya belum didasari tumbuhnya kesadaran nasional. Namun, tampaknya perjalanan panjang kurun tersebut telah memberi pola (pattern) atau membentuk karakter tersendiri bagi produksi film-film nasional. Ya, apalagi kalau bukan wajah melodramatik khas film Indonesia yang terkadang lebay.