Malam itu angin terasa dingin menyentuh kulit. Semakin malam, rasa dingin semakin membuat tubuh menggigil. Namun, rasa dingin itu tampaknya tak menyurutkan antusias puluhan ribu muktamirin (peserta muktamar) dan muhibbin (penggembira muktamar) dari berbagai elemen masyarakat untuk mengikuti rangkaian acara pembukaan Muktamar ke 33 Nahdlatul Ulama di Alun-alun Jombang, Jawa Timur. Tempat di mana NU lahir.
Tentu rakyat Jombang, khususnya, tak mau ketinggalan ikut andil dalam meramaikan serta ngalap berkah dari perhelatan akbar para kiai dan intelektual bersarung itu. Dari anak kecil hingga kakek dan nini yang kulitnya sudah keriput rela berdesak-desakan demi menyaksikan “Kiai NU” dan “Pak Jokowi” –begitu ujar salah satu dari mereka– secara langsung. Ratusan pedagang membuka lapak dan menjajakan barang dagangannya. Muktamar NU tak hanya milik PBNU, PC dan PW, melainkan milik semua rakyat yang menjalankan ajaran dan amaliah Ahlussunah waljama’ah.
Ada yang menarik dari perhelatan malam itu, selain menampilkan 1000 vokalis paduan suara yang menyanyikan lagu-lagu sholawat penggetar hati dan Jokowi yang hadir mengenakan stelan jas dan sarung, kebanyakan para muktamirin yang hilir-mudik, Banser, Pagar Nusa, Polisi, TNI yang mengamankan, ratusan wartawan yang meliput dan muhibbin yang sedang anteng memantengi layar televisi (yang disediakan panitia), tampak khusyu sambil klepas-klepus menikmati rokoknya. Luar biasa, udud bareng-bareng lebih nikmat ketimbang udud sendiri.
Saking hobinya kaum nahdliyin menghisap emas hijau yang dirajang itu, banyak kalangaan NU sendiri yang memlintir-mlintirkan singkatan NU menjadi Nahdlatul Udud. Atau jika Anda sering melihat tempat-tempat tertentu yang tertempel tulisan “NO SMOKING AREA”, bagi orang NU, tulisan tersebut bukan berarti larangan untuk tidak boleh merokok, melainkan mempunyai arti Nahdloetul Oelama (ejaan lama) Smoking, atau area merokok kaum nahdliyin. Inilah ilmu othak-athik mathuk yang dipopulerkan oleh Kiai Anwar Zahid.
Tentu itu hanya sebuah guyonan namun mempunyai nilai yang patut untuk dijadikan bahan renungan. Singkatan-singkatan tersebut tidak muncul secara tiba-tiba seperti tiba-tiba pegiat kesehatan membenci dan menghujat kaum pengudud. Singakatan itu lahir dari kesadaran para intelektual NU yang meyakini bahwa rokok bukanlah barang menjijikkan sehingga wajib dijauhi, melainkan alat pemersatu umat dan teman setia saat belajar kitab kuning.
Tentu yang tidak kalah menarik, ternyata para santri nahdliyin diam-diam menghafalkan bait-bait alfiah sambil merokok, entah di kamar mandi pesantren atau tempat-tempat tersembunyi yang aman dari pantauan pengasuh dan pengurus pesantren. “Rokok itu teman yang paling cocok saat menghafal.”
Kata banyak orang, merokok dapat menghilangkan akal sehat manusia. Masih ingatkah dengan paman Gus Dur, Kiai As’ad Syamsul Arifin, salah satu tokoh yang ikut mendirikan NU, Kiai Ihsan Jampes penulis banyak kitab kuning yang dijadikan rujukan di beberapa universitas di luar negeri, dan Gus Mus seorang kiai sekaligus sastrawan kondang? Kesemuanya adalah perokok dan kiai keren yang tidak pernah kehilangan akalnya dan tentu saja mampu lebih produktif ketimbang kaum-kaum atau kamu-kamu yang tidak merokok.
Jadi, selain membahas materi dan memikirkan strategi NU dalam menghadapi masa yang akan datang, muktamar NU bisa dijadikan ajang join rokok ngudud bareng kiai bukan?