Di komunitas masyarakat adat Karang Bajo-Bayan, di Lombok Utara, tembakau sudah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari.
[dropcap]P[/dropcap]ulau Lombok terkenal dengan tembakau jenis Virginia, yang peruntukan terbesarnya menjadi produk rokok mild dan rokok putih. Bahkan saat ini, Lombok sudah menjadi penghasil terbesar tembakau Virginia di Indonesia. Areal perkebunan tembakau Virginia terdapat di Lombok Tengah dan Timur. Tapi, di pulau Seribu Mesjid ini, tidak hanya tembakau Virginia yang menyimpan segudang cerita. Di Lombok Utara, ada tembakau lokal yang memiliki eksotisme tersendiri.
Perjalanan saya ke Lombok Utara pada awal pekan ini sebenarnya bertujuan untuk menengok potensi wisata masyarakat adat di Kampung Karang Bajo-Bayan. Seorang pemuda adat setempat mengantar saya ke Mesjid Kuno Bayan, lalu masuk ke dalam kampung ikut serta merasakan kehidupan masyarakat di sana.
Pada sebuah Berugaq, semacam bale-bale atau pendopo, duduk tiga lelaki dan seorang perempuan. Dua lelaki usianya sudah tua, yang satu lebih muda. Sementara yang perempuan juga sudah tua. Mereka sibuk dengan aktivitas masing-masing, sambil mengobrol dengan bahasa setempat. Ada yang sedang menyiapkan sirih dan pinang, ada yang berbaring santai. Kamipun ikut nimbrung. Renadi, pemuda adat tadi, memperkenalkan saya pada para bapak dan ibu itu. Senyum ramah menyeruak dari mereka. Obrolan pun mengalir, tentang kampung itu, dan tentang apa saja.
Hingga pada suatu momen saya tergelitik ketika Pak Ringalip, yang duduk di depan saya, mengeluarkan sekantung plastik berisi tembakau dari kantungnya. Tembakau yang sudah dirajang itu, digulung dengan kertas jagung, lalu dibakar dan dihisap. Buuussss…..asap mengebul.
“Apakah itu tembakau Virginia?” tanya saya polos, karena sebatas sempitnya pengetahuan saya kalau di Lombok itu yang ada adalah tembakau Virginia.
Bapak-bapak di Berugaq itu malah bingung. Entah bingung dengan nama yang sebut tadi atau bingung yang lain. Renadi mencoba membantu dengan bahasa Bayan, lalu dijelaskan bahwa yang sedang mereka hisap adalah tembakau Kasturi, datang dari luar Bayan, dibeli di pasar.
“Lalu, apa ada tembakau lokal yang ditanam di sini?”, lanjut saya.
“Ada, namanya tembakau Pender dan tembakau Katik”, sahut seorang bapak.
“Apa proses pengeringannya sama dengan Virginia yang diasapi dalam oven?” tanya saya lagi kembali dengan pengetahuan terbatas. Dan kembali mereka bingung.
“Tidak, tembakau lokal Pender dan Katik dijemur sinar matahari, dirajang lalu dipakai”, jawab seorang bapak dengan Bahasa Indonesia yang agak terbata-bata.
Di komunitas masyarakat adat Karang Bajo-Bayan, di Lombok Utara, tembakau sudah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari. Mereka juga menanam tembakau, meski tidak semassif masyarakat di Lombok Tengah dan Timur yang kemudian menjual hasil panennya ke perusahaan-perusahaan rokok. Di Bayan, tembakau Pender dan Katik hanya ditanam oleh segelintir orang, dengan luasan lahan yang kecil saja, kira-kira seluas halaman rumah-rumah mewah di Pondok Indah, Jakarta Selatan.
“Pender dan Katik itu juga sebenarnya tidak untuk rokok, tapi lebih untuk susur pinang dan nyirih”¸ lanjut bapak tadi yang menjelaskan dengan bahasa lokal dan diterjemahkan oleh Renadi. Aromanya keras, makanya masyarakat tidak memakainya untuk dihisap. Hanya sedikit saja yang memakainya untuk rokok. Renadi menambahkan, “Kalau untuk nyirih, justru tembakau lokal itu enak sekali rasanya”.
Tak terasa waktu, Pak Ringalip sudah menghabiskan lintingan tadi, dan kini mengoper plastik isi tembakau itu ke bapak yang lain. Saya pun turut mencobanya. Saya katakan ke mereka, kalau di Jawa, ini namanya tingwe, ngelinting dhewe… melinting sendiri. Ringalip yang sudah berusia 80 tahun langsung menyahut, di sini disebut pilit. Jadi melinting adalah memilit, dan lintingan adalah pilitan.
Tentu saja rasa penasaran belum tuntas 100% kalau hanya mencicipi sepilit tembakau Pender tadi. Tapi karena sudah sore, kamipun berpamitan. Kepada Renadi saya katakan, saya mau lihat yang menanam tembakau asli Bayan ini. Direncanakanlah esok hari untuk mencari dan melihat langsung kebun dan tanaman surga ini.
Tembakau Pender dan Tembakau Katik, dua tembakau lokal di Bayan, diyakini sudah ada seiring dengan asal muasal masyarakat komunitas Bayan menempati dan tinggal di Lombok Utara. Sejarah komunitas ini tercatat pada akhir abad ke-14, yaitu ketika pertama kali Islam mendarat di Lombok Utara, lalu datang pasukan Anak Agung Karangasem dari Bali Hindu, hingga kemudian pengaruh Bali memudar berbarengan dengan runtuhnya Majapahit di Jawa.
Abad ke-14, kata bapak-bapak di Berugaq tadi. Tumbuh seiring dengan tumbuhnya peradaban di Bayan. Saya langsung merenung karena sebagian besar buku menyebut tembakau tidak tumbuh di Indonesia, melainkan dibawa oleh orang Eropa pada abad ke-17 menurut catatan Raffless.
Renungan saya sambil menyusuri kaki di pematang sawah adat Bayan terhenti ketika mata saya menatap sepetak kebun. Tembakau yang ditanam. Kembali ditemani Renadi, pemuda adat tadi, kami menemui Pak Patrot, pemilik kebun. Tidak jauh berbeda antara cerita Pak Patrot dengan cerita dari Berugaq kemarin. Tembakau Pender dan Katik beraroma keras, karena itu sebagian besar masyarakat hanya memakainya untuk sirih, dan sebagai salah satu isi sesajen pada ritual-ritual adat. Patrot sendiri menghisap tembakau Kasturi yang dibeli dari pasar.
Karena lebih untuk sirih dan sesajen, maka tembakau Pender dirajang besar-besar, tidak halus. Patrot menanam tembakau hanya untuk kebutuhan sendiri. Hanya kalau ada kelebihan saja baru ia menjualnya. Sayangnya, ia tidak punya stok lebih untuk saya bawa pulang.
Kami pun pamit dan mencari kebun lain. Tidak jauh dari situ. Dan saya girang bukan main, ketika Rosid si pemilik kebun masih menyimpan persediaan lebih. Ya, tembakau Pender itu. Pemandangan sama saya lihat seperti di Temanggung, Jawa Tengah. Tembakau hasil panen Rosid dijemur pada sebuah wadah persegi berukuran 1×3 meter, dibuat dari belahan bambu. Rigen namanya kalau di Temanggung.
Nah, Pak Rosid ini menghisap tembakau Pender hasil kebunnya. Kata dia, “Saya pakai daun pertama yang rasanya tidak terlalu keras”.
Itupun Rosid mencampur tembakau Pender dengan daun dari bunga Tunas Malam. Wah saya kurang paham soal bunga-bunga dan daun-daun. Pak Rosid dan Renadi pun tidak tahu apa bahasa atau istilah lain dari daun itu. Di Bayan namanya bunga tunas malam.
“Daun Tunas Malam ini yang memberi kehangatan buat badan dan tenggorokan saat kita menghisap rokok Pender”, kata Rosid.
Ya, kalau di Jawa tembakau dicampur dengan rajangan cengkeh, yang menjadi cikal bakal kretek, nah di Lombok Utara ini tembakau dicampur dengan tunas malam. Khasiatnya kurang lebih sama, memberi kehangatan. Di komunitas masyarakat Bayan, tidak mengenal campuran cengkeh pada tembakau lintingan yang mereka hisap.
Tanpa ragu saya minta persediaan tembakau Pender yang dimiliki Pak Rosid. Tentu saja saya beli. Untung saja masih ada hasil panen yang sedang dijemur tadi, sehingga Pak Rosid langsung membungkuskan seplastik tembakau Pender, dan diserahkan ke saya. Ketika saya tanya berapa saya harus bayar, dia hanya tersenyum lebar. “Terserah bapak saja”, katanya.
Transaksi selesai. Dan perjalanan saya untuk mengeksplor potensi wisata adat di komunitas Bayan ini menjadi lebih komplit karena temuan cerita baru, bagi saya tentu saja, tentang tembakau lokal dari Bayan, Lombok Utara.