PERTANIAN

Bahasa dan Rasisme

Gus Dur adalah salah satu tokoh pluralisme yang memelopori penggunaan kembali istilah Tionghoa dan Tiongkok. Ketika Gus Dur jadi Presiden, salah satu kebijakannya mencabut Inpres Nomor 14 tahun 1967 yang diskriminatif dan diganti dengan Keppres 6 Tahun 2000. Bahkan dalam laporan kerja Pemerintah Agustus 2000, Presiden Gus Dur sudah secara tegas menggunakan sebutan “Republik Rakyat Tiongkok”. Langkah politik Gus Dur harus diapresiasi karena sebelum beliau jadi presiden terjadi kerusuhan di Jakarta. Isu rasisme pun menjadi bahasan utama selain gejolak politik dan ekonomi dalam kerusuhan yang terjadi pada bulan Mei 1998.

Presiden Megawati juga melakukan hal serupa. Peringatan hari raya Imlek diakui jadi Hari Libur Nasional. Tanpa kecuali Presiden SBY, bermaksud meneruskan tradisi “baik” itu. Di penghujung akhir kekuasaannya keluar Keppres Nomor 12 Tahun 2014 mencabut Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor tanggal 28 Juni 1967. Praktis sejak Keppres itu, semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dalam penyebutan orang dari atau komunitas “Tjina, China, atau Cina” diubah menggunakan istilah “Tionghoa”. Juga penyebutan “Republik Rakyat China” secara resmi diubah menjadi “Republik Rakyat Tiongkok”.

Pasca Orde Baru, hampir semua elemem demokrasi beramai-ramai mengadopsi istilah Tionghoa untuk menggantikan istilah Cina. Juga dalam tradisi penulisan akademis atau ilmiah, tak kecuali. Ya, memasuki zaman demokrasi muncul semacam konsensus, bahwa agenda pluralisme atau multikuturalisme adalah sebuah keniscayaan politik kebudayaan bagi masa depan Indonesia yang multietnis dan multibudaya. Saking kuatnya desakan nilai-nilai pluralisme sebagai tuntutan spirit zaman, waktu itu pemilihan penggunaan terminologi–apakah tetap istilah Cina atau berubah istilah Tionghoa seolah-olah jadi pembeda apakah seseorang atau sebuah komunitas politik itu berwajah pro atau anti perubahan.

Kini, terlepas kekurangannya di sana-sini, 15 tahun perjalanan reformasi dan praktik demokrasi secara kualitatif telah membawa wajah Indonesia pada tujuan politik kebudayaan yang lebih humanis dan bermartabat. Setelah serentetan konflik berwajah etnoreligius mendera Indonesia pada masa awal reformasi, seperti konflik Dayak-Madura di Kalimantan, Islam-Kristen di Poso dan Ambon, kini bisa disimpulkan potensi konflik sosial berbasis etnoreligius itu sudah jauh berkurang. Sejak kerusuhan Mei 1998 juga tak lagi kita catat kerusuhan anti etnis Tionghoa.

Tak hanya itu, ruang ekspresi kebudayaan etnis Tionghoa kini tak hanya terbuka lebar, lebih jauh bahkan nampak budaya Tionghoa demikian mudah saling meresapi satu sama lain dengan budaya-budaya lokal. Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, bagaimanapun adalah “kado” terindah dalam perjuangan agenda pluralisme atau multikulturalisme sebagai pembentuk karakter wajah demokrasi.

Namun demikian isu rasisme belakangan ramai mengemuka. Itu tercatat bermula sejak musim pilpres 2014 hingga terpilihnya Jokowi jadi Presiden. Ditambah sejak Ahok resmi jadi Gubernur DKI Jakarta, kegaduhan kritik terkesan tak jauh dari sentimen anti Tionghoa dan isu non-muslim. Dan isu rasisme semakin mengemuka dengan banyaknya media daring yang secara intens mengunggah isu tersebut.

Mudah ditebak, menguatnya isu anti Tionghoa nampak berkorelasi dengan rencana Pemerintah Jokowi – JK mempererat hubungan strategis dengan Negara Tiongkok. Ragam isunya tentu klise, yaitu sekadar mereproduksi model Orde Baru: dari ancaman bahaya Komunisme, seakan-akan Negara Tiongkok hendak melanjutkan proyek ekspansi ideologinya ke Indonesia; rumor sejarah Bapak-nya Jokowi adalah anggota PKI dan, karena itu, Presiden Jokowi adalah antek Tiongkok; sementara bicara kebijakan Jokowinomic, isunya akan membawa Indonesia jadi “negara bagian”-nya Tiongkok; hingga, isu paling santer, yaitu muncul ancaman melimpahnya tenaga kerja asing dari negeri Panda seiring masuknya investasi ke Indonesia.

Pemahaman masyarakat terhadap sebuah isu sangat beragam. Pemahaman terhadap sebuah isu terutama tentang rasisme tidak berkaitan dengan latar belakang pendidikan. Meskipun sudah banyak masyarkat yang terpelajar tetap saja isu rasisme yang diunggah oleh media daring atau diangkat sebagai bahaasan utama oleh media mainstream selalu dimaknai dengan dangkal oleh publik.

Di tengah-tengah depresiasi rupiah terhadap dolar AS yang bukan tak mungkin bermuara pada krisis ekonomi dan PHK massal, “bermain-main” sebuah terminologi tentu bukannya tanpa resiko. Terlebih mengingat istilah “Cina” atau “China” di sini bukanlah terminologi yang netral secara politik. Suka atau tidak-suka, sekalipun pemakaian kedua istilah tersebut lazim pada tingkat global, namun konteks Indonesia jelas memiliki sejarah partikularnya sendiri. Celakanya tak semua awak media menyadari hal itu. Bahkan untuk media cetak sekelas majalah Tempo.

Tempo edisi 31 Agustus 2015 memberi judul “SELAMAT DATANG BURUH CINA”. Sengaja Tempo tidak memberi kata “Negara” di antara kata “Buruh” dan “Cina”. Ini tentunya bukannya tanpa tujuan. Namun Tempo selaku salah satu lokomotif demokrasi dan pluralisme tentu paham konteks sejarah artikulasi politik penggunaan istilah Cina pada zaman Orde Baru yang kemudian kini diubah menjadi Tionghoa atau Tiongkok.

 

Tinggalkan Balasan