Qurban, ritual keagamaan yang mengadopsi kisah yang paling dramatik dan problematik dari kehidupan manusia. Ibrahim, yang telah lama menikah dengan Siti Hajar tidak segera diberi keturunan. Setelah diberi seorang anak, Ismail, Tuhan memerintahkan untuk menyembelihnya sebagai bukti ketaatan kepada Tuhan. Ibrahim yang awalnya ragu dan berat hati untuk melaksanakan perintah itu malah dikuatkan oleh Ismail melaksanakannya. Alkisah ketika Ismail sudah siap dalam posisi disembelih kuasa Tuhan bekerja dan menggantinya dengan seekor kambing.
Andai kisah tersebut diinterpretasi harfiah (scripturalistic) tentu membingungkan. Bagaimana mungkin seorang bapak, tega hati menyembelih anaknya? Apa iya, sebagai bukti kecintaan pada Rabb harus muncul perintah seperti itu? Bukankah, tafsiran itu terasa absurd? Saking dramatiknya kisah itu susah diterima akal sehat, selain memunculkan skeptisme dan dugaan bahwa Ibrahim menderita skizofrenia. Apa iya, bapak para nabi itu kualitas pikiran dan rohaninya hanya sampai dalam tahap seperti itu? Tentu tidak, bukan?
Kisah Ibrahim tetu akan menimbulkan problematik dalam tafsiran konvensional yang membangun wacana kekerasan terkait perilaku keagamaan seorang Nabi. Dalam derajat tertentu tafsiran harfiah itu, sedikit atau banyak, menjustifikasi munculnya bentuk kekerasan keagamaan sebagai hal lumrah. Dalil bahwa Ibrahim hanya melakukan perintah atau ujian Tuhan, bukan tak mungkin secara paradoksal justru jadi sumber legitimasi terhadap munculnya praktik kekerasan berbaju keagamaan juga dengan asumsi diperintah Tuhan.
Tafsiran konvensional kisah Ibrahim seharusnya dibaca dalam konteks perspektif Tuhan antropomorphisme sebagai suatu upaya membumikan konsepsi Tuhan dalam keyakinan populer. Kisah Ibrahim biasanya dihimpun dalam kumpulan kisah nabi-nabi, diituturkan sebagai dongeng bagi anak-anak tingkat sekolah dasar. Sementara di sisi lain, wacana kekerasan yang mendemontrasikan aksi menjagal manusia kini banyak ditemui bersliweran di jagat cyber juga mendalilkan hal serupa: diperintah Tuhan. Bisa dibayangkan andai kisah Ibrahim mengorbakan anaknya kemudian dipahami sebagai kisah nyata, bukankah tanpa disadari sebenarnya kita tengah membiasakan anak-anak kita mendengar kisah kekerasan?
Ini mengundang banyak persoalan seputar bagaimana sebuah tafsiran baru yang lebih humanistik harus dibangun di atas narasi kisah Ibrahim. Mengikuti tafsiran Ali Syari’ati, penyembelihan hewan bukanlah semata artikulasi spirit berbagi, dari yang kaya kepada yang miskin. Lebih dari itu, Syari’ati juga memaknainya sebagai perumpamaan tentang kemusnahan dan kematian ego. Penyembelihan hewan adalah simbol musnahnya karakter hewani dalam diri manusia. Pandangan Syari’ati memperlihatkan perhatiannya pada dimensi moral dan politik yang harus terus diperjuangkan bagi terwujudnya keadilan sosial, tapi juga memaknai ritual ini sebagai upaya etis mewujudkan transformasi kesadaran.
Pada titik ini narasi Ibrahim mengorbankan anaknya harus didudukkan pada konteks spirit pencarian dan kerinduan kuat Ibrahim akan realitas Tuhan yang sebenarnya. QS. Al-An’am ayat 76 – 78 mengisahkan bagaimana Ibrahim telah melakukan pencarian itu sejak kecil. Saat menyaksikan bintang, bulan, dan matahari, pada mulanya Ibrahim mengira itulah tuhannya. Tapi, Ibrahim menemui bahwa bintang, bulan, dan matahari itu tenggelam. Maka Ibrahim kemudian mencari Tuhan sejati yang tak pernah tenggelam, Tuhan yang menciptakan bintang, bulan, dan matahari. Dan, Ibrahim percaya, tidak ada tuhan selain Allah yang telah menciptakan langit dan bumi seisinya.
Sementara, kedudukan anak sudah tentu adalah harta kekayaan terbaik bagi orang tuanya. Orang Jawa bahkan memaknai anak sebagai Gusti Katon. Ibrahim, tak kecuali. Kecintaan dan kemelekatan orang tua pada anak tak hanya menciptakan harapan yang membuncah, namun juga kecemasan yang meruah. Terlebih Ismail buah hati Ibrahim itu merupakan kisah penantian panjang akan hadirnya seorang anak. Karena itu keberadaan anak seringkali justru menjadi penghalang utama proses transformasi rohani manusia menuju realisasi puncak kesadaran Tuhan (ma’rifatullah). Namun bukanlah Ibrahim jika gagal. Berbekal keimanan dan ketakwaan pada Tuhan, Ibrahim berhasil memotong seluruh ikatan dan kemelekatan (kesadaran) dirinya pada Ismail.
Menurut Syari’ati, dalam Al Quaran kata “Ismail” itu sering diganti dengan kata “zibhil azhim” yang artinya “sembelihan yang besar” atau “sembelihan yang agung” (Q.S. Ash Shaffat ayat 107). Jika ditafsirkan secara psikologis, yang dimaksud “sembelihan yang besar” bukan tak mungkin adalah “ego subyektif” kita sendiri, yaitu bentuk-bentuk ikatan dan kemelekatan kesadaran untuk mencapai kemerdekaan jiwa sebagai hamba Tuhan. Masih serut tafsiran Syari’ati, Ismail itu bisa berwujud aneka rupa: manusia, obyek, pangkat, jabatan, atau bahkan “kelemahan” kita sendiri. Berbagai bentuk ikatan dan kemelekatan kesadaran pada selain Tuhan itulah yang disembelih.
Dengan kata lain, secara psikologis, ritual qurban mengingatkan manusia untuk memberikan segala hal berharga yang dimilikinya, yang berpotensi untuk memalingkan perhatian, kecintaan, dan pencarian kita kepada realitas Tuhan yang hakiki.
Pertanyaannya ialah, apakah “Ismail-ismail” dalam kesadaran kita?