Lelehan malam panas dari canting itu diguratkan dengan kehalusan rasa. Dari rangkaian titik-titik terbentuklah garis yang kemudian membentuk gambar dan pola tertentu dan lebih jauh menjadi motif, memburatkan keindahan sebuah karya seni. Dari sisi etimologi batik merupakan gabungan dari dua kata bahasa Jawa yaitu“ambatik”, “amba” berarti menulis dan “titik” berarti titik. Sementara membatik diwakili dengan istilah “mbatik” (bahasa Jawa), yang maknanya “ngêmban titik”. “Mbatik” juga bisa berarti “mbabaté sâkâ sithik”, yaitu proses pembuatannya (batik tulis) sedikit demi sedikit sehingga membutuhkan kesabaran, ketelitian dan ketelatenan tersendiri. Kata “batik” sendiri digunakan untuk menyebut “tato” dalam bahasa-bahasa Indonesia Timur dan Filipina.
Batik sebagai karya adiluhur mulai terlontar sejak abad ke-19. JL Brandes memasukkan batik sebagai salah satu dari sepuluh budaya asli Indonesia, selain seni gamelan, wayang kulit, mengolah logam, dstnya. Menurut Brandes, segala unsur dalam batik itu tak dipengaruhi kebudayaan India, baik yang bercirikan Hinduisme maupun Buddhisme. G.P. Rouffaer juga melaporkan bahwa pola gringsing sudah dikenal sejak abad ke-12 di Kediri. Menurutnya, pola gringsing ini hanya bisa dibentuk dengan menggunakan canting, sehingga ia lebih jauh berpendapat bahwa alat itu setidaknya sudah ditemukan di Jawa pada sekitar abad tersebut.
Pendapat ini mendapat sanggahan dari peneliti budaya lain, diantaranya NJ Krom. Dia mengatakan batik sudah lama dikenal di Koromandel, India. Dari India seni itu dibawa masuk ke Indonesia. Pendapat Krom dikuatkan oleh Langewis dan Wagner (1964), kedua peneliti ini turut memberikan pendapat tentang kemungkinan asal usul teknik batik di Jawa berasal dari India. Sementara peneliti lain menduga teknik membatik berasal dari budaya Tiongkok, sedangkan peneliti lainnya lagi ada yang menduga batik justru berasal dari Mesir.
Susah menyimpulkan tafsiran manakah yang benar. Terlebih menimbang posisi geokultural Indonesia yang berada pada jalur lalu lintas perdagangan masyarakat dunia. Wajar susah mengatakan seni batik sema sekali tidak membawa unsur-unsur dari luar. Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya mencatat panjang lebar, bahwa bukan hanya pada sistem agama saja ditemukan fenomena hibriditas budaya, melainkan juga cara bercocok tanam, aneka rupa makanan, pakaian dan aspek budaya lainnya, semuanya ditandai oleh adanya percampuran unsur-unsur budaya luar dan lokal.
Jelas, di sini akulturasi seni dan budaya sangat menonjol. Ini terabadikan dalam susunan corak, ragam hias dan warna yang terlukis pada banyak motif batik, yang antara lain batik Klasik, batik Pesisiran, batik Belanda, batik Cina, batik Wong Kaji, batik Wong Cilik, dsbnya. Tak aneh seni batik itu sendiri terlihat menjadi sangat dinamis. Dari zaman ke zaman seni batik selalu berkembang, tak hanya menciptakan keragaman artistik dan estetik, melainkan juga keragaman simbolik dan maknanya. Terlebih sejak memasuki abad ke-19 dikenal teknik baru yaitu batik cap (hand-stamp), dan belakangan menyusul ditemukan teknologi screen sehingga melahirkan jenis batik sablon atau printing dengan berbagai motif kontemporernya.
Awalnya seni batik dikerjakan hanya terbatas di lingkungan kraton. Hasilnya untuk busana raja dan keluarga serta para pengikutnya. Tak sembarang orang boleh mengenakan batik, terutama pada motif-motif tertentu yang ditetapkan sebagai motif larangan bagi khalayak luas. Selain berfungsi jadi sistem pembeda sosial, motif larangan juga dimaksudkan mengukuhkan dominasi dan hegemoni kelas bangsawan.
Konon, pada zaman HB I motif Parang Rusak, Semen dengan Sawat, Lar, Cemukiran dan Udan riris, misalnya, adalah beberapa motif batik yang dilarang keras dikenakan orang biasa. Pada 1927 HB VIII juga mengeluarkan Pranatan Dalem Jenenge Pananggo Keprabon Ing Keraton Nagari Ngajogjakarta, dalam aturan itu disebutkan tiga motif kain batik sebagai “monopoli” trah kraton: Semen, Sawat dan Udan liris. Akan tetapi, lambat laun ketrampilan seni membatik keluar dari lingkungan kraton, terlebih sesudah mengalami fase industrialisasi kini menjadi pakaian khalayak umum.
Bicara tentang seluk beluk batik, ada hal menarik kita catat, yaitu hasil penelitian Bandung Fe Institute (BFI) tentang ornamental atau motif batik. Selama kurang-lebih enam tahun BFI meneliti berbagai ornamen batik, khususnya pada batik dengan motif tradisional di Jawa. BFI tiba pada kesimpulan, bahwa batik tak hanya sarat nilai-nilai filosofis, tetapi juga kaya akan penghitungan matematika fraktal.
Kata fraktal itu sendiri pertama kali dicetuskan oleh Benoit Mandelbrot pada 1970-an, melalui artikelnya yang berjudul “A Theory of Fractal Set“. Fraktal adalah konsep matematika yang membahas kesamaan pola pada semua skala. Secara sederhana, kehadiran fraktal ditandai oleh adanya pengulangan pola atau kesamaan diri (self-similarity) pada ukuran yang berbeda-beda atas suatu obyek tertentu. Analogi paling mudah untuk memahami teori faktral adalah mencermati Segitiga Fraktal atau Segitiga Sierpinski di bawah ini:
Dengan demikian fraktal adalah fenomena di mana terjadi berulangnya pola tanpa batas. Dalam dunia fraktal kita tak akan pernah menemukan bagian-bagian (part) yang terpisah dari keseluruhan (whole). Karena setiap kita melakukan pembagian pada skala yang lebih kecil, kita akan menemukan keseluruhan itu berada dalam bagian-bagian dalam ukuran yang lebih kecil. Terus-terus dan terus nir-batas.
Terkait seni batik, faktor yang berperan besar menghadirkan fenomena fraktal ialah adanya teknik dekorasi yang disebut‘isen’. Dalam membatik terdapat proses yang disebut isen, yang berfungsi sebagai pengisi atau pelengkap ornamen dengan cara mengisi ruang-ruang kosong pada motif besar dengan motif kecil tertentu yang sesuai.
Apa yang penting dicatat di sini, meskipun sejarah batik katakanlah dipengaruhi berbagai kebudayaan besar (India, Timur Tengah, pengaruh Tiongkok, fase kolonial Belanda dan Jepang, hingga memasuki fase Kemerdekaan), namun uniknya hibriditas budaya pada batik ternyata tetap mampu mempertahankan dimensi fraktalnya pada ukuran yang sama dan konsisten. Dan mau tidak mau dimensi fraktal itu telah hidup dan ada di Indonesia. Meskipun diterpa berbagai krisis, konflik horizontal dan situasi tak menentu pasca reformasi kita tetap utuh sebagai sebuah bangsa. Jadi masih perlukah bela negara dengan baris-berbaris? Toh persatuan itu sudah hidup dalam urat nadi budaya bangsa ini.