Sejarah keroncong tak bisa lepas dari Kampung Tugu, sebuah di pesisir utara Jakarta. Di sana pada 1925 berdiri “Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe-Anno 1661” atau lebih dikenal dengan nama singkatnya “Krontjong Toegoe” cikal bakal musik keroncong di Indonesia.
[dropcap]A[/dropcap]nda pasti tahu musik campursari. Apalagi lagu Stasiun Balapan atau Terminal Trtonadi, pasti sudah akrab dengan telinga anda. Musik campursari adalah sebuah fenomena musik hibrida, bukan saja berhasil memadukan musik tradisional dan modern dengan apik, melainkan juga melahirkan sebuah genre musik baru yang unik dan asli Indonesia.
Berbagai alat musik modern seperti keyboard, electric guitar, flute, perkusi yang dimainkan bersama-sama dengan jenis alat musik tradisional seperti kendang, saron, gender, gong, dan seperangkat alat lainnya ternyata menghasilkan harmoni yang indah. Jelas, hibrida bunyi yang dihasilkan dari berbagai macam alat musik ini tentu bukanlah semata gejala musikal, melainkan notabene juga sebuah praktik diskursif masyarakat Indonesia, khususnya orang Jawa, dalam konteks merespon dominasi dan hegemoni budaya (musik) global. Walhasil, lahirlah campursari.
Lalu, apa menariknya? Sedikit atau banyak, musik campursari membawa spirit revitalisasi musik keroncong. Bahkan tak sedikit orang yang menilai, campursari itu sendiri sebenarnya adalah produk perkembangan muthakir dari evolusi musik keroncong jenis langgam Jawa.
Ya, memang sudah cukup lama musik keroncong jadi wahana ekspresi musik populer. Sebutlah Caping Gunung misalnya, lagu bernada kritik sosial karangan Gesang ini populer pada kisaran 1950-an yang terus dinyanyikan hingga kini oleh beragam grup atau penyanyi keroncong adalah revitalisasi langgam jawa dalam alat musik modern. Begitu juga dengan Stambul Betawi nan masyhur itu. Keroncong berhasil merevitalisasinya menjadi lebih harmonis sebagai ekspresi musikal populer. Mudahnya musik keroncong diterima oleh masyarakat nampaknya disebabkan permainan orkestrasinya memiliki kesamaan dengan tradisi musik gamelan.
Sejarah keroncong tak bisa lepas dari Kampung Tugu, sebuah di pesisir utara Jakarta. Di sana pada 1925 berdiri “Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe-Anno 1661” atau lebih dikenal dengan nama singkatnya “Krontjong Toegoe” cikal bakal musik keroncong di Indonesia. Konon, angka 1661 itu merujuk pada tahun pertama kedatangan para imigran keturuan Portugis ke Batavia, terdiri dari 23 keluarga asal Goa dan Pulau Banda, dan kemudian menetap di Kampung Tugu. “Black Potuguese” demikianlah dulunya para warga keturunan Portugis (mestizo) itu biasa disebut. Konon pula nama Tugu sendiri secara etimologi juga diambil dari kata Por-“tugu”-ese.
Serupa keroncong langgam Jawa yang menambahkan unsur-unsur musik gamelan, kelompok orkes Keroncong Tugu juga menambahkan alat musik sejenis mandolin—namanya macinas—dan sebuah tamborin. Menurut Victor Ganap, lokasi Kampung Tugu itu pada zaman dulu letaknya terisolasi. Ini mendorong terciptanya gagasan membuat alat musik terbuat dari kayu, serupa gitar tapi ukurannya kecil. Orang Maluku menyebut alat musik serupa gitar kecil itu “ukulele”. Alat musik ini kalau dimainkan mengeluarkan suara “crong, crong, crong”. Karena suaranya yang khas, secara onomatopoeic alat musik kemudian disebut sebagai “kroncong”.
Satu pihak berpendapat, keroncong berasal dari Portugis masuk ke Indonesia abad ke-17. Para mestizo datang ke Batavia sebagai makelar kebudayaan musik itu. Pihak lain beranggapan, keroncong adalah asli ciptaan bangsa Indonesia. Asumsinya musik keroncong sama sekali berbeda dengan musik-musik dari Portugis, bahkan di sana juga tak ada satupun lagu dinyanyikan seperti keroncong. Sementara muncul pendapat di luar keduanya itu, keroncong justru berasal dari hasil sintesa artistik dari unsur musik Portugis abad ke-16 dan Indonesia, plus dipengaruhi budaya Islami bangsa Moor dari Afrika Utara yang masuk dan berkembang di Portugis.
Terlepas dari simpang siurnya tafsiran sejarah tersebut musik keroncong lahir dari fenomena alkulturasi budaya. Kasusnya barangkali mirip munculnya budaya kretek. Dalam istilah George Ritzer, kemunculan campursari ini disebut fenomena “glokalisasi”, yakni sebuah pengadopsian budaya global dengan citra rasa lokal. Atau juga bisa disebut “kreolisasi”, di mana elemen-elemen kebudayaan lain diserap, namun kemudian dipraktikkan tanpa mempertimbangkan makna aslinya.
Menurut Victor Ganap, musik keroncong adalah musical hybrid. Genre musik ini adalah hasil akumulasi dari berbagai elemen Barat (Portugis dan Belanda) dan non-Barat (Arab, Afrika, India, Tiongkok, Oceania, Betawi dan Jawa). Lebih jauh, musik keroncong terlihat telah berbaur dengan ragam rupa warna lokal Indonesia sehingga melahirkan musik folk baru, antara lain keroncong langgam Jawa dengan produk muthakirnya musik campursari, keroncong Sunda, Keroncong Tugu atau Betawi, dan masih banyak lagi.
Selain itu, juga boleh dicatat, di luar musik tradisional, keroncong adalah salah satu musik tertua di Indonesia. Sayangnya sejak pudarnya masa kejayaannya pada akhir tahun 1960-an, musik keroncong kini mulai nampak telah ditinggalkan kaum muda, Bahkan kini di tengah-tengah mekarnya industri telivisi (radio) sekalipun, terkesan musik keroncong sedikit sekali beroleh ruang ekspresi dan apresiasinya. Industri rekaman tak kecuali, juga bersikap setali tiga uang.
Tak salah, jika banyak pihak kini bermaksud mendorong musik keroncong naik ke pentas dunia, memperjuangkan genre musik ini mendapat pengakuan dari UNESCO sebagai warisan budaya bangsa. Ya, strategi membangun popularitas pada tingkatan dunia diharapkan bisa menjadi sebuah taktik dan pemantik tersendiri agar musik keroncong semakin dicintai bangsanya sendiri. Selamat berjuang Indonesia, naga-naganya mental inlander memang kadung membatu di negeri ini.