[dropcap custom_class=”normal”]P[/dropcap]
anel hakim Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) tentang peristiwa 1965, dalam putusan sementara menetapkan bahwa negara bersalah terhadap terjadinya pelanggaran HAM berat pasca Peristiwa G30S. Panel hakim IPT juga mempertimbangkan lebih jauh dakwaan jaksa tentang keterlibatan negara-negara lain: Amerika, Inggris dan Australia. Seperti diketahui dalam sidang IPT jaksa mendakwa, Amerika Serikat, Inggris dan Australia turut terlibat aktif dan membantu kediktatoran Pemerintah Soeharto menumpas PKI.
“Seluruh materi, tanpa diragukan lagi, menunjukkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia berat yang diajukan ke hakim memang terjadi,” kata Zak Yacoob, mantan hakim konstitusi asal Afrika Selatan itu.
Dalam putusannya, majelis hakim merekomendasikan kepada pemerintah Indonesia untuk segera menuntaskan persoalan ini. Terlebih, lanjutnya, Komnas HAM sejak 2012 sudah merampungkan laporan adanya dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan pada peristiwa 1965.
Tentu hal ini mengundang pro dan kontra. Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan juga menyiratkan sikap kontra atas proses ini, “Untuk siapa kau minta maaf? Keluarga korban mana? Pembantaian mana? Sekarang saya tanya Westerling kalau mau, buka-bukaan dong, berapa banyak orang Indonesia dibunuh? Jadi jangan suara bule aja yang kalian dengerin, suara Indonesia juga didengerin,” kata mantan Jendral bintang tiga itu.
Tak ketinggalan, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu melalui media massa mengatakan bahwa pengadilan di Belanda tersebut tak usah ditanggapi karena Belanda dulu juga banyak melakukan pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Ya, isu nasionalisme pun digoreng sebegitu rupa. Jelas, konteks IPT telah disalah pahami banyak orang. Secara historis, IPT diprakarsai dan dibentuk oleh aktivis masyarakat sipil internasional. Karena itu IPT berada di luar domain negara maupun lembaga formal seperti PBB. IPT sama sekali enggak memiliki hubungan formal dengan Pemerintah Belanda. Pilihan lokasi persidangan di Belanda karena pertimbangan Kota Den Haag dianggap sebagai “simbol keadilan dan perdamaian internasional.” Di sana bermarkas International Court of Justice. Selain itu, juga karena sebagian besar panitia penyelenggara IPT adalah warga Indonesia (eksil) yang bermukim di Belanda.
Orang-orang yang menginisiasi IPT peristiwa 1965 juga bukan orang bule, melainkan warga Indonesia sendiri. IPT peristiwa 1965 dikoordinasi oleh Nursyahbani Katjasungkana, aktivis perempuan dan pejuang HAM. Sementara Todung Mulya Lubis, pengacara yang juga dikenal sebagai aktivis HAM, menjadi ketua jaksa penuntut umum.
Todung menilai, meskipun keputusan IPT ini masih bersifat sementara, namum putusan sela ini jadi tonggak sejarah dan momen untuk mengungkapkan kebenaran setelah masa penantian 50 tahun. “Sulit bagi saya untuk mengekspresikan perasaan saya. Ini adalah moment of the truth,” ujar Todung.
Sementara Nursyahbani mengatakan, putusan IPT jadi semacam obat penyembuh bagi korban karena setidaknya organisasi HAM internasional atau bahkan masyarakat internasional telah mengakui adanya kejahatan HAM berat pasca Peristiwa G30S. Lebih jauh, putusan IPT 1965 nantinya akan dijadikan sebagai dokumen lobi kepada organisasi-organisasi internasional baik LSM maupun PBB, terlebih seandainya enam bulan atau maksimum satu tahun ke depan pemerintah Indonesia tidak melakukan kewajibannya seturut ketentuan hukum nasional maupun internasional.
Selain itu, putusan IPT juga penting sebagai upaya pengungkapan kebenaran dan pelurusan sejarah agar generasi muda mendapatkan gambaran tentang fakta sejarah negaranya secara jujur dan obyektif, ujar Nursyahbani.
Ya, bicara Peristiwa G30S di sana-sini masih kita temui banyak hal gelap. 50 tahun setelah peristiwa subuh dini hari itu, selain dikenal versi sejarah resmi atau negara, juga muncul beberapa teori yang memiliki tafsiran berbeda-beda terhadap siapa dalang sesungguhnya di balik Peristiwa G30S, antara lain:
Munculnya beragam tafsiran mengisyaratkan, bahwa peristiwa G30S1965 bukanlah sebuah realitas sederhana. Terlebih mengingat konstelasi politik Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur di satu sisi; garis kebijakan politik Presiden Soekarno yang cenderung dianggap telah bergeser ke Kiri beserta kedekatannya dengan PKI di sisi lain; yang kesemuanya itu berdampak memantik sikap pro dan kontra yang “panas” dalam kontelasi politik dalam negeri.
Artinya jelas sangat mungkin berbagai irisan kepentingan dan kerja-kerja intelijen spionase dari kedua blok itu pasti menyulut ketegangan politik yang semakin memanas hingga akhirnya bermuara pada Peristiwa G30S tersebut.
Namun seandainya kemudian ditanyakan, dari berbagai teori di atas manakah perspektif tafsiran yang paling benar? Tentu susah dijawab secara hitam-putih, dan jawabannya pasti juga bukanlah hitam-putih. Tapi, seandainya ditanyakan siapakah yang paling menangguk keuntungan besar pasca Peristiwa G30S? Maka jawabannya tentu lebih mudah.
Terhitung belum genap lima tahun sejak Peristiwa G30S tercatat lahir UU No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Kedua regulasi ini memudahkan modal asing mengalir dari Blok Barat ke Indonesia, hal yang selama beberapa waktu lalu terhambat oleh serangkaian kebijakan politik Presiden Soekarno dan PKI.