[dropcap custom_class=”normal”]K[/dropcap]
evin Carter, melakukan bunuh diri justru tak berselang lama sejak menerima penghargaan Pulitzer untuk kategori fotografi jurnalistiknya. Vulture and a Child, memotret derita kelaparan balita kecil kurus kering dengan latarbelakang seekor burung pemakan bangkai. Carter memotretnya dan menjual foto itu ke New York Times uyang dirilis perdana 26 Maret 1993.
Konon, foto ini selalu dikaitkan dengan peristiwa bunuh diri yang dilakukan pemotretnya. Rumor beredar mengatakan, Carter bunuh diri karena menyesal dan merasa bersalah tidak menolong anak itu, tetapi malah mengambil momen itu dan memotretnya. Empat belas bulan berselang sejak selebrasi penerimaan Hadiah Pulitzer itu, pada suatu malam Carter mengunci diri di dalam pickup-nya, lantas mengalirkan gas knalpot ke dalam mobil hingga meninggal.
Kevin Carter lahir di Johannesburg, Afrika Selatan. Carter dibesarkan di lingkungan kelas menengah pemukiman warga kulit putih yang steril dari tetangga kulit hitam. Sejak kecil dia banyak menyaksikan bagaimana terjadi kesewenang-wenangan praktik diskriminasi rasial dan politik apartheid di sana. Setelah tamat SMA dan terpaksa beberapa waktu mengikuti wamil, sesuatu yang sebenarnya dia benci. Carter sempat menjadi seorang DJ di sebuah radio. Tapi, profesi itu digeluti tak lama. Semenjak dia menyaksikan peristiwa pengeboman gereja di Pretoria pada tahun 1983, Carter pun memutuskan bekerja menjadi seorang fotografer jurnalistik.
Carter adalah fotografer pertama yang memotret “Necklacing” bagi orang kulit hitam pada pertengahan dekade 1980-an. Necklacing adalah semacam “pengadilan rakyat”. Praktek ini menjadi metode umum bagi hukuman mati tanpa pengadilan selama masa huru-hara di Afrika Selatan pada 1980-an hingga 1990-an. Korban pertama dari Necklacing, menurut Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan adalah Maki Skosana, gadis muda, pada Juli 1985, dan Carter berhasil mengabadikan momen itu dengan kameranya dari jarak cukup dekat.
Dia kemudian berbicara tentang makna sebuah foto jurnalistik. “Saya tentu sangat terkejut melihat apa yang mereka perbuat. Namun saya juga terkejut melihat apa yang telah saya lakukan. Tapi kemudian banyak orang mulai berbicara tentang foto-foto itu… maka saya merasa bahwa tindakan saya itu barangkali tidaklah sama sekali buruk. Menjadi saksi terhadap suatu peristiwa yang mengerikan bukanlah hal yang buruk untuk dilakukan” ujar Carter suatu saat.
Tercatat memasuki bulan Maret tahun 1993 menandai perjalanan Carter ke Sudan. Sebuah negeri yang terkena bencana kelaparan massal sebagai akibat perang saudara berkepanjangan. Carter menyaksikan peristiwa yang tak kalah mengerikan yang nantinya menjadi sebuah foto berjudul: Vulture and a Child.
Dari penelusuran ke berbagai sumber, dapat disimpulkan bahwa Carter tak mungkin bunuh diri karena foto itu semata-mata. Carter jelas tahu, anak itu sesungguhnya tidak dalam bahaya sama sekali, lain dari yang terlihat di foto. Dibuat bukan di tempat terpencil, melainkan pada sebuah sesi pembagian makanan oleh PBB. Untuk mendapat foto itu, Carter berlutut 20-an menit di depan anak itu. Dia memotret beberapa kali hingga tiba-tiba seekor burung pemakan bangkai hinggap jadi latarbelakangnya. Carter juga sempat menunggu agar sang burung itu mengembangkan sayapnya untuk mendapatkan foto yang lebih dramatis. Selain itu, orangtua atau kerabat si anak sebenarnya juga berada tak jauh dari situ, sibuk berebut pembagian makanan. Seusai memotret, Carter pun sempat mengusir sang burung pemakan bangkai itu.
Ini diceritakan oleh Joao Silva, yang notabene bersama Carter berada di lokasi pemotretan itu. Kisah ini dituturkan kepada penulis Jepang, Akio Fujiwara, dan kemudian diterbitkan menjadi buku berjudul “The Boy who Became a Postcard.”
Saat itu, tanggal 11 Maret 1993, Carter dan Silva mendarat di bagian utara Sudan untuk meliput kelaparan parah yang sedang terjadi di sana. Mereka berdua turun dari pesawat PBB yang memang akan menurunkan bantuan pangan. Tim kesehatan PBB memberi tahu keduanya bahwa mereka akan tinggal landas lagi 30 menit kemudian.
Dalam 30 menit itu, tim PBB memang membagi-bagikan makanan. Carter dan Silva cukup terkesima melihat orang-orang kelaparan yang berebut jatah makanan. Anak yang dipotret Carter pun dipotret Silva walau tidak dipublikasikan. Menurut Silva, Carter memotret dari jarak sekitar 10 meter dan di belakang Carter adalah suasana orang ramai berebut makanan.
Satu yang penting dari kejadian itu adalah seusai memotret, Carter duduk di bawah pohon dan tampak tertekan.
”Dia berkata rindu dan ingin memeluk Megan, putrinya,” kata Silva. Carter memang memiliki seorang anak perempuan bernama Megan, kelahiran 1977, anak hubungan di luar nikah dengan Kathy Davidson, seorang guru sekolah.
Carter meninggalkan tulisan: “Saya tertekan…tidak punya telepon…tidak punya uang untuk bayar uang sewa…tidak punya uang untuk anak-anak…tidak punya uang untuk bayar hutang…uang!!! Saya dihantui oleh ingatan-ingatan tentang pembantaian, mayat-mayat, orang-orang yang marah, dan penderitaan…oleh anak-anak yang terluka dan kelaparan, oleh orang-orang gila yang suka sekali menarik pelatuk dan menembaki orang-orang lainnya, kadang dari polisi, kadang para penghukum mati…kalau saya cukup beruntung saya akan bergabung dengan Ken”
Ya, Carter bunuh diri pada 27 Juli 1994. Ia bunuh diri karena depresi pada kenyataan hidup yang kejam dan keras. Carter juga menangisi kematian sahabatnya, Ken Oosterbroek, sesama fotografer jurnalistik, yang meninggal saat meliput sebuah kerusuhan.
Demikianlah, profesi sebagai fotografer jurnalistik sering membawa Carter menjadi saksi peristiwa-peristiwa keji, seperti orang yang dibakar hidup-hidup ataupun orang yang dibantai beramai-ramai di tengah keramaian, juga perempuan balita kelaparan yang ditunggui burung pemakan bangkai. Carter tak tahan hidup menjadi saksi kekejaman dunia, dan dia memilih mengakhiri hidupnya.
Kevin Carter meninggal usia muda. Selain meninggalkan kedua orang tuanya juga meninggalkan putrinya, saat itu berusia enam tahun. Carter adalah gambaran bahwa fotografer berita dan wartawan adalah kaum pekerja, yang menempatkan hati dan pikirannya untuk memberi kesaksian pada garis depan. Selain mempertaruhkan nyawa dan keselamatannya juga membawa konsekuensi terjadi pertentangan batin yang hebat. Namun di sisi lain seringkali upah yang diterimanya tetap tak seimbang dan tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya juga keluarganya. Sementara, foto Vulture and a Child hanyalah pemantiknya belaka, tentunya setelah Carter mendapat bully dari masyarakat luas karena foto itu.