[blockquote]Catatan untuk Buku “Melawat Ke Timur”[/blockquote]
[dropcap custom_class=”normal”]P[/dropcap]
raktik toleransi dan kerukunan beragama di Jawa masih sebatas kanak-kanak, jika dibandingkan dengan di timur Indonesia. Pernyataan ini disampaikan berulang-ulang dalam buku “Melawat ke Timur”, sebuah catatan perjalanan seorang jurnalis tentang kehidupan beragama di Kepulauan Maluku dan ujung barat Papua. Si penulis, Kardono Setyorakhmadi tidak sedang mendaku pernyataan tadi. Ia menggambarkan dengan nyata bagaimana agama dan adat di timur Indonesia membentuk masyarakat plural dalam kehidupan damai.
Pertama kali melihat sampul dan judul buku terbitan Buku Mojok ini, saya langsung tertarik ingin mengetahui isinya. Wilayah timur Indonesia memang mengundang rasa penasaran saya yang gemar traveling. Awalnya saya pikir, isi buku ini akan sama dengan buku-buku catatan perjalanan lainnya. Berisi informasi tentang suatu destinasi, apa yang ditawarkan destinasi itu, bagaimana cara menuju ke sana, berapa biaya yang dibutuhkan, dan apa pengalaman si penulis yang melakukan perjalanan tersebut.
Ternyata dugaan saya sedikit meleset. “Melawat ke Timur” bukan sekedar cerita narsis para traveler sok eksis, yang hanya memotret keindahan alam, dan memunculkan wajahnya berulang-ulang di medis sosial. Buku ini menjawab keresahan saya, bahwa seorang traveler seharusnya juga mencari lebih dalam cerita tentang manusia (masyarakat) di suatu destinasi.
Apalagi setelah membaca kata pengantar dari Roem Topatimasang, seorang peneliti sosial. “Melawat ke Timur” mengajak pembaca mengenal lebih jauh kehidupan saudara-saudara kita yang belum banyak diketahui orang. Roem dalam pengantarnya menyebutkan, pengetahuan sebagian besar masyarakat Indonesia (di wilayah Barat) tentang Indonesia Timur, salah kaprah. Mulai dari anggapan sebagai wilayah miskin, penduduk yang dominan Kristen, bahkan ‘tuduhan’ kejam bahwa masyarakatnya primitif, tidak berpendidikan, dan sebagainya.
Kardono Setyorakhmadi, wartawan Jawa Pos yang akrab disapa Cak Dono, menjelajahi pulau-pulau yang masuk dalam administrasi Provinsi Maluku dan Maluku Utara. Wilayah yang dahulu, ratusan tahun lalu, adalah sebuah kerajaan besar yang diperbincangkan dunia. Selain Sriwijaya dan Majapahit yang selalu digembar gemborkan dalam pelajaran Sejarah di sekolah, ternyata ada Kesultanan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo, yang kebesarannya mengundang para penjelajah Eropa untuk singgah, dan sialnya, kemudian menjajah.
Hanya karena rempah-rempah yang menjadi penghasilan utama wilayah itu, bule-bule itu berbondong-bondong datang dari negeri yang jauh. Wilayah empat Kesultanan tersebut mencakup hingga utara Sulawesi, ke ujung barat Papua, bahkan wilayah selatan Filipina. Islam tumbuh pesat dan besar di wilayah tersebut, bahkan lebih dulu daripada di Jawa. Lalu kedatangan para misionaris Kristen dari Eropa, bukannya menghancurkan kehidupan sosial masyarakat dan agamanya, melainkan semakin memperkuat harmoni di antara mereka. Kekayaan adat memperkuat hal ini.
Cak Dono memulai perjalanan dari Ambon ke Pulau Haruku. Di kepulauan itu ada beberapa kampung yang terdiri dari kampung Kristen dan kampung Islam. Berdampingan, bertetanggaan, dan hidup damai. Ada konflik sosial antar kampung, tapi bukan karena beda agama. Lebih karena soal lain. Kemudian Cak Dono menjelajahi Maluku Utara, ke Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan. Wilayah empat kesultanan besar dengan kehidupan sosial dan agama yang kental dengan nuansa adat. “Agama berlandas adat, adat berlandas agama”. Begitu slogan masyarakat di sana. Hingga terakhir, Cak Dono ke wilayah barat Papua, Raja Ampat dan Fak-fak, yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Mereka memegang slogan “Satu Tungku Tiga Batu”, yaitu harmoni kehidupan sosial yang satu berlandaskan pada tiga agama, Islam, Katolik dan Protestan.
Penulis “Melawat ke Timur” menyaksikan sendiri keunikan budaya dan adat istiadat yang mempengaruhi praktik beragama masyarakatnya. Ia merasakan sendiri bagaimana di bulan puasa, saat perjalanannya dia lakukan, rasa saling menghormati antar agama bukan sesuatu yang dipaksa atau dibuat-buat, seperti di Jakarta, misalnya. Tidak perlu ada spanduk besar bertuliskan, “Hormati bulan puasa”, lalu memaksa orang menutup warung makan. Tidak laku spanduk semacam itu, karena kesadaran menghormati antar warga bergama sudah melekat seiring dengan adat dan budaya mereka. Orang Maluku takut terhadap adat. Itu tegas disampaikan.
Kalau ada sedikit kekurangan dari buku ini, buat saya, cerita-cerita tentang toleransi itu lebih banyak muncul dari warga, tokoh atau pemuka agama Islam. Penulis juga hanya mengunjungi situs-situs Islam, seperti mesjid-mesjid kuno dengan berbagai keunikan ritualnya masing-masing. Hanya ada satu penuturan dari tokoh Kristen tentang toleransi, yaitu saat penulis menginap di kampung Kristen di Pulau Haruku. Tidak ada kunjungan ke situs-situs Kristen dalam perjalanan penulis. Tapi hal ini bukan kekurangan besar, dan bisa dimaklumi karena perjalanan ini, seperti diakui penulis, dilakukan dalam rangka liputan khusus bulan Ramadhan 2015.
Yang jelas, jika Anda membaca buku ini, Anda akan menemukan pernyataan berulang-ulang seperti di paragraf awal tulisan ini. Juga pernyataan lain bahwa kerusuhan sosial di Maluku pada rentang 1999-2002 adalah ulah provokator dari luar Maluku dan Papua Barat. Setelah membaca buku ini, ingin rasanya saya membuktikannya sendiri, apakah benar masyarakat (khususnya) di Jawa perlu belajar lebih banyak lagi soal toleransi beragama dari saudara di timur sana? Dan lebih jauh lagi, seperti dikatakan Roem Topatimasang dalam pengantarnya, cerita-cerita ringan tentang keberagaman unik dalam buku “Melawat ke Timur” ini bisa menjadi acuan baru jika kita ingin terus merawat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika. Agar tidak sekedar menjadi jargon semata.