logo boleh merokok putih 2

Perempuan, Rokok, dan Harga Diri

[dropcap custom_class=”normal”]B[/dropcap]

elum lama ini saya suka merokok. Kebiasaan merokok ini menimbulkan pertanyaan besar dari teman-teman saya, kenapa saya merokok? Karena rokok selalu identik dengan kebiasaan kaum pria, sehingga mereka menganggapnya saya ini perempuan nakal dan menyimpang.

Menjadi perempuan perokok itu banyak resikonya, ya resiko dipandang negatif oleh masyarakat. Pandangan itu bernilai diskriminatif karena persoalan gender dan kesehatan. Bahkan saya pernah dimusuhi keluarga sendiri, akibat keberanian saya merokok dirumah. Orang tua saya marah, sehingga mereka menyalahkan pergaulan saya di luar rumah. Padahal kebiasaan saya merokok itu bukan karena pengaruh luar atau salah pergaulan, tapi soal prinsip. Saya selalu jelaskan pada mereka.

Mereka menilai bahwa perempuan itu tidak pantas menghisap rokok, karena keluar dari etika, moralitas, dan harga diri perempuan. Mendengar kata-kata itu saya cuma bisa nyinyir dan menerima secara lapang dada.

Orang tua memang selalu merasa benar dan tidak mau dibantah. Namun,tidak pernah adil dan bijak dalam pikiran mereka. Mungkin mereka tidak pernah belajar dari sejarah, melainkan belajar dari televisi. Mereka meresap mentah-mentah sumber informasi yang ada di televisi, termasuk mitos bahaya merokok bagi kesehatan. Sehingga menghasilkan pandangan buta, tidak rasional dan melibatkan agama.

Bagi mereka, rokok itu hanya pantas dihisap oleh pria saja.

Tapi Ketimbang mendukung anaknya untuk merokok, orang tua zaman sekarang lebih senang anak perempuannya mengkonsumsi produk sintetis ala korea. Menggambar alis tebal ala turki dan membiarkan anaknya meniru gaya kebarat-baratan dan ketimuran yang bukan lagi menjatuhkan harga diri perempuan tapi menjatuhkan harga diri bangsa.

Bagi saya menghisap rokok, kretek itu bukan soal kelabilan, kejenuhan, ataupun pelampiasan. Tapi melibatkan perasaan, perasaan peduli terhadap petani dan buruh tembakau. Karena tembakau ialah salah satu sumber kesejahteraan bagi kehidupan mereka dan warisan budaya.

Coba tengok, di Kudus tidak sedikit perempuan yang bekerja di pabrik-pabrik rokok. Mulai dari pabrik rumahan sampai pabrik besar. Di sana, mereka manggantungkan hidupnya kepada lintingan-lingingan rokok yang mereka kerjakan.

Atau coba mainlah ke ladang-ladang tembakau di Temanggung, Kediri, atau Lombok sana. Tidak sedikit perempuan yang menjahit keranjang-keranjang untuk digunakan memanen tembakau. Dari menjual keranjang itu, mereka bisa mendapatkan penghasilan yang lebih besar ketimbang pekerjaan sebelum masa panen tembakau tiba.

Dari tembakau dan kreteklah, mereka berjuang menghidupi anak-anak mereka dengan layak. Menyekolahkan mereka sampai tingkat pendidikan yang tinggi, juga mencukupi gizi-gizi mereka dengan makanan yang sehat. Jika sudah melihat perjuangan hidup mereka, masihkah kau mau bilang mereka bukan perempuan yang tidak bermoral?

Kalau harga diri perempuan hanya diukur dari cara berpakaian,berdandan, dan beretika. Lantas bagaimana dengan ukuran harga diri bangsa ini? Mungkin hanya mamah dedeh dan felix siauw yang tahu. Entahlah….

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Pinot Sity

Pinot Sity

Pedagang Kecil Menolak Lupa