Bangsa Tua
PERTANIAN

Bangsa Tua

Karena karya Oppenheimer dan Santos, masyarakat Indonesia boleh dikata demam sebagai bangsa tua. Kedua buku itu seolah-olah menjustifikasi secara ilmiah khasanah mitos masalalu, yang bukan hanya tersimpan tapi juga diyakini kebenarannya oleh berbagai masyarakat adat.

[dropcap]A[/dropcap]ndai anda orang etnis Jawa dan mengenal komunitas Kejawen, anda pasti akrab ketika mendengar mitos Nusantara masalalu adalah asal muasal sejarah dan peradaban manusia. Atau barangkali pernah mengunjungi komunitas adat? Sebut saja etnis Sunda misalnya, entah itu masyarakat Ciptagelar atau Badui, selisiklah. Mitos dengan substansi isi yang sama tentu segera anda dapati. Meski seringkali kita temui narasi mitos sebagai bangsa tua itu tak terstruktur dan membentuk bagan cerita yang runut, tapi seolah jadi semacam keyakinan bersama masyarakat setempat dan terwariskan antar generasi.

Awalnya saya cenderung abai, dan sambil lalu menganggapnya sekadar fenomena etnosentrisme budaya. Etnosentrisme adalah persepsi yang dimiliki oleh individu yang menganggap bahwa budayanya adalah yang terbaik diantara budaya-budaya yang dimiliki oleh bangsa lain. Fenomena ini rasa-rasanya merupakan gejala universal semua kebudayaan. Tiap kebudayaan selalu mengandaikan dirinya sebagai pusat makna. Terlebih mengingat bangsa Indonesia ialah masyarakat pasca-kolonial, etnosentrisme barangkali jadi semacam ‘obat’ atau wacana subaltern sebagai antithesis terhadapa budaya atau mental inlander, demikian dugaan awal saya.

Tapi, belakangan sikap abai itu saya rasa adalah kekeliruan. Bagaimanapun, ilmu pengetahuan ilmiah itu berjalan dinamis dan progresif. Sejauh ditemukan adanya fakta-fakta baru sebagai bukti ilmiahnya, bukan mustahil bentuk paradigma dan tafsiran mapan juga segera berubah. Atau setidaknya muncul bentuk hipotesa baru di luar kerangka tafsir mapan. Hipotesa baru yang akan menggugat model tafsir mapan, seandainya hipotesa baru itu mendapat dukungan banyak fakta penguat pada perjalanannya, dan lebih jauh juga diamini masyarakat akademis secara luas.

Bicara asal muasal peradaban manusia, sejarah selalu mencatat induk peradaban manusia itu berasal dari Mesopotamia, lembah Sungai Indus, China, Mesir, atau Yunani. Wilayah-wilayah itu menyimpan banyak artefak dan peninggalan tertulis. Namun belakangan muncul Teori Out of Sundaland, jadi hipotesa muthakir dan mulai mendapat justifikasi ilmiah banyak pihak. Meski belum sepenuhnya menggantikan, teori ini jelas mengganggu kemapanan Teori Out of Africa dan Teori Out of Asia.

Sebut saja Stephen Oppenheimer dalam buku”Eden in the East: The Drowned Continent of Southeast Asia” (1998), ia berpendapat bahwa Paparan Sunda (Sundaland) adalah cikal bakal peradaban kuno. Dalam pandangan Oppenheimer, orang Sumeria peletak dasar peradaban di Mesopotamia justru berasal dari Asia Tenggara. Tak kecuali orang-orang Taiwan juga berasal dari sini,” ujar Oppenheimer jelas membantah argumen Teori Out of Taiwan/Asia yang menyimpulkan orang Indonesia berasal dari Yunan, China Selatan. Lebih jauh, menurutnya masyarakat Paparan Sunda sudah memiliki peradaban tinggi, mampu membuat kapal, membuat perangkap ikan, telah menjinakan dan menternakan hewan, mengenal sistem pertanian dan perdagangan sejak 3.000 SM.

Hipotesis Oppenheimer dibangun berdasarkan penelitian multidisipliner, di mana ia menggabungkan disiplin ilmu geologi, arkeologi, linguistk, folklore atau mitologi, dan terutama ilmu genetika. Ya, Oppenheimer memang pernah terlibat dalam suatu proyek raksasa untuk melakukan pemetaan genome manusia seluruh dunia. Dari situ ia mendapatkan sangat kaya data sebagai bekal menyusun rangkaian hipotesanya itu.

Berdasarkan data geologis, Oppenheimer mencatat bahwa sejalan dengan kenaikan air laut pasca Zaman Es terakhir yaitu periode Banjir Besar 14.000-7.000 tahun lalu, Paparan Sunda tenggelam. Sementara dengan pengujian sequencing DNA mitochondria terhadap orang-orang Asia Tenggara dan Pasifik, Oppenheimer tiba pada kesimpulan sebaliknya dari teori selama ini: Bahwa migrasi penduduk sebenarnya justru terjadi dari Paparan Sunda ke luar dan bukan dari luar ke Paparan Sunda. Selain itu, riset genetikanya menyimpulkan bahwa 90 persen penduduk Paparan Sunda telah ada di sejak 5.000 – 50.000 tahun lalu, bahkan beberapa di antaranya sebelum Zaman Es mencair dan menenggelamkan wilayah ini.

Kenaikan air laut ini, bukan hanya menyebabkan manusia penghuni Paparan Sunda menyebar ke mana-mana mencari daerah yang tinggi, menurut Oppenheimer juga membuat Paparan Sunda menjadi terpisah-pisah sebagaimana kita kenal kini, antara lain Kalimantan, Jawa, Bali, dan Sumatera. Bagi Oppenheimer, kisah ‘Banjir Nuh’ sangat mungkin adalah rekaman budaya yang mengabadikan fenomena alam yang maha dahsyat ini.

Tujuh tahun berselang sejak kontroversi Oppenheimer itu, Profesor Aryso Santos menerbitkan “Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato’s Lost Civilization” (2005). Peneliti asal Brazil itu melakukan penelitian selama 30 tahun dan menyimpulkan lebih daripada Oppenheimer, Santos menegaskan Peradaban Atlantis yang hilang sebagaimana disinggung Plato itu merupakan wilayah yang kini disebut Indonesia. Santos merujuk Plato yang memunculkan isu Atlantis, benua ini memiliki beberapa ciri, salah satunya bermandi matahari sepanjang waktu. Santos menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Paparan Sunda.

Sepuluh tahun berselang sejak kontroversi Oppenheimer itu, merujuk tulisan Awang Harun Satyana disebutkan munculnya dukungan terbaru bagi hipotesis Oppenheimer (1998). Kolaborasi kelompok peneliti dari University of Oxford dan University of Leeds ini mengumumkan hasil peneltiannya yang berjudul “Climate Change and Postglacial Human Dispersals in Southeast Asia” dan “New DNA Evidence Overturns Population Migration Theory in Island Southeast Asia.” Adalah Richards dkk. (2008), sekelompok peneliti arkeogenetika yang sebagian merupakan kolega Oppenheimer, berdasarkan penelitian DNA juga menyanggah tafsiran arus utama bahwa penduduk Asia Tenggara saat ini (Filipina, Indonesia, dan Malaysia) berasal dari Taiwan pada 4000 tahun yang lalu. Hasil penelitian ini menunjukkan yang terjadi justru sebaliknya dan lebih awal, bahwa penduduk Taiwan/Yunan berasal dari masyarakat Paparan Sunda yang bermigrasi akibat Banjir Besar.

Sejauh ini Teori Out of Sundaland terang masih penuh kontroversi, tapi ini hal lazim dalam debat ilmiah, terlebih model pendekatan keilmuan yang digunakan juga berangkat dari kerangka dan metodelogi yang berbeda dari pendekatan konvensional selama ini. Jelas, pendekatan Oppenheimer adalah non-konvensional, mengingat disiplin antropologi ragawi lazimnya mendasarkan disiplin keilmuannya pada penemuan fosil atau artefak.

Baru-baru ini telah ditemukan kerangka manusia di Gua Harimau, desa Padang Bindu, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Hingga tahap eskavasi ke tujuh, Mei 2014, Arkenas berhasil menemukan 78 fosil kerangka manusia (homo sapiens). Dengan menggunakan aplikasi teknologi isotop dan radiasi milik BATAN diketahui lapisan tanah sekitar penemuan tulang belulang fosil itu berumur hampir mencapai 15.000 tahun. Menurut Kepala Disporabudpar Pemkab OKU, Aufa S Sarkomi, 78 kerangka itu diperkirakan berusia 3.000 – 60.000 tahun. Kini tengah diteliti apakah DNA homo sapien itu sama dengan DNA masyarakat yang saat ini menetap di Padang Bindu. Penemuan besar ini tentu sangat menggembirakan. Sayangnya hingga saat ini belum ada eksplanasi secara komprehensif dan utuh terkait temuan fosil itu.

Sedang merujuk pada sumber dokumentasi lokal, keberadaan Naskah Wangsakerta disebut banyak orang mengukuhkan tafsiran teori migrasi dari selatan ke utara-nya Oppenheimer itu. Sayangnya dokumen itu ditulis setelah memasuki abad ke-17, selain itu juga tak terlalu jelas sumber rujukan otentiknya. Celakanya lagi Oppenheimer sendiri entah mengapa pada karya terbarunya “Out of Eden : the Peopling of the World” (2004) dan “Origins of the British” (2007), seturut tulisan Awang Harun Satyana, meski masih menggunakan pendekatan yang sama seperti ketika menulis Eden the East: The Drowned Continent of Southeast Asia” (1998) malah sama sekali tak menyinggung tesis Sundaland-nya itu.

Ya, karena penerjemahan karya Oppenheimer dan Santos lah masyarakat Indonesia kini boleh dikata mengalami demam sebagai bangsa tua. Kedua buku itu seolah-olah telah menjustifikasi secara ilmiah dan rasional terhadap khasanah mitos masalalu, yang bukan hanya tersimpan juga diyakini kebenarannya oleh berbagai masyarakat adat. Sejauh mana kebenaran mitos itu? Sejauh mana kebenaran teori Oppenheimer? Jelas, saat ini masih susah disimpulkan. Tujuhbelas tahun berselang sejak kontroversi Oppenheimer itu adalah masa yang masih teramat singkat bagi perjalanan sebuah teori, terlebih teori yang sadar atau tidak bermaksud merubah paradigma dan narasi besar. Tapi, apa untungnya sih sebagai bangsa tua?

Tinggalkan Balasan