Sayangnya, akhir-akhir ini muncul penyederhanaan tafsiran bahwa pola hubungan “pusat-pinggiran” selalu diartikan bahwa pusat bertindak sebagai produsen dan pinggiran sebagai konsumen; pusat adalah yang-otentik dan pinggiran adalah yang-palsu, pusat sebagai bentuk keimanan yang sah dan ortodoksi, sementara pinggiran sebagai bentuk heterodoksi yang bidah dan kafir.
[dropcap]D[/dropcap]itinjau dari perspektif geografis lokasi lahirnya agama-agama dunia, posisi Indonesia adalah fenomena pinggiran dan bukan pusat. Secara formal penduduk Indonesia sebagian kecil memeluk Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha yang notabene berasal dari Eropa dan India. Pemeluk Islam yang notabene berasal dari Timur Tengah adalah umat mayoritas dengan jumlah terbanyak di dunia. Melalui perdagangan masyarakat Indonesia terpengaruh oleh kebudayaan asing yang dibawa para pedagang bangsa lain.
Tapi, justru karena sedia kala berada di pinggiran maka Indonesia sebenarnya memiliki beberapa keuntungan menarik. Salah satunya ialah kemampuan menarik jarak dari realitas, melakukan refleksi dan kontemplasi, sehingga ketika masyarakat Nusantara bermaksud mengadopsi sistem doktriner agama-agama itu sanggup membangun fenomena akulturasi budaya. Dalam istilah lain sering disebut sebagai inkulturasi. Dalam studi kebudayaan lokal, fenomena inkulturasi mengandaikan sebuah proses internalisasi terhadap ajaran-ajaran baru ke dalam konteks kebudayaan lokal dalam bentuk akomodasi atau adaptasi.
Mudah diduga, fenomena akulturasi atau inkulturasi budaya dilakukan dalam kerangka mempertahankan identitas lokal. Artinya pada konteks ini, bicara terminologi “kontekstualisasi”, “lokalisasi” dan “mempribumikan” yang inheren dalam paradigma inkulturasi dan belakangan jadi model interpretasi pada bingkai teologis muthakir, sejak dulu sebenarnya sudah menjadi strategi dan praktik diskursif bangsa Indonesia ketika menyerap berbagai agama yang datang dari luar. Fenomena ini kemudian melahirkan bentuk-bentuk ritus adat dan ritual keberagamaan masyarakat Indonesia yang notabene mengisyaratkan adanya percampuran diskursif dari berbagai praktik kebudayaan dan keagamaan.
Ambil contoh, Islam yang berdialektika dengan budaya lokal melahirkan varian Islam lokal yang khas dan unik, seperti Islam-Jawa, Islam-Sasak, Islam Sunda, dan sebagainya. Contoh lain adalah munculnya varian agama Syiwa-Budha, yang jejaknya selain tersimpan dalam teks Kakawin Sutasoma dan Arjuna Wiwaha juga masih dianut oleh sebagian masyarakat Bali dan Lombok saat ini. Para akademisi Barat menyebut gejala itu “sinkretisme” atau “osmosis”, hal yang bisa dipastikan bakalan susah terkontruksi secara sosial-budaya sekiranya Indonesia justru berada di pusat dan bukan pinggiran dari lokasi lahir, tumbuh dan besarnya kebudayaan agama-agama dunia itu.
Keuntungan lain berada di pinggiran ialah, masyarakat Indonesia nisbi tak terbebani oleh sejarah masa lalu agama-agama dunia tersebut. Tidak adanya beban sejarah masa lalu membuat dialog kebudayaan dari aneka rupa warna budaya dan agama yang berbeda menjadi lebih mudah dikembangkan. Ingatan tentang konflik-konflik masa lalu di pusatnya sana lebih mudah diabaikan. Warisan sejarah sebagai pusat peradaban dunia tak menggelayuti spirit keberagamaan atau kerangka teologis masyarakat Indonesia, sehingga modus kesadaran (state of being) lebih terarah ke masa depan ketimbang tertambat di masa lalu. Dengan demikian karakter kebudayaan yang inklusif semestinya menjadi lebih mudah dikontruksi secara sosial.
Tak aneh Islam lokal di Indonesia yang lazim disebut “Islam-kultural”, misalnya, hingga hari ini tetap menjadi ciri khas dari fenomena keislaman masyarakat Indonesia yang secara umum berbeda dengan model Islam di Timur Tengah. Islam kultural di sini jelas tak mengenal konflik Suni-Syiah, yang di pusatnya sana hingga hari ini tetap menjadi hal penting secara politik dan interpretatif. Tak kecuali ketika bermaksud membangun dialog kebudayaan dengan bangsa Barat yang mayoritas Kristen, beban psikologis “inferior kompleks” pemeluk Islam di Indonesia relatif minim dibandingkan orang-orang Islam di Timur Tengah. Sejarah kisah kebesaran Islam pada zaman Bani Abasiyah di Bagdad maupun zaman Bani Umayyah di Cordoba (Eropa) jelas tak lekat dalam kenangan penduduk Indonesia pemeluk Islam-kultural ketimbang tuturan kebesaran Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit bagi sejarah Nusantara.
Kelahiran Islam-kultural tentu tak terlepas dari fenomena kemajemukan bangsa Indonesia yang notabene tidak pernah dimiliki oleh bangsa mana pun di dunia. Tak terkecuali juga munculnya varian agama Syiwa-Budha atau Kristen-Jawa sebagai fenomena lokal Indonesia. Apa pasal? Bagaimanapun, agama-agama dunia yang masuk, tumbuh dan berkembang di Indonesia mau tidak mau harus berdialektika dengan keragaman budaya lokal yang ada, yang pada gilirannya berbagai budaya lokal itu kemudian turut memberi ciri khas dan keunikan tersendiri yang membuatnya berbeda dari model keberagamaan secara umum di pusatnya sana.
Sayangnya, akhir-akhir ini muncul penyederhanaan tafsiran bahwa pola hubungan “pusat-pinggiran” selalu diartikan bahwa pusat bertindak sebagai produsen dan pinggiran sebagai konsumen; pusat adalah yang-otentik dan pinggiran adalah yang-palsu; pusat sebagai bentuk keimanan yang sah dan ortodoksi, sementara pinggiran sebagai bentuk heterodoksi yang bidah dan kafir. Pola tafsiran semacam ini tidak lain adalah bentuk patrimonialisme dalam kehidupan keagamaan yang memandang pusat sebagai acuan tentang kebenaran secara superior, dan pinggiran adalah kebenaran yang inferior atau kelas dua.
Implikasinya, muncullah fenomena revitalisasi keagamaan, yang tanpa disadari selalu bermakna sebuah gerak perubahan dari pinggiran menjadi (to be) pusat sebagai model anutan. Tak heran, seandainya kini pemeluk Hindu di Indonesia cenderung ingin menjadi Hindu-India dalam kerangka menghayati dirinya sebagai pemeluk Hindu sejati. Pemeluk Budha barangkali juga ingin menjadi Budha a-la Tibet atau Srilangka. Sementara para pemeluk Islam bermaksud menjadi Islam-Arab atau Timur Tengah ketika bermaksud menjadi pribadi yang kaffah.
Pandangan semacam ini jelas merugikan posisi Indonesia dalam peta konfigurasi agama-agama dunia. Pasalnya fenomena keagamaan di negeri ini menjadi cenderung didudukkan dalam posisi tak penting serta diragukan kapasitasnya untuk menghasilkan modus keberagamaan yang otentik. Padahal model praktik keberagamaan penduduk Indonesia sejak dulu secara empiris dan historis dikenal memiliki karakter moderat, damai, inklusif dan toleran serta sanggup mengakomodasi berbagai perbedaan budaya dan agama.
Pada titik ini kita harus mengingat catatan masalalu, tentang bagaimana posisi Indonesia yang pinggiran ternyata pernah berhasil melakukan gelombang penetrasi pengaruh hingga ke pusatnya. Sebutlah Kerajaan Sriwijaya, misalnya, pada abad ke-7 pernah menjadi salah satu pusat pengembangan Budha di Asia Tenggara dan terkemuka di dunia. Ini terlihat pada catatan seorang pendeta dari Tiongkok bernama I-Tsing, yang menyempatkan diri belajar di sana selama 6 bulan. Saking sohornya pengaruh Sriwijaya terhadap pusat Budha di tanah Hindustan itu, bahkan biarawan besar dari India pun rela belajar ke Indonesia pada 1013 yaitu Atisa Dipamkara, sosok yang dalam perjalanannya nanti turut berkontribusi membentuk tradisi Tibetan Budhis. Dari kedatangan I-Tsing hingga Atisa setidaknya tercatat selama tiga abad model keberagamaan masyarakat Indonesia yang pinggiran memiliki pengaruh besar pada pusatnya.
Contoh lain dari tradisi Islam. Pada abad 19 dan awal abad 20 tercatat nama besar Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi. Syekh Al-Minangkabawi merupakan orang pertama Indonesia yang menjadi imam di Masjidil Haram, sementara Syekh Al-Bantani adalah orang kedua. Apa yang menarik diingat, Syekh Al-Minangkabawi bukan hanya imam, tapi juga pernah menjadi khatib dan Guru Besar sekaligus Mufti, yaitu ulama Makkah yang memiliki kewenangan menafsirkan teks dan memberikan fatwa. Sedangkan Syaikh Al-Bantani disebut-sebut oleh ulama besar asal Mesir, Syaikh Umar Abdul Jabbâr dalam “al-Durûs min Mâdhi al-Ta’lîm wa Hadlirih bi al-Masjidil al-Harâm”. Dikatakan bahwa Syaikh Al-Bantani sangat produktif menulis, karyanya seratus judul lebih, meliputi berbagai disiplin ilmu dan menjadi rujukan klasik hingga kini. Beliau juga diceritakan pernah diundang ke Universitas Al-Azhar, Mesir, untuk memberi ceramah atau fatwa-fatwa pada beberapa perkara khusus.
Jangan malu jadi agama pinggiran. Mari kita bangkitkan kembali spirit agama pinggiran!