Bukankah, inflasi toh sebenarnya hanyalah fenomena kecil (epifenomena) dari realitas timpangnya neraca impor yang sangat tinggi dibandingkan ekspor serta rendahnya neraca produksi dibandingkan tingginya konsumsi.
[dropcap]B[/dropcap]adan Pusat Statistik (BPS) pernah melansir data bahwa jumlah penduduk miskin per Maret 2015 mencapai 11,22% dari total penduduk, atau mencapai 28,59 juta jiwa. Angka ini naik 310 ribu jiwa dibandingkan tahun lalu. Lebih jauh, menurut statistik BPS pemicu kemiskinan ini dikarenakan kenaikan harga beras dan rokok serta barang-barang konsumsi lainnya (telur ayam ras, daging ayam ras, mi instan, gula pasir, roti, tempe, tahu, dsb). Peningkatan jumlah orang miskin selama September 2014 hingga Maret 2015 disebabkan oleh laju inflasi yang cukup tinggi, yatu 4,03%.
Melihat data tersebut BPS telah melakukan simplifikasi persoalan kemiskinan dengan semata-mata mendudukkan variabel konsumsi dan inflasi sebagai neraca ukurnya. Ada kejanggalan terkait paradigma dan pembacaan BPS tentang sebab-musabab peningkatan kemiskinan di Indonesia. Pasalnya kacamata BPS cenderung parsial, dan tidak bermaksud memotret gambaran sesungguhnya tentang realitas ekonomi Indonesia.
Ada beberapa faktor determinan yang justru dikesampingkan oleh BPS. Tingginya neraca ketergantungan impor untuk suplai berbagai jenis produk pangan; pencabutan subsidi BBM dan listrik dengan efek simultannya pada kenaikan harga-harga komoditas seturut kenaikan ongkos produksinya; rendahnya kemampuan pemerintah mengontrol harga berbagai komoditas pokok karena penguasaan oligopoli pasar; tingginya angka pengangguran, minimnya lapangan kerja dan rendahnya keterserapan tenaga kerja; rendahnya insentif kredit bagi usaha kecil dan menengah; dsbnya.
[blockquote author=”” ]Akan tetapi, mari kita andaikan bersama. Seandainya suplai bahan pokok notabene diproduksi secara lokal maka tingginya nilai konsumsi masyarakat akan bermuara pada peningkatan kinerja dan neraca produksi masyarakat terhadap berbagai komoditas itu. [/blockquote]
Seturut teori ekonomi, konsumsi secara sederhana dipahami sebagai penggunaan barang dan jasa demi memenuhi kebutuhan hidup manusia untuk memperoleh kepuasan setinggi-tingginya dan mencapai kemakmuran. Dengan demikian tingkat konsumsi itu sendiri sebenarnya merupakan potret tingkat kemakmuran seseorang atau masyarakat. Semakin tinggi tingkat konsumsi maka semakin makmur individu atau masyarakat itu. Sebaliknya semakin rendah tingkat konsumsi maka semakin miskin individu atau masyarakat tersebut.
Benar, bahwa kenaikan agregat permintaan terhadap komoditi dapat memicu kenaikan harga dan inflasi, sehingga besarnya agregat permintaan ini akhirnya malah berdampak mengurangi kemampuan daya beli dan nilai tabungan masyarakat. Teori ini “benar” separuh bagian, dan barangkali saja asumsi teori inilah yang dilebih-lebihkan dalam pembacaan dan analisis BPS.
Akan tetapi, mari kita andaikan bersama. Seandainya suplai bahan pokok notabene diproduksi secara lokal maka tingginya nilai konsumsi masyarakat akan bermuara pada peningkatan kinerja dan neraca produksi masyarakat terhadap berbagai komoditas itu. Dan peningkatan produksi secara simultan berarti sekaligus juga terjadi peningkatan nilai konsumsi dan tabungan serta investasi masyarakat secara nasional, yang ini semua berarti pararel dengan peningkatan atau pertumbuhan nilai GNP.
Tahun 2013 BPS mencatat Indonesia harus mengimpor 29 komoditas pangan. Dalam kurun waktu Januari hingga November 2013, Indonesia tercatat mengimpor lebih dari 17 miliar kilogram bahan pokok senilai US$ 8,6 miliar atau setara dengan Rp 120 trilyun (kurs 13.900/1 dolar AS). 29 komoditas itu antara lain: beras, jagung, kedelai, biji gandum dan mesin, tepung terigu, gula pasir, gula tebu, daging sejenis lembu, jenis lembu, daging ayam, garam, mentega, minyak goreng, susu, bawang merah, bawang putih, kelapa, kelapa sawit, lada, teh, kopi, cengkeh, kakao, cabai, cabai kering, cabai awet, tembakau, ubi kayu, dan kentang. Ironisnya sebagian pangan yang diimpor justru sebenarnya bisa diproduksi sendiri di dalam negeri.
Mudah diduga, nilai multiplier effect karena terjadinya peningkatan agregat permintaan atau konsumsi rumah tangga masyarakat bagi peningkatan kinerja dan neraca produksi nasional jelas jauh dari maksimal. Mudah diduga pula jika sebagian besar keuntungan justru dibawa lari keluar negeri. Dengan demikian peningkatan agregat konsumsi masyarakat yang terjadi di tengah-tengah situasi pasar yang bersifat oligopolistik dan berbasis impor tentu malah berdampak peningkatan jumlah angka kemiskinan.
Banyak orang mengkritisi, bandul kebijakan pemerintah belakangan ini terlalu berayun ke arah liberalisasi perekonomian dan nir-proteksi. Sejak tahun 2005 bukan hanya menghantam industri nasional dan munculnya fenomena deindustrialisasi. Liberalisasi perekonomian juga berdampak menghantam sektor-sektor ekonomi rakyat. Sebutlah kasus impor 29 komoditas pangan di atas jelas hal itu menghantam telak jantung ekonomi masyarakat petani.
Jadi, sungguh aneh ketika BPS mendalilkan sebab-sebab meningkatnya angka kemiskinan masyarakat hanya dipicu oleh kenaikan harga kretek dan inflasi. Pasalnya kenaikan inflasi toh sebenarnya hanyalah fenomena kecil (epifenomena) dari realitas timpangnya neraca impor yang sangat tinggi dibandingkan ekspor serta rendahnya neraca produksi dibandingkan tingginya konsumsi.