kasongan
PERTANIAN

Kasongan dan Asal-usul “Céléngan”

Berkat Mbah Jembuk perajin-perajin di Kasongan yang mereproduksi desain celengan dapat memperoleh manfaat dari hasil inovasinya.

kasongan-dan-asal-usul-celengan-2

 

Jika anda melancong ke kota Yogyakarta jangan lewatkan bertandang ke sentra gerabah. Dari arah pojok beteng kulon lurus ke selatan selama kurang lebih 10 – 15 menit, anda akan bertemu dengan sebuah desa bernama Kasongan. Terletak di wilayah Bantul, desa wisata ini tak pernah sepi dari wisatawan, domestik maupun mancanegara.

Kata gerabah berasal dari bahasa Jawa yang artinya menunjuk pada alat-alat dapur (kitchenware) dibuat dari bahan tanah liat yang dibakar. Pada awalnya istilah ini hanya digunakan oleh masyarakat berbahasa Jawa. Di luar itu, kata tembikar yang berasal dari bahasa Melayu barangkali lebih populer. Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan bahwa tembikar adalah alat-alat yang bahannya berasal dari tanah liat, namun telah dilapisi dengan pelapis gilap yang kini umum disebut keramik. Sementara keramik sendiri berasal dari bahasa Yunani, keramos, yang artinya periuk atau belanga yang dibuat dari bahan baku tanah liat yang telah mengalami proses pembakaran. Jadi antara gerabah dan keramik, prinsip maknanya adalah sama yaitu benda-benda berbahan dari tanah liat yang dibakar.

Namun di lapangan keduanya tetap sering dibedakan satu sama lain. Dengan merujuk pada kualitas pembakarannya, gerabah termasuk keramik berkualitas rendah apabila dibandingkan dengan keramik batu (stoneware) atau porselen. Bata, genteng, pot, anglo, kendi, gentong dan celengan termasuk keramik dengan kualitas gerabah. Suhu pembakarannya masih berkisar di bawah 1000°C.

Sedang pada keramik batu atau yang juga biasa disebut “terakota” membutuhkan pembakaran suhu hingga 1200 – 1300°C. Keramik jenis ini termasuk kualitas menengah. Struktur dan teksturnya halus dan kokoh, kuat dan berat seperti batu. Biasanya dibuat jadi produk dengan ukuran skala besar, seperti guci atau pot tanaman. Sementara jenis porselin membutuhkan pembakaran suhu antara 1350 – 1400°C atau bahkan 1500°C. Ini kualitas terbaik. Kesannya sepintas tipis dan rapuh, tapi sebenarnya kuat karena struktur dan teksturnya rapat dan keras. Selain itu, pada proses pewarnaannya porselen mampu memunculkan kualitas warna yang cemerlang. Jenis ini umumnya dibuat produk tea set, coffee set, gelas, piring, vas kecil, dan souvenir.

Apa yang membuat Kasongan menarik sebagai daerah tujuan wisata ialah, selain di sana anda dapat membeli aneka rupa produk keramik baik tradisional maupun kontemporer, lebih dari itu pembuatan gerabah sebenarnya merupakan seni tradisi yang sudah berlangsung turun temurun. Jadi di sana anda juga dapat berwisata sejarah, dan melihat desa wisata dengan sentra industri yang sangat maju.

Secara historis, menurut Prof Timbul Rahardjo seni kerajinan keramik di Desa Kasongan sudah dimulai sejak masa Perang Diponegoro (1825 -1830), atau bahkan lebih lama dari itu. Sementara dari penelusuran Ponimin, disebutkan seni kerajinan gerabah ini konon dicikal bakali Kyai Song sejak tiga abad yang lalu. Waktu itu yang dibuat masih seputar peralatan rumah tangga seperti alas makan yaitu cowek atau cobek, yang sekarang kita sebut dengan nama piring. Sedang masyarakat yang berprofesi membuat gerabah ini dulu disebut dengan istilah kundhi.

Dalam perkembangan selanjutnya muncul para inovator dari Kasongan. Sebutlah nama Mbah Jembuk (1860 – 1942), selain membuat cowek sebagaimana umumnya masyarakat Kasongan, dia juga mulai membuat hiasan dinding dengan banyak variasi model berupa motif binatang. Berkat Mbah Jembuk perajin-perajin di Kasongan yang mereproduksi desain celengan dapat memperoleh manfaat dari hasil inovasinya.

Konon, ide awalnya datang dari seorang warga Belanda bernama Smith, yang datang ke Mbah Jembuk memesan patung babi sebagai tempat menyimpan uang pada awal abad ke-20. Coin boxes itu disebut celengan, yang berasal dari kata celeng atau babi hutan. Masyarakat menyebut celengan karena coin boxes babi pesanan Smith itu menyerupai babi hutan. Dalam perjalanannya benda itu kemudian dikonotasikan sebagai perilaku gemar menabung, yang dalam bahasa Jawa disebut nyelengi. Menariknya, meskipun coin boxes kini dibuat dengan mengambil banyak variasi bentuk, seperti ayam, katak, kuda dan lain sebagainya, namun toh tetap saja hingga kini benda itu disebut celengan.

Prestasi Mbah Jembuk mempopulerkan tradisi gerabah Kasongan tak berhenti di situ. Dia pernah membuat patung sepasang harimau, yang inspirasi bentuknya diambil dari lambang Kerajaan Belanda, untuk diarak pada karnaval memperingati penobatan Ratu Wilhelmina pada 1930 di Kabupaten Bantul. Karena itu Mbah Jembuk pun dipercaya membuat beberapa patung serupa untuk ditempatkan pada bagian pos penjagaan tentara Belanda. Tak kecuali, pada masa kekuasaan Sri Sultan HB VIII dan Sri Sultan HB IX, Mbah Jembuk juga dipercaya mendesain dan membuat pot tanaman untuk menghiasi lingkungan kraton. Karena tugasnya Mbah Jembuk diangkat kraton sebagai abdi dalem pakriyan.

Ide-ide orisinal karya Mbah Jembuk sebenarnya terbilang tidaklah terlalu banyak. Sebutlah antara lain patung harimau, benda-benda hias tempel pada dinding (seperti punakawan, kepala kerbau, kepala kijang), mustaka masjid, pasangan pengantin Jawa (loro blonyo), dan beberapa motif binatang untuk jenis celengan. Akan tetapi, dari karya-karya Mbah Jembuk inilah jadi penanda awal kehadiran seni gerabah Kasongan yang membawa ekspresi nilai artistik, yang dalam perkembangannya kemudian ditularkan kepada para perajin lain.

Meskipun Kasongan sebagai sentra industri gerabah tradisional sudah berlangsung lama, namun perubahan wajah industri itu secara cukup signifikan dan modern sebenarnya terjadi belum lama. Masyarakat Kasongan sendiri menyebut dekade 1960-an sebagai momentum awalnya. Ini bermula ketika Pemerintah melalui Departemen Perindustrian bekerjasama dengan STSRI “ASRI” melakukan pameran kerajinan gerabah Kasongan di Jefferson Library Yogyakarta pada tahun 1961.

Selain itu, kontribusi cendikiawan dan seniman di luar masyarakat Kasongan tak bisa dielakkan berperan penting turut memantik dan membentuk pengetahuan komunitas perajin gerabah. Sebutlah mereka antara lain: Larasati Soeliantoro Soelaiman, Sapto Hoedoyo, Widayat, Narno S, SP Gustami, dan para mahasiswa serta staf pengajar Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) “ASRI” Yogyakarta yang kini telah menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Kini berbagai macam produk kerajinan gerabah dibuat di sini, mulai dari kebutuhan sehari-hari, hiasan rumah hingga cinderamata dan pernak-pernik. Produk kerajinan Kasongan ini banyak yang berkualitas bagus, tak heran banyak produknya berhasil menembus pasar ekspor ke Amerika dan Eropa. Jangan heran pula seandainya beberapa perusahaan galeri terkenal di Eropa seperti Gucci, YSL, dan beberapa galeri desain interior tercatat telah melakukan banyak kerjasama dalam hal desain produk dengan para perajin Kasongan.

Banyak pelajaran berharga bisa disimak. Salah satu yang terpenting ialah muncul, tumbuh dan membesarnya sektor ekonomi kreatif di Desa Kasongan. Sektor ekonomi kreatif sudah tentu berbasis pada daya kreativitas sebagai ‘elan vital’-nya. Namun seluruh potensi dan daya kreativitas masyarakat tak bakalan moncer bernilai ekonomis ketika pihak-pihak terkait (stakeholder), termasuk di sini pentingnya peran pemerintah, gagal melakukan sinkronasi perencanaan agenda pembangunan dan sinergitas di tingkat lapangan.

Diakui atau tidak, masyarakat Bantul jelas telah berhasil melakukan semua hal itu. Maka tak usah heran melihat proses kebangkitan ekonomi masyarakat Bantul terhitung relatif singkat pasca gempa Bantul (2006), yang tak hanya telah menelan korban ribuan jiwa namun sebenarnya juga telah meratakan kota itu dengan tanah. Wong (m)Bantul pancen oye!

Tinggalkan Balasan