Persoalan ini memang terlihat sepele. Tapi sebenarnya memiliki dampak ekonomi signifikan bagi keuangan keluarga. Demi target memenuhi uang angsuran bulanan, banyak hal bisa diabaikan, termasuk soal kebutuhan dasar keluarga.
[dropcap]J[/dropcap]elas, buruknya kualitas moda transportasi massal adalah berkah tersendiri bagi industri otomotif. Bicara industri kendaraan bermotor, Bapak Boediono, Wakil Presiden yang lalu pernah mengatakan, “Indonesia mempunyai pasar otomotif dalam negeri yang besar dan tumbuh cepat.” Kalau ini sudah jelas kita semua tahu. Apapun produknya Indonesia pasarnya. Selain pasar yang sangat besar, persoalan buruknya kualitas transportasi publik juga mendorong setiap orang berupaya mencari kenyamanan dengan membeli alat transportasi sendiri. Bukankah, tak ada jalan lain, Pak Boed?
Celakanya, pertumbuhan industri otomotif didaku banyak pihak sebagai sinyalemen keberhasilan pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan tumbuhnya kelas menengah. Tumbuhnya angka permintaan sekaligus juga bermakna terjadinya peningkatan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat. Tapi, fakta sesungguhnya nampaknya tak sesederhana dan se-linier logika itu. Apa pasal? Mari kita cermati bersama, dengan asumsi keadaan Ibukota Jakarta.
Jakarta sendiri boleh dikata merupakan potret gagalnya pengelolaan kepentingan publik, khususnya terkait pengadaan moda transportasi massal oleh Pemerintah. Dampaknya bukan hanya kemacetan lalulintas dan buruknya kualitas udara. Secara simultan menyasar banyak sisi perilaku ekonomi masyarakat khususnya pada kelompok golongan ekonomi lemah yang semakin memiskinkan.
Tahun 2015 tercatat jumlah kendaraan berlalu lalang di sekitar Jakarta sebanyak 17,5 juta. Lima tahun lalu, tahun 2010 masih berkisar 11,9 juta Merujuk sumber data dari Ditlantas Polda Metro Jaya yang dirilis oleh BPS (2015) pertumbuhan kendaraan bermotor selama lima tahun terakhir mencapai 9,93 persen per tahun. Sepeda motor tumbuh paling tinggi, sebesar 10,54 persen per tahun. Mobil pribadi tumbuh sebesar 8,75 persen per tahun sedangkan bis hanya naik 2,13 persen per tahun.
Kenaikan angka secara signifikan ini menunjukkan bahwa mobilitas orang maupun barang di wilayah Jakarta juga selalu meningkat. Sekaligus menunjukkan bahwa penggunaan kendaraan pribadi oleh masyarakat masih jadi pilihan utama ketimbang beralih ke mode transportasi publik. Pilihan terbesar terjadi pada jenis penggunaan sepeda motor. Selain dianggap paling ekonomis, sepeda motor juga jadi solusi mengatasi kemacetan Jakarta.
Ada banyak sebab mengapa pertumbuhan sepeda motor sangat tinggi di Jakarta. Selain persoalan buruknya moda transportasi publik, tak kecuali juga karena mudahnya masyarakat mendapatkan kredit pembelian sepeda motor. Cukup sekadar beberapa ratus ribu rupiah, bahkan tak sedikit lembaga penjamin yang berani tanpa uang muka, seseorang segera dapat memiliki sebuah sepeda motor dengan cara mencicilnya setiap bulan.
Celakanya, menurut hasil penelitian Financial Inclusion Insights justru menunjukkan, terdapat hubungan berbanding terbalik antara kepemilikan sepeda motor dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Fenomena ini terjadi pada masyarakat berpenghasilan menengah-bawah (lower-middle- class). Jika selama ini diasumsikan logika hubungan itu berbanding lurus dan linier, maka riset lembaga ini justru menemukan fakta sebaliknya.
Mari kita andaikan bersama. DKI Jakarta memiliki nilai UMP sebesar Rp. 3.133.477. Maka mudah diduga kredit adalah jalan keluar satu-satunya bagi mereka yang berpenghasilan menengah-bawah itu ketika bermaksud membeli sepeda motor. Keperluan membeli sepeda motor adalah pilihan logis, mengingat seringkali biaya menggunakan transportasi publik dari rumah ke pabrik nisbi terhitung lebih mahal.
Ambilah kasus asumsi kredit sepeda motor dengan uang muka Rp.650.000 dan cicilan selama 34 bulan, maka seorang buruh harus menyisihkan uang sebesar Rp.589.000 perbulan. Ditambah komponen uang besin, yang kita asumsikan perminggu butuh 6 liter untuk 6 hari kerja, maka perbulannya didapat angka sebesar (6 x 7.100 x 4) = Rp. 171.600. Komponen pengeluaran tetap lainnya ialah uang kos atau kontrakan, anggaplah angka moderat perbulan sebesar Rp.500.000. Maka praktis sebulan ia harus menganggarkan uang Rp. 1.260.600. Dengan begitu uang gaji bulanannya tinggal Rp. 1.872.877 sebagai biaya hidupnya selama sebulan ke depan. Cukup atau tidak cukup.
Walhasil, tak sulit kita dapati sebuah keluarga berpenghasilan menengah-bawah, namun di rumah kontrakannya itu justru terdapat 2 atau 3 motor yang kesemuanya dibeli secara kredit. Hah, 2 atau 3 motor? Untuk apa? Apalagi kalau bukan demi anak-anaknya yang tengah memasuki usia remaja dan butuh identitas diri agar mereka dianggap setara dengan teman-teman pergaulannya, baik itu lingkungan sekolah maupun rumah.
Persoalan ini memang terlihat sepele. Tapi sebenarnya memiliki dampak ekonomi signifikan bagi keuangan keluarga. Demi target memenuhi uang angsuran bulanan, banyak hal bisa diabaikan, termasuk soal kebutuhan dasar keluarga. Alih-alih potret kesejahteraan, bukan tak mungkin ledakan populasi sepeda motor di Jakarta justru merupakan potret tentang masyarakat golongan ekonomi lemah yang terjebak pusaran hutang yang terus membelenggunya sehingga susah keluar dari jerat kemiskinan.
Kalau sudah begini, apa yang lebih memiskinkan, rokok atau kredit sepeda motor? Atau statistik biarlah statistik, toh rejeki sudah ada yang mengatur.