BERAWAL DARI MIMPI, BERJUANG MELESTARIKAN ADAT BUDAYA
PERTANIAN

Mimpi untuk Melestarikan Adat Budaya

Cerita soal proyek renovasi rumah adat yang berawal dari mimpi ini memang terkesan klenik. Bapak Sinaga mengakui itu. Bahkan ia menambahkan satu cerita yang berbau klenik juga. Beberapa kali ada orang datang, entah siapa, entah dari mana, bahkan jauh dari tanah Jawa. Mereka minta ijin untuk masuk ke rumah adat ini. Sendiri saja.

BERAWAL DARI MIMPI, BERJUANG MELESTARIKAN ADAT BUDAYA

[dropcap]T[/dropcap]idak pernah terbayangkan sebelumya oleh Reinhard Sinaga, pemuda asal Kampung Sianjur Mulamula-Limbong, Samosir, Sumatera Utara, ia akan mengerjakan sebuah proyek besar menyelamatkan satu bagian dari budaya peninggalan leluhurnya. Memperbaiki sebuah Ruma (rumah) Batak, yang bukan miliknya atau keluarganya. Ia mengaku mendapat sebuah mimpi untuk merenovasi rumah adat itu. Proses renovasi pun diwarnai munculnya pertentangan dan gunjingan banyak orang. Namun Reinhard Sinaga meyakini apa yang sedang ia lakukan mendapat restu dari para leluhur.

Sore itu, Reinhard baru kembali dari ladang bapaknya. Memakai sepatu boot yang kotor bekas lumpur. Pada baju dan celananya masih menempel beberapa helai rumput.

“Baru selesai kasih makan kerbau”, ujarnya saat kami temui di depan rumah bapaknya.

Senyum penuh semangat di wajahnya. Rumahnya persis berada di pinggir jalan utama jika kita datang dari Pangururan (ibukota Kabupaten Samosir) menuju ke Kampung Sianjur Mulamula-Sagala. Persis di sebelah rumah bapaknya, berdiri sebuah rumah adat batak. Terlihat sedang dalam proses pengerjaan. Cat dan ukiran yang belum tuntas. Kayu-kayu berserakan di bagian bawah rumah berbentuk panggung itu.

Rumah adat Batak itulah yang mengubah hidup anak muda ini. Dan semuanya diawali dari sebuah mimpi. Pada suatu malam di bulan April lalu, Reinhard, yang biasa disapa Nagoes, didatangi seorang tua dalam mimpinya. Orangtua itu berpesan padanya supaya pergi ke Kampung Simanindo, sekitar 50 kilometer dari kampungnya. Ia tidak tahu siapa orangtua dalam mimpi itu. Tidak pernah melihat wajahnya sebelumnya, dan tidak mengenalnya. Diliputi rasa penasaran, Nagoes berangkat ke Simanindo, membawa pesan untuk mencari sebuah rumah adat Batak di kampung itu. Rumah itu sudah hancur. Orangtua dalam mimpinya adalah pemilik rumah itu. Tidak ada lagi yang meninggali rumah itu, bahkan keluarga si orangtua tadi pun sudah tidak memperdulikan kondisi rumah tersebut.

Kampung Sianjur Mulamula, Samosir

Kampung Sianjur Mulamula, Samosir

Nagoes menceritakan mimpinya pada orang-orang di Kampung Simanindo. Diceritakanlah sosok orangtua yang muncul dalam mimpinya, dan orang-orang di kampung itu terharu karena benarlah gambaran sosok yang diceritakan itu dengan seorang tua yang pernah tinggal di kampung tersebut. Orangtua itu sudah lama meninggal dunia dan memang dialah penghuni rumah adat yang sudah rusak itu. Nagoes juga menyampaikan pesan orangtua itu untuk memperbaiki rumah itu.

Awalnya, pesan untuk memperbaiki rumah itu diabaikan oleh warga kampung Simanindo, terutama keluarga si orangtua itu. Berbekal keyakinan yang kuat atas petunjuk para leluhur yang didapat lewat doa, Nagoes yang telah mendapatkan dukungan dari bapaknya, mencoba kembali meyakinkan warga kampung Simanindo. Akhirnya, disepakati sebuah perjanjian untuk membeli rumah tersebut, dan Nagoes membawanya ke kampungnya, di Sianjur Mulamula.

“Kami harus mempreteli satu persatu bagian-bagian dari rumah itu. Setiap potong kayu yang tersisa, kayu penyangga, bagian atap, sisa bagian yang masih tersisa ukiran. Kami angkut semua dengan memakai mobil bak terbuka milik bapak”, cerita Reinhard.

Pekerjaan berikutnya adalah menggalang anak-anak muda di Kampung Sianjur Mulamula, dan tentunya mencari dana untuk proyek renovasi rumah adat ini.

“Ini awal yang berdarah-darah. Bahkan yang paling sulit adalah meyakinkan orang-orang di kampung sendiri.”, kata Reinhard.

Bapak Sinaga, ayah Reinhard bercerita soal gunjingan dan penolakan yang muncul dari orang-orang kampungnya sendiri.

“Buat apa kalian repot-repot mengerjakan itu?”

“Hey, itu kan bukan rumah kalian!”

“Kalian percaya begitu saja pada mimpi?”

Begitulah ucapan yang paling sering terlontar dari mulut para tetangga. Namun Bapak Sinaga tetap mendukung anaknya. Ia meyakini apa yang dilakukan adalah sebuah upaya menyelamatkan satu bagian kecil saja dari pelestarian budaya. Dengan sedikit kesal Bapak Sinaga berujar, “Mungkin mereka (orang-orang yang menggunjing dan menolak) itu hanya iri saja, karena akhirnya mereka melihat banyak pihak datang membantu kami”.

Memang, upaya mengajak anak-anak muda kampung untuk terlibat dalam renovasi rumah adat ini pelan-pelan menunjukkan hasil. Bahkan anak-anak muda dari luar kampung ada yang datang untuk membantu. Terutama juga bantuan dana yang kemudian mengalir dari berbagai pihak yang peduli pada upaya pelestarian budaya ini.

Cerita soal proyek renovasi rumah adat yang berawal dari mimpi ini memang terkesan klenik. Bapak Sinaga mengakui itu. Bahkan ia menambahkan satu cerita yang berbau klenik juga. Beberapa kali ada orang datang, entah siapa, entah dari mana, bahkan jauh dari tanah Jawa. Mereka minta ijin untuk masuk ke rumah adat ini. Sendiri saja. Beberapa menit, bahkan ada yang hingga satu jam para tamu itu di dalam rumah itu.

“Entah mereka buat apa, saya juga tidak tanya. Urusan masing-masing saja”, ujar Bapak Sinaga sambil tertawa.

Kini sudah berjalan 8 bulan proyek renovasi rumah adat Batak itu. Setelah selesai, rencananya rumah adat itu akan difungsikan menjadi museum mini sejarah orang Batak, dijadikan rumah belajar untuk anak-anak, dan bisa juga jadi tempat menginap bagi pengunjung.

“Intinya rumah adat Batak ini akan menjadi tanda bahwa masih ada kepedulian anak muda terhadap pelestarian adat dan budaya”, kata Nagoes yang juga sedang mengerjakan pekerjaan besar lainnya di Kampung Sianjur Mulamula-Sagala. Ia sedang membangkitkan generasi muda untuk melestarikan budaya Batak, di kampung yang diyakini sebagai kampung orang Batak awal mendiami kawasan Danau Toba.

Tinggalkan Balasan