logo boleh merokok putih 2

Pencurian di Manhattan, Dongeng Penulisan Lagu, Sinatra, dan Cerutu

Bulan lalu, seorang pencuri keluar dari toko cerutu mahal di Manhattan. Dia menggarong empat kotak medium blend Dominicans. Yang tak banyak disadari orang, kisah ini kemudian membawa pada cerita yang sebenarnya dimulai sejak berbeberapa dekade lampau. Bahkan sebelum si pencuri itu lahir.

Avo Uvezian
Avo Uvezian. Foto oleh Jacob Langston untuk The New York Times

Semua bermula pada dekade 1960-an, pertemuan dua orang lelaki yang akan mengubah hidup mereka selamanya. Lelaki pertama adalah Avo Uvezian, seorang musisi jazz Armenia yang tinggal di New York. Satunya lagi adalah seorang musisi juga, dari New Jersey, namanya Frank Sinatra.

Uvezian lahir pada 1926 di Beirut. Dia menjadi musisi hebat yang melanglang di Timur Tengah, karenanya bisa berbicara beberapa bahasa.

“Aku biasa menghitung dalam bahasa Armenia,” katanya pada Cigar Journal dalam sebuah wawancara tahun ini. “Menurutku, bahasa terbaik untuk menyumpah-serapah adalah Bahasa Turki, dan ketika berfantasi tentang perempuan cantik, Bahasa Perancis adalah yang terbaik.”

Dengan bermain piano, dia memimpin sekelompok musisi jazz yang bermain di Lebanon, Irak, dan Iran, di mana dia menjadi penghibur pribadi bagi Shah. Pada 1947, dia pindah ke New York dan masuk ke sekolah seni yang sangat terkenal, Juilliard School.

Pada dekade 1960-an, dia sudah menulis musik sendiri. Kelak salah satunya menjadi sangat terkenal.

“Lagu itu sebenarnya lagu yang sangat sederhana,” kata Uvezian, 89 tahun, dari telepon rumahnya di Orlando, Florida, bulan lalu. “Kamu ambil satu nada, dan ulangi. ‘Dah-dah-dah-dah-daaaah.’ Iramanya diulangi terus menerus.”

Avo Uvezian
Avo Uvezian. Foto oleh Jacob Langston untuk The New York Times

Uvezian punya seorang teman yang kenal Sinatra. Sang teman itu lantas merencanakan sebuah kopi darat dan menyuruh Uvezian untuk membawa musiknya. Seorang kawannya yang lain menulis lirik pada lagu itu, dan menyematkan “Broken Guitar” sebagai judul lagunya.

Sinatra kemudian mendengarkan lagu itu.

“Dia bilang, ‘aku suka melodinya, tapi ganti liriknya,” kenang Uvezian. Tugas untuk mengganti lirik itu lantas dihibahkan pada penulis lirik di studio, dan mereka datang dengan lirik baru. Konon, Sinatra tetap membenci liriknya. “Aku tidak mau nyanyi lagu ini,” katanya ketika pertama kali melihat partitur lagu itu.

Kisah Sinatra menolak menyanyikan lagu itu muncul dalam buku terbaru James Kaplan, Sinatra: The Chairman. Namun karena sudah lama sekali tidak punya lagu hits, akhirnya Sinatra terbujuk mau merekam lagu itu pada 1966.

Selain lirik, judulnya juga baru. “Broken Guitar” dibuang. Judul barunya adalah: “Strangers in the Night.” Judul yang sama dipakai untuk album yang kemudian menjadi album Sinatra paling sukses secara komersial. Karena lagu itu pula, Sinatra memenangkan Grammy Award untuk Best Male Pop Vocal Performance, dan Record of the Year.

Menurut Uvezian, apa yang seharusnya menjadi kejayaan monumental dan terobosan bagi karirnya, ternyata menjadi kisah tragis. Dia tidak mendapat kredit untuk lagu itu. Ternyata, sebelum Sinatra mendengarkan lagunya, Uvezian, yang kala itu masih polos, mengirimkan lagu itu pada seorang kawan, Bert Kaempfert, seorang penulis musik terkenal asal Jerman untuk dirilis di sana. Karena itu, Kaempfert yang mendapat kredit untuk lagu itu. Sebelumnya, “Strangers in the Night” juga digunakan sebagai lagu latar untuk film James Garner berjudul “A Man Could Get Killed”.

Kaempfert, yang meninggal pada 1980, tidak sungkan untuk memasukkan lagu itu dalam salah satu pencapaian terbaiknya. Namun menurut Uvezian, Kaempfert memberinya kredit berkali-kali karena menciptakan lagu itu, termasuk dalam surat tertulis.

Kisah alternatif penciptaan lagu “Strangers in the Night” ini kemudian ditanyakan pada bintang radio New York, Jonathan Schwartz, yang juga seorang ahli tentang Sinatra. “Aku tak pernah mendengar kisah itu sebelumnya, tapi aku tidak akan meragukannya,” kata Schwartz dalam sebuah wawancara baru-baru ini. “Ceritanya terdengar asli bagiku.” Namun Kaplan, dalam buku biografi Sinatra, tetap menulis Kaempfert sebagai penulis lagu itu.

Pengalaman pahit itu membuat Uvezian trauma terhadap bisnis musik dan juga New York. “Hal itu sangat menyakitkan buatku. Aku ingin melupakannya,” katanya. “Aku punya banyak lagu lain yang jauh lebih baik dari lagu itu.”

Uvezian kemudian pindah ke Puerto Rico dan memulai lagi hidupnya dari awal. Dia bekerja sebagai pemain piano pada sebuah resort. Hidupnya kemudian berubah karena tembakau. Dulu dia merokok cangklong, tapi kemudian saat pembaptisan anak perempuannya pada 1982, dia dikenalkan pada cerutu. Seorang kawan memesankan satu cerutu, dan Uvezian terhenyak saat tahu harganya. Dia melihat kesempatan bisnis yang akan membawanya ke karir baru.

Dia lantas terbang ke Republik Dominika dan mengunjungi pabrik cerutu. Di sana ia bertemu dengan Hendrik Kelner, seorang master blender. “Dia membuat 10 atau 12 campuran berbeda,” kata Uvezian. Dia mencoba semua campuran dalam sebulan, dan berhasil menemukan campuran favoritnya. Campuran itu kemudian dikenal dengan nama Avo Classic.

“Pemula atau perokok lama, dapat menemukan kepuasan dalam Classic,” kata Uvezian.

Promosi yang dia lakukan cukup unik. Dalam setiap pertunjukannya, dia mengedarkan cerutu. Orang-orang kemudian ketagihan dan ingin lebih banyak. Uvezian mengirimkan contoh ke Davidoff of Geneva, distributor kelas dunia. Davidoff kemudian membeli merek Avo pada 1995 dan sekarang berhasil menjual dua juta batang cerutu Avo setiap tahun, ujar Scott Kolesaire, manajer merek.

“Campuran, keseimbangan, dan stimulasi lidah, semuanya terbaik,” ujar Kolesaire.

Campuran lain yang rasanya lebih kuat juga dibuat, disebut Avo XO. Toko Davidoff di Avenue of the Americas dekat sekali dengan Central Park, punya ruang merokok, yang membuat Avo bisa dinikmati dalam ruangan yang suhunya terkontrol. Ruang pajangan cerutu dipasang pada Januari. Di sana lah, pada 23 November, seorang pria usia 30-an yang identitasnya tidak dikenali, berjalan lempeng, sendirian, dan tidak diketahui. Dia kemudian mengambil empat kotak cerutu yang dimasukkan dalam tas Bed Bath & Beyond kemudian pergi begitu saja. Cerutu yang dicuri adalah Avo XO, yang per kotaknya berharga sekitar US$ 261,22 (sekitar Rp 3,6 juta).

Uvezian sendiri bersikap biasa saja terhadap kejadian ini. Ada banyak masalah lain ketimbang 80 batang cerutu (dari 2 juta yang terjual tiap tahun) yang hilang. “Hal seperti itu bisa terjadi kok,” katanya.

Rafael de los Reyes, seorang sales di toko cerutu itu, mengambil kotak yang persis pada pertengahan Desember lalu. Dia menunjuk nama Uvezian yang ada di pembungkus kotak.

“Lelaki ini, katanya, yang menulis ‘Strangers in the Night’.” []

 

Post-scriptum: Naskah ini diterjemahkan dari artikel di The New York Times (bisa dibaca di sini).

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Nuran Wibisono

Nuran Wibisono

Penyuka musik bagus dan petualang rasa. Wartawan di Jakarta.