Selama Trikora yaitu konfrontasi dengan Belanda untuk membebaskan Papua, Pirus diberi kesempatan oleh Soekarno untuk ikut memperbaiki dan merawat pembangkit listrik ukuran kecil yang digunakan untuk menunjang operasi.
[dropcap]S[/dropcap]astro Surip, semasa mudanya dikenal sebagai pemuda dengan segudang bakat asal Terban, Yogyakarta dikenal sebagai orang yang pertama kali membuat motor di Indonesia. Dari tangan seorang Sastro Surip, sejarah mengenal motor pertama yang dibuat di Indonesia, oleh orang Indonesia dengan rancang bangun dan komponen dibuat sendiri oleh orang Indonesia. Sepeda motor itu diproduksi pada tahun 1956 sebagai prototipe dengan merek Swadesi.
Swadesi adalah istilah yang berasal dari India yang dipopulerkan oleh Mahatma Gandhi, bapak pergerakan nasional India. Menurut Wikipedia, kata Swadesi merupakan turunan dari kata bahasa Sanskerta, Sandhi. Bisa juga dimaknai sebagai penggabungan dua kata dari bahasa Sanskerta: Swa yang berarti “diri” atau “mandiri” atau “sendiri”, sementara Desh yang berarti “negara”. Bila digabungkan, artinya menjadi “negara sendiri”. Sebagai kata sifat, Swadesi dapat berarti “dari negara sendiri”. Di Indonesia istilah ini bermakna kemandirian dan dipopulerkan oleh Presiden Soekarno menjadi “BERDIKARI”(berdiri di atas kaki sendiri).
Menurut cucunya Winta Adhitia Gupta, yang kami temui beberapa hari lau, beliau lebih mirip seorang seniman daripada wiraswatawan. Masih menurut Winta, sepeda motor berkapasitas 30cc telah beberapa kali mengikuti ajang pameran. Dalam peringatan 200 tahun berdirinya kota Jogjakarta, Oktober 1956 Swadeshi mengikuti pameran internasional yang diadakan di alun-alun utara kota Jogjakarta. Pameran ini diikuti oleh Indonesia sebagai tuan rumah serta 3 negara besar seperti China (RRT), Sovyet (USSR) & Amerika Serikat (USA). Swadesi juga pernah dipamerkan pada produk hasil karya para veteran yang diprakarsai oleh Legiun Veteran Republik Indoensia di Jakarta pada 1960, yang dihadiri Presiden Soekarno. “Bung Karno sendiri pernah melihat bromfiets itu saat dipamerkan di Jakarta dan beliau suka,” ujar Winta.
Sastro Surip lahir dari keluarga sederhana pada 1916. Ibunya bekerja pada sebuah keluarga Belanda sebagai pembantu, sedangkan Bapaknya sebagai buruh pikul di Stasiun Tugu. Karena kesulitan biaya, Surip muda mulai bekerja dan mengerjakan berbagai pekerjaan sampai dia menyadari bakatnya dibidang seni lukis dan pekerjaan tangan. Maka, dia mulai beralih menekuni seni lukis natural. Surip muda telah menjual lusinan karya lukis kepada keluarga-keluarga Belanda yang tinggal di Jogjakarta, Magelang, Purworedjo dan sekitarnya. Selain itu, Surip muda juga memanfaatkan bakat lain yaitu seni membuat kap lampu dari kulit lembu yang ditatah dengan lukisan tokoh-tokoh wayang. Profesi ini dijalani hingga Jepang menguasai Jogjakarta pada 1942.
Selama penjajahan Jepang, Surip muda bekerja di perusahaan listrik negara yang dikuasai oleh Jepang. Dia termasuk orang yang memiliki kemampuan cepat belajar sehingga dia bisa dengan cepat menguasai lingkungan pekerjaan barunya dengan mudah. Pada saat Jepang kesulitan memperoleh pasokan fiting lampu, Surip mencoba memproduksi fiting lampu sendiri. Dengan teknologi pemrosesan yang sangat sederhana, yaitu dengan mengunakan kayu jambu yang kemudian direbus dengan parafin, maka terciptalah fiting lampu. Karena itu Surip mendapat penghargaan dari perusahaannya dan menjadi pemasok fiting lampu bagi perusahaan tempatnya bekerja.
Saat Belanda menyerang Jogjakarta atau dikenal dengan clash ke II 1949, pemuda Surip bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat yaitu cikal bakal TNI AD, terlibat perang gerilya di Jogyakarta dan sekitarnya. Dia melanjutkan pengabdiannya di militer dan terlibat dalam beberapa operasi hingga 1953. Akhirnya Surip memutuskan mengahkiri karir militernya dan mendapat pensiun dengan pangkat Sersan. Surip kemudian melanjutkan karir sebagai wiraswastawan. Membuka sebuah bengkel yang diberi nama Pirus, yang diambil dari namanya sendiri yaitu Surip namun dibaca dari belakang.
Ide awal membuat bengkel karena Surip melihat banyaknya sepeda motor tinggalan Belanda atau Jepang yang dipakai oleh orang Indonesia, namun sayangnya sedikit sekali usaha jasa bengkel perawatan atau perbaikan. Usaha bengkel ini berkembang baik, terlebih sejak Surip memiliki mesin bubut merek My Ford buatan Amerika. Dengan mesin bubut itu dia dapat berkreasi membuat berbagai suku cadang sesuai dengan kebutuhan pelanggannya. Dengan modal itu pula sepeda motor Swadesi sebagai karya spektakuler pada masa itu dapat dibuatnya.
Selama Trikora yaitu konfrontasi dengan Belanda untuk membebaskan Papua, Pirus diberi kesempatan oleh Soekarno untuk ikut memperbaiki dan merawat pembangkit listrik ukuran kecil yang digunakan untuk menunjang operasi. Membuat berbagai suku cadang, termasuk memperbaiki dinamo adalah bagian dari kepercayaan itu. Pirus juga diberi kesempatan ikut memproduksi piston dan berbagai suku cadang kendaraan Bemo (Becak Motor) yang didatangkan dari Jepang 1962. Selama masa kebijakan BERDIKARI jadi masa emas bagi Surip. Namun seiring perubahan politik dalam negeri Indonesia selama kurun waktu 1965-1974, kemunduran pun jadi tak terelakan. Orde Baru membuka diri begitu luas pada arus modal asing. Industri lokal, seperti Pirus, tak lagi terlindungi. Mimpi produksi massal Swadesi pupus sudah.
Meski demikian eksistensi Pirus yang mewarisi spirit Surip hingga kini masih sanggup bertahan. Bengkel produksi skala rumah tangga atau UKM ini tak sekali dua mendapat order proyek dari perusahaan papan atas sekelas Pindad. Sayang seribu sayang, dukungan politik dan pendanaan bagi pengembangan prototipe sepeda motor Swadesi tak berlanjut pada masa Orde Baru. Andai saja…oh andai saja semua itu berlangsung sinambung, tentu kini di jalan-jalan di Indonesia yang berseliweran adalah monas (motor nasional)! Eh, bagaimana kabar dengan rencana mobnas Jokowi ya? Ups, maaf, salah ketik!