Di Indonesia, angklung adalah alat musik yang berasal dari bambu yang dimainkan secara berkelompok dengan cara digoyangkan. Sering digunakan dalam berbagai ritus adat, upacara tradisional, seremonial, musik pengiring, bahkan kini juga sudah merambah jenis musik orkestra. Meskipun ditemui di Banyuwangi, Madura dan Bali, namun sebagian besar angklung lebih berkembang di Jawa Barat dan Banten serta boleh dikata lebih identik dengan kebudayaan masyarakat Sunda.
Secara etimologi, konon angklung berasal dari kata “angka” yang berarti nada, dan “lung” yang berarti putus, patah, atau hilang. yang apabila diartikan secara harfiah kata angklung adalah nada atau laras yang tidak lengkap. Tapi, tafsiran ini tidak memiliki referensi, baik itu bersumber dari folklore atau mitos terkait makna dari istilah tersebut. Tafsir lain mengatakan, kata angklung dapat dikatakan berasal dari bahasa sunda “angkleung-angkleungan” yang memiliki makna gerakan pemain angklung dan suara “klung” yang datang dari alat musik itu. Dengan demikian penamaan angklung merupakan tradisi penyebutan nama sesuai dengan apa yang didengar atau onomatope. Mirip penyebutan nama kretek, onomatope dalam kasus angklung telah menjadi kekayaan vokabuler bahasa yang diwariskan turun-temurun.
Sejak kapan musik angklung muncul masih belum bisa diketahui secara pasti. Angklung sudah dimainkan sejak abad ke-7. Ada angklung yang usianya sudah mencapai 400 – 600 tahun. Disebut “angklung gubrag” yang dibuat di Jasinga, Bogor, Jawa Barat. Di Serang, angklung jenis ini dianggap sebagai alat musik sakral yang digunakan saat mengiringi mantera pengobatan orang sakit atau menolak wabah penyakit. Namun pada umumnya di masa lalu, angklung merupakan instrumen yang memiliki fungsi ritual keagamaan sebagai media mengundang Dewi Sri turun ke bumi dan memberi kesuburan pada tanaman.
Nada pada Angklung
Pada awalnya nada pada angklung adalah pentatonik (da-mi-na-ti-la) dan bukan nada dasar umum (do-re-mi-fa-sol-la-si). Jenis angklung ini biasanya dikenal sebagai angklung buhun, ‘angklung tua,’ yang belum terpengaruh dengan elemen lain. Sampai saat ini, beberapa daerah masyarakat Sunda Wiwitan seperti Badui atau Ciptagelar masih menggunakan angklung buhun dalam ritual adatnya seperti pesta panen, ngaseuk pare, nginebkeun pare, ngampihkeun pare, seren taun, nadran, haleran dan lain sebagainya.
Akan tetapi pada tahun 1935, atas prakarsa Daeng Soetigna, seorang guru HIS jaman Belanda, nada dasar angklung kemudian dirubah dari pentatonik menjadi diatonik (do-re-mi-fa-sol-la-si). Sebutlah jenis ini sebagai angklung modern. Tahun 1955, angklung yang sudah diubah nadanya itu dikenalkan sebagai pertunjukkan pada tingkat dunia, yaitu pada forum KAA (Konferensi Asia Afrika) di Bandung.
Tahun 1958, Udjo Ngalagena yang adalah murid Daeng Soetigna, mengembangkan nada angklung menjadi nada musik Sunda yaitu salendro, pelog dan madenda. Dengan maksud mendedikasikan hidupnya bagi pelestarian budaya Sunda dan musik angklung secara khusus, Mang Udjo demikian panggilannya bersama istrinya, Uum Sumiati, mendirikan Saung Angklung Udjo pada Januari 1967.
Saung Angklung Udjo, selain adalah sanggar seni tempat pelatihan pelatih dan pemain, sentra produksi alat-alat musik yang terbuat dari bambu, juga tempat pertunjukan kesenian khas Sunda. Mulai dari pertunjukan musik bambu yang dinamis atraktif sampai pertunjukan wayang golek. Tentu saja Saung Angklung Udjo menarik banyak wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Lebih-lebih sejak musik angklung ditetapkan UNESCO sebagai salah satu warisan budaya takbendawi bagi dunia asli Indonesia pada November 2010.
Angklung dan Indonesia
Tak tanggung-tanggung, Kang Udjo, seniman angklung asal Jawa Barat itu, juga tercatat sukses menjadi duta Hari Indonesia pada Jambore Pramuka Dunia ke-23 di Kirarahama, Yamaguchi, Jepang, pada Juli 2015. Dia menginisiasi para tamu dan perwakilan negara dari berbagai belahan dunia memainkan alat musik itu. Sekali pun sebenarnya mereka sama sekali belum pernah memegang, alih-alih memainkannya. Kang Udjo bertindak sebagai dirigen. Setiap tamu diberi satu angklung dengan notasi berbeda. Ada yang memegang angklung angka 1 atau do, 2 untuk re, 3 untuk mi, dan seterusnya. Kang Udjo kemudian memandu goyangan angklung di tangan peserta dengan sebuah tongkat panjang sambil menunjuk angka demi angka dan jadilah sebuah simfoni musik yang memukau.
Sebenarnya sudah semenjak tahun 1971 Pemerintah Indonesia bermaksud menjadikan angklung sebagai sarana dalam program diplomasi budaya. Angklung sebagai musik lokal pun mendunia, melalui pementasan di berbagai negara. Pengukuhan dari UNESCO sebagai warisan budaya tak bendawi, melalui dunia maya serta dunia pariwisata khususnya terkait keberadaan Saung Angklung Udjo di Bandung. Agenda diplomasi budaya itu boleh dikata cukup sukses. Popularitas angklung mulai sohor di mancanegara, bahkan kini sudah masuk kurikulum pendidikan di Malaysia dan Korea Selatan. Sanggar Kang Udjo, pernah melatih 330 guru taman kanak-kanak dari Malaysia selama dua minggu.
Sementara di sisi lain, Pemerintah Indonesia selaku stakeholder sekaligus representasi pemilik angklung pada tingkat negara di dunia internasional, justru terkesan belum bermaksud memasukkan musik bambu ini ke dalam skema kurikulum pendidikan. Dudi Darma Bakti, Manajer Program Yayasan Saung Angklung Udjo, mengatakan di Jawa Barat sendiri kini baru terdapat 20 orang pelatih angklung. Sungguh ironis, memang.