in-memoriam-internationale
REVIEW

In Memoriam: Internationale

Bangunlah, kaum yang terhina! Bangunlah, kaum yang lapar !
Kehendak yang mulia dalam dunia ! Senantiasa bertambah besar.
Lenyapkanlah adat dan paham tua !
Kita rakyat, sadar, sadar !
Dunia telah berganti rupa, tuk kemenangan kita!
Perjuangan, penghabisan. Kumpulah, berlawan !
Dan Internasionale pasti di dunia!

in-memoriam-internationale-body

[dropcap]S[/dropcap]emaun dan kawan-kawan dengan penuh semangat menyanyikan himne Internasionale dalam sebuah kereta api yang melaju pada sebuah film berjudul Guru Bangsa: Tjokroaminoto (2015), karya sutradara Garin Nugraha. Sungguh indahnya zaman keterbukaan saat ini, adegan itu tak dikenai sensor oleh Lembaga Sensor Film. Bisa dibayangkan, andai film itu dibuat pada zaman Orde Baru tentu sekuen itu pasti hilang kena sensor dari film berdurasi tiga jam.

Lho, kenapa? Jawabnya mudah, ia adalah bagian dari dongeng hantu Komunisme dalam penulisan sejarah resmi Orde Baru.

Ya, bait-bait Internationale ditulis sebagai sajak oleh penyair Eugène Pottier pada 1871. Sajak itu ditulis setelah gagalnya “Komune Paris”, sebutan untuk pemerintahan 72 hari dikatatur proletariat yang pertama di dunia pada masa Revolusi Perancis. Pottier merupakan salah satu anggota Komune, mendapat 3352 suara dari 3600 jumlah pemilih. Jatuhnya Komune Paris karena serangan balik kaum borjuasi memaksa Pottier melarikan diri ke Inggris dan Amerika, meski nantinya ia kembali pulang ke Perancis dan meninggal pada usia 71 tahun di tahun 1887.

Sajak Internationale sengaja diciptakannya untuk menyebarkan ide-­ide Komune Paris ke seluruh dunia. Versi awalnya ditulis dalam bahasa Perancis, dan kemudian digubah menjadi lagu oleh Pierre Degeyter pada 1888. Selanjutnya, sajak yang pada dasarnya mengumandangkan spirit Revolusi Perancis itu diterjemahkan hampir ke semua bahasa, dinyayikan di segenap penjuru dunia, seolah-olah lagu ini mengiringi derap angin perubahan zaman waktu itu.

Karena popularitasnya lagu Internationale menjadi mars rakyat pekerja, gerakan kaum buruh internasional. Tak hanya milik kaum sosialis-komunis, bahkan kaum anarkis dan sosial-demokrat juga. Pasca kemenangan Revolusi Bolshevik 1921, himne Internationale sempat menjadi lagu kebangsaan Uni Soviet, setidaknya hingga 1944. Namun bersama itu, sejak dikobarkan Perang Dingin lagu perjuangan itu menjadi laksana hantu bagi dunia, hantu Komunisme, dan, karena itu, sekaligus jadi sasaran untuk diberangus di banyak negara Kapitalisme. Sudah tentu termasuk di Indonesia, pasca Peristiwa G30S1965.

Di Indonesia sendiri Internationale pertamakali disadur ke dalam bahasa Melayu oleh Soewardi Soeryaningrat alias Ki Hadjar Dewantara. Terjemahan itu dimuat di harian Sinar Hindia pada 5 Mei 1920, sebuah surat kabar yang dikeluarkan oleh Sarekat Islam Semarang. Meski penulis artikel “Seandainya Aku Seorang Belanda” (Als ik een Nederlander was) itu bukanlah anggota Sarekat Islam Semarang atau yang lebih mahsyur disebut Sarekat Islam Merah, bukan juga anggota ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging) yang berdiri tahun 1914, atau lebih-lebih anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) yang baru berdiri pada 1924. Tapi, mudah diduga jika semangat Bapak Pendidikan Nasional ketika menerjemahkan lagu itu tentu tak terlepas dari sikap anti kapitalisme dan imperialisme-nya serta wawasan sosialisme yang dianutnya.

Segera saja pada kisaran 1920-an, Internationale menjadi semacam lagu wajib bagi semua kalangan pergerakan kemerdekaan di tanah Hindia Belanda. Tak hanya dinyanyikan pada rapat-rapat organisasi buruh dan mahasiswa pergerakan, untuk membuka dan menutup rapat, konon juga jadi lagu wajib siswa-siswa sekolah Sarekat Islam ketika mereka tengah mencari sumbangan biaya studi. Karena lagu itu membangkitkan spirit anti kapitalisme dan imperialisme, tak pelak Penasehat Urusan Bumiputra, R.A. Kern, pun menghimbau kepada pemerintah kolonial untuk mewaspadai persebarannya.

Memasuki zaman kemerdekaan, himne Internationale pernah tercatat sejarah menjadi nyanyian pengiring eksekusi hukuman mati pada 11 orang tokoh Kiri. Di antara mereka yang terkemuka adalah Amir Syarifuddin, mantan Menteri Pertahanan (1945 – 1948) dan mantan Perdana Menteri kedua di Indonesia. Merujuk tulisan Soe Hok Gie, “Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan”, pasca Peristiwa Madiun 1948, Amir dan beberapa pemimpin PKI lain seperti Maruto Darusman, Harjono, Sardjono, Soeripno dan Oei Gee Hwat tertangkap dan dihukum mati tanpa proses peradilan atas perintah Gubernur Militer Kolonel Gatot Subroto. Sebelum eksekusi dilakukan, mereka bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Internationale.

Setelah lama tenggelam selama periode kekuasaan Orde Baru, pada 2006 romantisme terhadap lagu Internationale kembali bergema mengiringi prosesi pemakaman Pramudya Ananta Toer. Kali ini ia dinyanyikan bersama dengan lagu Darah Juang yang merupakan lagu wajib bagi kalangan aktivis pergerakan angkatan 90-an.

Apa yang menarik dicatat, bahwa lagu Internationale dalam bahasa Indonesia berjumlah empat versi terjemahan. Pertama, yaitu Internationale versi Ki Hadjar Dewantara, diterjemahkan dari teks bahasa Belanda. Kedua, Internationale versi “resmi” PKI periode 1951 – 1965. Sayangnya tidak ada penjelasan dari sumber teks mana lagu tersebut diterjemahkan. Ketiga, Internationale versi terjemahan A. Yuwinu muncul pada 1970. Ini diterjemahkan dari perbandingan teks Internationale bahasa Rusia dan Tiongkok. Dan setahun berselang, keempat, pada 1971 muncul terjemahan Internationale versi terbaru dari sebuah komunitas Kiri, namanya Kolektif Enam Maret.

Kolektif Enam Maret itu melakukan kritik tajam terhadap terjemahan Internationale versi Ki Hadjar Dewantara dan versi resmi PKI relatif. Menurut mereka, kedua versi itu setali tiga uang alias tak jauh beda, yang dikritik keras sebagai telah kehilangan semangat Komune Paris. Dalam kerangka memperingati seabad sajak Internationale diciptakan oleh Eugène Pottier sekaligus memperingati seabad Komune Paris, Kolektif Enam Maret kemudian merilis sebuah terjemahan Internationale yang digubah dari versi bahasa aslinya yaitu bahasa Perancis, plus diperbandingkan dengan terjemahan Internationale dalam versi bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Rusia dan Tionghoa.

Kembali pada film Guru Bangsa: Tjokroaminoto, sebagai film biografi tokoh besar tentu karya ini dibuat berbasis penelitian sejarah. Namun demikian Garin Nugraha terlihat alpa ketika memilih terjemahan Internationale sebagai pengisi sekuen film itu. Lirik atau teks Internationale yang diambil sutradara sebagai materi film adalah terjemahan versi “resmi” PKI periode 1951 – 1965. Sementara konteks historis narasi film itu jelas mengambil momen kebangkitan dan radikalisme Sarekat Islam pada kisaran tahun 1920-an, di mana Internationale yang lazim dinyanyikan pada kurun tersebut bukan mustahil adalah lirik terjemahan versi Ki Hadjar Dewantara.

Kini menginjak usia 27 tahun sejak runtuhnya Tembok Berlin, sekaligus menginjak 25 tahun setelah bubarnya rezim Komunisme Uni Soviet pada 26 Desember 1991, masih hidupkah hantu yang bernama Komunisme itu, sehingga di tengah-tengah mondialitas dunia dan abad informasi hantu itu akan terus membayang-bayangi perjalanan sejarah Kapitalisme? Juga tentunya bagi Indonesia, apakah hantu itu masih gentayangan dan memiliki relevansi ke depan? Ataukah justru sebenarnya hantu itu sesungguhnya sudah mati sebagai hantu, dan membuncah menjadi hantu-hantu lain di tengah-tengah krisis Kapitalisme yang semakin akut dan nirkeadilan?

Tinggalkan Balasan